Fenomena Lansia di Panti Jompo, Menteri BKKBN: Negara Harus Hadir

- Presentase lansia diproyeksikan meningkat pada 2025, mencapai 11,7 persen dan diproyeksikan melonjak menjadi 20 persen pada tahun 2045.
- BKKBN menggulirkan program Lansia Berdaya untuk memberikan ruang aktivitas sosial, emosional, dan spiritual bagi para lansia.
- Pendekatan ini tidak berarti memisahkan lansia dari keluarga, melainkan memberi pilihan yang lebih layak dan manusiawi.
Makassar, IDN Times - Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sekaligus Kepala BKKBN, Wihaji, menegaskan pentingnya peran negara dalam memastikan kualitas hidup kelompok lanjut usia (lansia) di Indonesia. Hal ini disampaikan saat wawancara usai menghadiri puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-32 di Lapangan Karebosi, Makassar, Senin (27/7/2025).
Pernyataan itu disampaikan menanggapi pertanyaan mengenai fenomena lansia yang dibawa ke panti jompo oleh anak-anaknya. Wihaji menyebut bahwa persoalan lansia bukan lagi isu pinggiran, melainkan tantangan yang harus dijawab negara dengan pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan.
"Setuju atau tidak setuju ini ada di Indonesia, di negara-negara maju ini adalah bagaimana yang diselesaikan," kata Wihaji.
1. Presentase lansia diproyeksikan meningkat pada 2025

Wihaji menjelaskan bahwa Indonesia kini sedang menghadapi fase transisi demografi menuju struktur penduduk menua. Persentase lansia saat ini telah mencapai 11,7 persen, dan diproyeksikan melonjak menjadi 20 persen pada tahun 2045.
Menurut Wihaji, angka tersebut mencerminkan pertumbuhan signifikan jumlah lansia di Indonesia. Kondisi ini menuntut kehadiran negara melalui program-program nyata yang berpihak pada kelompok usia lanjut.
"Artinya sudah lumayan lansia ini, sehingga negara harus hadir pemerintah harus hadir, program lansia berdaya ini kita membuka ruang kepada mereka tadi seperti yang saya sampaikan, mereka butuh ruang karena kesepian," katanya.
2. BKKBN gulirkan program Lansia Berdaya

Untuk itu, BKKBN menggulirkan program Lansia Berdaya, yang dirancang untuk memberikan ruang aktivitas sosial, emosional, dan spiritual bagi para lansia. Program ini tidak hanya menyentuh aspek fisik dan layanan kesehatan, tetapi juga kebutuhan mental dan sosial yang sering kali luput dari perhatian.
"Kita bikinkan aktivitas sederhana kita bikin sekolah lansia, S1 dan S2 tapi bukan sekolah yang serius. Hanya untuk pengajian untuk muslim, kalau non muslim silahkan apa gitu, kemudian healing dan jalan-jalan misalnya, tapi intinya memberikan aktivitas," jelas Wihaji.
3. Tidak berarti memisahkan lansia dari keluarga

Wihaji juga mengatakan pendekatan ini tidak berarti memisahkan lansia dari keluarga, melainkan memberi pilihan yang lebih layak dan manusiawi. Dalam beberapa kasus, justru tinggal di komunitas lansia menjadi solusi yang lebih sehat dibandingkan hidup sendirian di rumah.
"Kadang atas kesepakatan orang tuanya lebih baik bersama-sama di sebuah yayasan tapi sebaya mereka. Jadi bisa ngobrol daripada, mohon maaf, di rumah sendirian dan anak-anaknya sudah kerja ke mana-mana. Tapi tentu yang paling penting adalah negara dan pemerintah memberikan fasilitas, " katanya.