Akademisi Unhas Bahas Natuna: Gunakan Dialog dan Diplomasi Strategis!

Nilai tawar Indonesia lebih banyak ketimbang Tiongkok

Makassar, IDN Times - Isu Natuna seolah tak habis-habisnya mematik pembahasan dari para akademisi. Bertempat di Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin pada Senin (13/1) pagi, pihak Laboratorium Ilmu Hubungan Internasional FISIP Unhas menggelar diskusi tematik bertajuk "Natuna: How Far China Can Go?".

Dalam sesi yang digelar bersama pihak Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan (FIKP) tersebut beberapa narasumber seperti Prof. Dr. Jamaluddin Jompa (Guru Besar FIKP Unhas), Prof. Dr. S.M. Noor, SH, MH (Guru Besar Hukum Internasional Unhas) dan Drs. Darwis, MA, Ph.D (Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional).

1. Sejumlah hal terkait isu Natuna dan perairan internasional Indonesia

Akademisi Unhas Bahas Natuna: Gunakan Dialog dan Diplomasi Strategis!Dok. Istimewa (Humas Universitas Hasanuddin)

Prof. Jompa menyebut pemerintah Indonesia perlu melakukan sembilan langkah strategis. Mulai dari mempercepat penyelesaian masalah perbatasan, perbaikan teknologi pengawasan, memperkuat armada Angkatan Laut, mempercepat pembangunan wilayah perbatasan, hingga modernisasi nelayan Indonesia.

Menurutnya, perlu ada fasilitas perikanan modern di Natuna, serta penambahan insentif bagi nelayan untuk melaut di daerah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).

"Intinya, Indonesia harus mengedepankan dialog. Cara konfrontasi bukanlah pilihan yang logis. Tentu saja, untuk dapat melaksanakan dialog yang bermartabat, kita perlu memperkuat basis di dalam negeri," ujar Prof. Jompa.

2. Fakta bahwa sesama negara ASEAN terdapat klaim garis wilayah yang tumpang tindih tak bisa dikesampingkan

Akademisi Unhas Bahas Natuna: Gunakan Dialog dan Diplomasi Strategis!Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksamana Madya TNI Yudo Margono menjelaskan tentang kondisi Laut Natuna. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Sementara itu, Ketua Departemen Hubungan Internasional Unhas yakni Darwis, menilai konflik di Natuna sudah lumrah, terutama di Asia Tenggara. Ini didasarkan pada fakta bahwa beberapa negara ASEAN punya klaim teritorial yang saling tumpang tindih.

Lebih jauh, Indonesia disebut menghadapi tantangan berat dalam diplomasi perbatasan, terutama karena bersinggungan dengan negara superpower dunia seperti Tiongkok. Alhasil diperlukan upaya serius memperkuat angkatan bersenjata.

"Perang adalah kelanjutan dari diplomasi dalam bentuk lain. Itu adalah adagium klasik dalam hubungan internasional yang masih tetap aktual hingga kini. Kita memperkuat angkatan bersenjata bukan untuk berperang, tetapi untuk berdamai secara bermartabat," tandasnya.

3. Tiongkok disebut mengangkat klaim historis Nine-Dash Line sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni negara-negara barat

Akademisi Unhas Bahas Natuna: Gunakan Dialog dan Diplomasi Strategis!Presiden Tiongkok Xi Jinping tiba untuk upacara sambutan di Balai Agung Rakyat, di Beijing, Tiongkok, pada 25 Oktober 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Jason Lee

Prof. Dr. S.M. Noor, SH, MH selaku pakar hukum internasional menawarkan sudut pandang lain. Ia menjelaskan Tiongkok mengangkat klaim historis Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus lantaran dilandasi semangat melawan dominasi negara-negara barat seperti Amerika Serikat.

"Menurut China, UNCLOS itu penuh dengan pasal-pasal yang bias, hanya menguntungkan Barat yang kapitalis. Maka China akan tetap mempertahankan wilayah yang masuk dalam garis yang diklaim tersebut," ujar Prof. Noor.

Baca Juga: 3 Saran Guru Besar UI Hikmahanto Agar RI Tetap Pertahankan Natuna

4. Negosiasi bilateral jadi opsi paling menguntungkan yang bisa ditempuh pemerintah Indonesia

Akademisi Unhas Bahas Natuna: Gunakan Dialog dan Diplomasi Strategis!Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Kompleks Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis 9 Januari 2020 (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Berbicara perihal diskusi tersebut dalam kesempatan terpisah, dosen Jurusan Hubungan Internasional FISIP Unhas yakni Agussalim Burhanuddin menyebut Indonesia perlu menerapkan diplomasi yang strategis ketika berurusan dengan Tiongkok.

"Negosiasi menggunakan perantara ASEAN sebagai organisasi regional itu sulit. ASEAN adalah organisasi yang mengandalkan sikap konsensus (persetujuan bersama). Sementara China menjalin hubungan erat dengan Laos dan Kamboja. Bakal susah membuat ASEAN satu suara," ungkapnya saat dihubungi IDN Times pada Senin (13/1).

Dalam koridor global yakni PBB, Tiongkok punya posisi lebih tinggi lantaran memiliki hak veto. Alhasil jalan paling masuk akal adalah negosiasi bilateral atau pertemuan langsung perwakilan kedua negara.

5. "Kartu truf" pemerintah Indonesia lebih banyak ketimbang Tiongkok

Akademisi Unhas Bahas Natuna: Gunakan Dialog dan Diplomasi Strategis!Kapal Coast Guard China-5202 membayangi KRI Usman Harun-359 saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia, utara Pulau Natuna. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Menurut Agus, Tiongkok hanya melaksanakan test the water alias tidak serius. Ia menyebut contoh sikap berbeda media-media dalam negeri Tiongkok yang tak memberi ekspos berita yang besar terhadap masalah Natuna dengan Indonesia. China disebutnya hanya berfokus pada mengamankan kepentingan di Samudera Hindia, jalur perdagangan strateginya dengan India dan Afrika.

Indonesia disebut punya posisi tawar bagus ketika merundingkan Natuna dengan Tiongkok. Sentimen Perang Dingin antara Tiongkok dan AS bisa digunakan sebagai gertakan.

"Investasi China di Indonesia memang ke-4 terbesar di Indonesia, namun punya nilai keuntungan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pemerintah bisa mengancam memutus total hubungan ekonomi yang sudah terjalin erat, kemudian berpaling ke Amerika Serikat," paparnya.

Baca Juga: Masalah Natuna, Pakar Kemaritiman UGM: Tiongkok harus Akui UNCLOS

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya