Satu Jilid Draf Buku Sejarah Dominan Ulas Keberhasilan Soeharto-Orde Baru

- Orde Baru dan keberhasilan Soeharto
- Peristiwa kemanusiaan era Soeharto
- Kekhawatiran terhadap sejarah pesanan
Makassar, IDN Times - Draf penulisan ulang sejarah Indonesia tahun 2025 dalam jilid 9, memberi ruang dominan penggambaran keberhasilan dan pencapaian Soeharto kala menjabat Presiden RI selama 32 tahun. Sementara berbagai kasus hukum dan peristiwa kemanusiaan yang terjadi pada era orde baru itu, hanya dibahas sekilas.
Prof. Erniwati, editor sekaligus salah satu dari sebelas penulis jilid 9, saat diberi waktu 10 menit untuk memaparkan draf tulisan di kampus Universitas Negeri Makassar (UNM), Senin (4/8/2025), mengakui, "Jilid 9 sangat kontroversi, di mana 32 tahun kita dipimpin seorang presiden bernama Soeharto," ucap Prof Erniwati mengawali penjelasannya.
1. Kebijakan orde baru atas nama stabilitas nasional

Soeharto, dalam draf penulisan ulang sejarah, digambarkan telah melakukan berbagai upaya melalui kebijakan progresif demi membangun stabilitas politik dan ekonomi pasca konflik akibat peristiwa 30 September 1965.
"Dimulai dengan pembahasan bab 1, di mana digambarkan bagaimana Soeharto mengambil kebijakan-kebijakan terkait dengan bagaimana menjalankan atau mengkondisikan keamanan negara."
Selanjutnya pada bab 2, Prof Erniwati mengatakan, akan digambarkan sejarah pelibatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang sukses membangun stabilitas politik. "Mulai dari strategi, sistem persenjataan, melalui program dwifunsgi ABRI, termasuk pembatasan kegiatan mahasiswa melalui NKK/BKK," jelas Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Padang itu.
2. Soeharto "Bapak Pembangunan"

Kemudian pada bab 3, berisi ulasan sejarah ketika Soeharto melalui kekuatan ABRI, berhasil menciptakan stabilitas politik kemudian memulai program pembangunan melalui Repelita. "Sehingga Soeharto dicanangkan sebagai Bapak Pembangunan melalui sidang umum MPR 1983," Prof Erniwati menerangkan. Dia juga menekankan, orde baru digambarkan memiliki peran besar dalam membangun identitas ke-Indonesia-an.
Di sisi lain, Prof Erniwati menyebut, bab 5 yang membahas kebijakan pendidikan dan riset pada era orde baru, merupakan hal baru dalam penulisan sejarah Indonesia. "Orde baru fokus pada pengembangan pendidikan. Ini kebaruan dalam jilid 9. Berdasarkan ideologi Pancasila, mulai dari PMPM, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, bahasa Indonesia, (bertujuan) untuk membangun nasionalisme bangsa," ucapnya.
3. Peristiwa kemanusiaan era Soeharto

Bagian lain yang perlu mendapat perhatian yakni draf tulisan pada bab 8 terkait reaksi terhadap kebijakan politik dan ekonomi Soeharto. Beberapa sub bab dicantumkan, mulai dari Gerakan Organisasi Papua Merdeka, Gerakan Aceh Merdeka, Peristiwa Malari, Petisi 50 tahun 1985, Tragedi Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, Konflik Agraria (Peristiwa Kedungombo), Perjuangan Buruh (Marsinah), dan kasus-kasus pelanggaran lainnya (Udin dll).
"Di Kalimantan, kami mendapat masukan adanya peristiwa tentang Golkar tahun 1997, dan itu akan menjadi pertimbangan kami, karena (jumlah) korbannya luar biasa," katanya.
Pembangunan kebudayaan juga turut ditulis pada draf Jilid 9. Di bab 10, Prof Erniwati mengatakan, tim penulis akan mengulas pendekatan yang dipilih Soeharto dalam menertibkan kehidupan kebudayaan di Indonesia. "Bagaimana orde baru ikut dalam melakukan pembatasan, kelonggaran, dan membangun kebudayaan sebagai bagian dari identitas ke-Indonesia-an," kata Prof Erniwati dengan ucapan terbata-bata.
"Tentang bagaimana seni menjadi bagian dari politk orde baru sehingga kita mengeal adanya pembredelan beberapa seniman," tambahnya. Namun, dia tidak menyebutkan bagaimana sudut pandang pembredelan ini akan ditulis.
4. Kekhawatiran terhadap sejarah pesanan

Program penulisan ulang sejarah Indonesia tidak lepas dari protes dan kesangsian dari banyak pihak. Pada sesi tanya-jawab saat kegiatan diskusi publik di UNM Makassar, sejumlah peserta secara terbuka menyampaikan keraguan atas keadilan sejarah yang akan ditulis ulang serta dugaan penyusupan sejarah pesanan. Termasuk, indepedensi tim penulis yang bebas dari intervensi kekuasaan.
Kekhatiwaran banyak pihak itu, coba dinetralisir oleh Ketua Tim Penulis, Prof. Susanto Zuhdi. Menurutnya, integritas para penulis dan editor dapat dipertanggungjawabkan. "Kami dosen anda, mengabdi pada negara, bukan pada pemerintah, bukan pada menteri, bukan pada presiden kami menulis," tegas Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Indonesia tersebut.
"Negara tidak mencampuri atau mengintervensi penulisan ulang sejarah ini." Keraguan terhadap Menteri Kebudayaan, kata dia, harus dinilai secara proporsional.
5. Kritik KontraS Sulawesi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi turut merespons penulisan ulang sejarah Indonesia. KontraS menilai, ini adalah proyek politik yang punya semangat kolonialisasi yang kental sebagai upaya penjajahan terhadap memori kolektif warga negara.
"Dalam konteks yang lebih luas, upaya penulisan ulang sejarah Indonesia rentan untuk menjadi alat legitimasi terhadap peminggiran perempuan dan korban pelanggaran HAM yang terbentang luas di Indonesia," kata Koordinator KontraS Sulawesi, Asyari, kepada IDN Times, Selasa (5/8/2025).
Menurutnya, proyek andalan Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, ini juga berpotensi melanggengkan praktik impunitas terhadap peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, yang idealnya diungkap kebenarannya untuk dimintai pertanggungjawabannya kepada negara. Hal ini, kata Asyari, menjadi syarat keadilan transisi bagi negara yang hendak membangun demokrasinya yang adil dan bermartabat.
"Kita juga perlu khawatir bahwa narasi sejarah yang baru dapat mengaburkan peristiwa masa lalu dan mengabaikan hak-hak korban."
Lebih jauh Asyari menjelaskan, penulisan ulang sejarah ini alih alih untuk menjalankan amanat reformasi, pemerintah Indonesia disebutnya sedang menujukkan upaya kepentingan politik tertentu, seperti membangun narasi sejarah yang seragam dan menguntungkan pemerintah sehingga jaminan atas ketidakberulangan peristiwa kekerasan masa lalu menjadi minim.