Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Nama Jalan Jampea di Makassar Jadi Hoo Eng Djie, Siapa Dia?

Wali Kota Makassar Danny Pomanto meresmikan penggantian nama Jalan Jampea di Kecamatan Wajo menjadi Jalan Hoo Eng Djie. (Dok. Humas Pemkot Makassar)
Wali Kota Makassar Danny Pomanto meresmikan penggantian nama Jalan Jampea di Kecamatan Wajo menjadi Jalan Hoo Eng Djie. (Dok. Humas Pemkot Makassar)

Makassar, IDN Times - Jalan Jampea di Kecamatan Wajo, Kota Makassar, resmi berubah nama menjadi Jalan Hoo Eng Djie. Perubahan nama diresmikan Wali Kota Makassar M. Ramdhan 'Danny' Pomanto, Sabtu  (8/2/2025).

Wali Kota Danny Pomanto menyebut Hoo Eng Djie adalah tokoh seniman Tionghoa, yang patut untuk diperkenalkan ke seluruh generasi muda penerus bangsa. “Baba Tjoi, begitu beliau saya panggil, merupakan seniman besar yang pada saat zaman kemerdekaan beliau tampil menjadi bagian di dalam semangat kebudayaan Kota Makassar,” kata Danny Pomanto dalam keterangannya yang dikutip, Senin (10/2/2025).

Siapa Hoo Eng Djie? Dia merupakan penyanyi dan musisi yang lahir di Kassi Kebo, Kabupaten Maros. Ati Raja merupakan salah satu lagu ciptaannya yang masih terkenal hingga saat ini.

Hoo Eng Djie memiliki grup musik Singara Kulla-Kullawa (Sinar Kunang-Kunang), dan berhasil mendapatkan penghargaan dadi radio nasional pada tahun 1953. Ia juga mendapatkan kesempatan berdialog bersama dengan Presiden Ir Soekarno dan membahas soal musik-musik daerah.

Perjalanan hidup Hoo Eng Djie yang penuh dengan dinamika telah digambarkan dalam sebuah film berjudul ‘Ati Raja’ yang tayang pada November 2019 lalu. Film Ati Raja merupakan hasil produksi dari Persaudaraan Peranakan Tionghoa Makassar (P2TM) yang juga menjadi penggagas sosok Hoo Eng Djie diabadikan jadi nama jalan.

“Ini perlu karena sejarah itu adalah bagian yang paling mahal dan paling bernilai yang kita miliki hari ini,” ucap Danny Pomanto.

Berikut biografi singkat Hoo Eng Djie yang pernah diulas IDN Times Sulsel:

1. Lahir di Maros tahun 1906

Berbagai Sumber
Berbagai Sumber

Menurut buku Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa (Claudine Salmon, 2010, KPG), Hoo Eng Djie lahir di Maros, tepatnya di kawasan Pecinan bernama Kassi Kebo, pada tahun 1906. Biasa dipanggil dengan Baba Tjoi atau A. Batjoi, garis keturunan Eng Djie dari pihak ibu diduga lekat dengan Liem Tjien Liong alias Baba Maliang, seorang Kapitan Tionghoa yang menjadi penasihat Raja Gowa.

Sementara itu, nenek dari pihak ayahnya, Hoo Kie Seng, adalah anggota keluarga Raja Maros. Alhasil, Eng Djie kecil menikmati banyak hak istimewa layaknya bangsawan. Eng Djie sempat mengenyam pendidikan di sebuah sekolah swasta di Kampung Melayu Makassar. Di situ, ia belajar bahasa Melayu, Bugis dan Makassar.

Namun, roda kehidupan orang tua Eng Djie berputar terlalu cepat. Mereka jatuh miskin saat Eng Djie berusia enam atau tujuh tahun, sang anak pun putus sekolah di kelas empat. Eng Djie bekerja untuk meringankan beban ekonomi.

2. Mengenal dunia tarik suara saat bekerja sebagai kelasi kapal

Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures
Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures

Pada umur 13 tahun, Eng Djie remaja bekerja sebagai kelasi kapal bersama pamannya. Sembari bekerja, ia bisa bepergian ke beberapa pulau sekitar Makassar seperti Buton, Raha, Saparua dan Ambon. Penulis Myra Sidharta, dalam buku Dari Penjaja Tekstil sampai Superwoman: Biografi Delapan Penulis Peranakan (2004, KPG), menulis bahwa Eng Djie mulai mengasah bakatnya dalam tarik suara di atas geladak kapal.

Di tengah deru laut yang tenang pada malam hari, Eng Djie dengan suara bariton mendendangkan lagu-lagu Makassar yang ia pelajari dari kru kapal lainnya. Claudine Salmon, seorang peneliti asal Prancis, bahkan menduga kalau Eng Djie ternyata tak mengenal bahasa Tionghoa. Lagu cinta dan patah hati yang berdasarkan pengalaman pribadi Eng Djie jadi repertoar tetapnya di geladak kapal.

Sang paman, yang cemas dengan jiwa keponakannya, meminta Eng Djie kembali ke Makassar di usia 17 tahun untuk membantu orang tuanya berjualan. Di malam hari, Eng Djie bernyanyi dengan anak-anak jalanan. Ia pun mengenal alkohol, rokok dan cinta yang menjadi banyak sumber patah hatinya kelak.

Kendati terdengar bak anak bengal, Eng Djie mulai membaca banyak buku-buku sastra Melayu-Tionghoa. Mulai dari novel "Siti Akbari" karya penulis Lie Kim Hok, drama kriminal "Fientje de Feniks" karya Tan Boen Kim dan masih banyak lagi. Tumbuhlah cita-cita barunya: menjadi penulis.

Di sini Eng Djie turut memperlihatkan minat pada dunia teater. Namun yang belakangan mencuat adalah bakatnya sebagai orator dan penulis sajak. Seiring waktu, Eng Djie pun diundang untuk mengucapkan kata sambutan dalam acara pernikahan dan upacara pemakanan orang Tionghoa di Makassar.

Seiring waktu, ia mulai menggubah puisi dan sajaknya dalam menjadi lagu. Adaptasi budaya Makassar pun dilakukan. Eng Djie mengaitkan kegiatan bermusiknya dengan tradisi pakkacapi, yaitu tradisi bertutur dengan alat musik kecapi Bugis, serta pabbiola, atau bertutur dengan biola.

3. Ati Raja salah satu lagunya yang paling terkenal

Dok. Istimewa
Dok. Istimewa

Pada tahun 1930-1940, Eng Djie disebut telah menciptakan sekitar 3.000 lagu. Banyak di antaranya adalah adaptasi nyanyian Tionghoa ke bahasa Makassar. Lagu-lagu tersebut seperti "Ati Raja", "Sai Long", "Pasang Teng" dan "Sio Sayang". Kebolehannya menghibur tetamu dalam acara perjamuan dan pesta lewat nyanyian turut menambah perbendaharaan lagunya.

Lagu-lagu yang disebutkan tadi jadi nyanyian yang sangat populer dan hanya ditampilkan pada pada pesta-pesta perkawinan, baik Tionghoa atau Makassar. "Sekali-sekali Hoo Eng Djie pun membawakan lagu-lagu setempat yang asli pada pesta-pesta rakyat yang sangat disukai rakyat kecil Makassar dan sekitarnya," tulis Claudine Salmon (hal. 486).

Seperti yang disebutkan sebelumnya, asmara jadi sumber inspirasi banyak lagu-lagu ciptaanya. Ay Lien, Yangtju dan Rosie, dalam banyak buku, disebut pernah memberi luka pada hati Eng Djie. Cukup lama Eng Djie mencari cinta, sebelum akhirnya menambatkan hati pada Suan Kie, seorang janda beranak tiga. Mereka menikah pada 1938, tahun di mana Eng Djie mendapat tawaran rekaman.

Siapa sangka, Eng Djie juga aktif dalam bidang politik. Pada tahun 1926, ia dijebloskan ke penjara Maros oleh polisi kolonial lantaran menaruh simpati kepada gerakan kiri anti-Belanda. Di tahun 1927, Eng Djie mendirikan organisasi bernama Perkumpulan Pemuda (Sien Nien Thoan) di mana ia menjadi penanggung jawab propaganda.

Usai menjadi pemeluk agama Kristen pada 1931, Eng Djie mulai sering diundang sebagai orator oleh beberapa partai. Mulai dari Partai Kristen, Partai Tionghoa Islam (PTI) --partai di mana ia bertemu dengan sang istri-- dan Muhammadiyah. Namun, pihak administrasi Hindia-Belanda kemudian melarangnya berbicara di depan umum.

Selepas Perang Dunia II, Eng Djie dan Soan Kie mendapati bahwa rumah sederhana mereka hancur terbakar akibat dibom sekutu. Alhasil, mereka dan anak-anak saling bahu membahu mencari nafkah demi kembali membeli sebuah kediaman. Perlu dua tahun sebelum Eng Djie akhirnya menempati rumah baru.

Namun, musik sudah kadung menjadi renjana bagi Eng Djie. Pada tahun 1950, ia mendirikan kelompok musik bernama Singara Kulla-Kullawa (Sinar Kunang-Kunang) yang membawakan lagu-lagu Bugis dan Makassar. Mereka pun mendapat tawaran sebagai pengisi tetap siaran-siaran Radio Republik Indonesia di Makassar.

Tahun 1953, Eng Djie dan orkesnya mendapat penghargaan dari RRI atas sumbangsih mereka untuk musik nasional. Eng Djie pun berkesempatan menemui Presiden Soekarno di Istana Merdeka, membicarakan musik dan nasib orang-orang Peranakan Tionghoa yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Hoo Eng Djie wafat di Makassar pada 7 Maret 1962. Di batu nisannya terukir syair terakhir yang masih sempat ia tulis di hari-hari terakhirnya. Lagu-lagu ciptaan Eng Djie masih sering didendangkan pada acara-acara pernikahan masyarakat Bugis dan Makassar. Salah satunya adalah "Ati Raja".

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Aan Pranata
EditorAan Pranata
Follow Us