Buruh Tuntut Hak Lembur Rp200 M Belum Dibayar PT Huadi Nickel Bantaeng

- Estimasi total upah lembur yang belum dibayar mencapai sekitar Rp200 miliar dari 1.200 buruh KIBA
- Dugaan kerja eksploitatif dan pelanggaran upah minimum
- Perusahaan abaikan penetapan pengawas
Makassar, IDN Times - Sidang gugatan antara 20 buruh dan pihak perusahaan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), kembali digelar di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Makassar, Selasa (14/10/2025).
Dua puluh buruh ini sebelumnya di-PHK pada 1 Maret 2025 dan kini menghadapi gugatan balik dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Ketua Umum Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi KIBA (SBIPE KIBA) Bantaeng, Junaid Judda, mengatakan, gugatan tersebut berkaitan dengan hasil penetapan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Bantaeng yang sebelumnya telah mewajibkan perusahaan membayar kekurangan upah lembur kepada para buruh.
“Gugatannya terkait PHK dan hasil penetapan Disnaker-dua hal yang merupakan ketetapan negara melalui Disnaker Bantaeng,” kata Junaid kepada awak media di sela-sela ritual songkabala buruh KIBA di depan PN Makassar.
1. Estimasi total upah lembur yang belum dibayar mencapai sekitar Rp200 miliar dari 1.200 buruh KIBA

Menurutnya, jika 20 buruh ini memenangkan gugatan, maka kemenangan itu akan berdampak luas bagi sekitar 1.200 buruh lain di KIBA yang mengalami persoalan serupa, yakni upah lembur yang belum dibayarkan penuh oleh perusahaan.
“Nominalnya per orang kalau dia bekerja selama 3 tahun, maka upah lembur yang tidak dibayarkan oleh perusahaan berkisar Rp60 hingga Rp 63juta perorang. Kalau 20 orang ini menang, itu akan menjadi preseden positif bagi 1.200 buruh lain. Estimasi total upah lembur yang belum dibayar mencapai sekitar Rp200 miliar,” ujarnya.
2. Dugaan kerja eksploitatif dan pelanggaran upah minimum

Perkara ini bermula dari hubungan kerja antara 20 buruh HNAI yang berlangsung sejak 2021 hingga pemutusan hubungan kerja pada Maret 2025. Mereka ditempatkan di unit produksi berisiko tinggi, seperti furnace, rotary kiln, conveyor, dan dump truck.
Para buruh disebut bekerja dalam sistem shift 12 jam per hari tanpa istirahat, atau bekerja reguler 8 jam per hari tanpa libur mingguan. Pola kerja tersebut melebihi ketentuan PP No. 35 Tahun 2021 yang membatasi jam kerja maksimal 40 jam per minggu dengan hak istirahat harian dan mingguan.
Alih-alih membayar upah lembur sesuai ketentuan hukum—1,5 kali upah sejam untuk jam pertama dan 2 kali untuk jam berikutnya—perusahaan hanya memberikan “insentif kelebihan jam kerja” sebesar 35–40 persen dari upah pokok dan tunjangan tetap.
Perhitungan itu jauh di bawah standar hukum, menyebabkan buruh kehilangan hak atas upah lembur layak. Berdasarkan temuan serikat dan pengawas ketenagakerjaan, total kekurangan upah lembur bagi 20 buruh mencapai Rp983 juta.
Selain itu, gaji pokok tahun 2025 sebesar Rp3,5 juta juga dinilai melanggar aturan karena lebih rendah dari UMP Sulsel 2025 sebesar Rp3.657.527.
3. Perusahaan abaikan penetapan pengawas

Buruh sempat menggelar aksi damai selama 16 hari pada Juli 2025 untuk menuntut pembayaran upah lembur dan kejelasan status kerja. Hasil perundingan tripartit memang menghasilkan perjanjian bersama terkait opsi PHK atau dirumahkan, namun tidak menyentuh soal tuntutan upah lembur.
Pada Maret - Mei 2025, pengawas ketenagakerjaan Sulsel kemudian menerbitkan penetapan resmi yang mewajibkan perusahaan membayar kekurangan upah lembur. Namun, perusahaan justru mengabaikan perintah tersebut dan malah menggugat 20 buruh ke PHI pada Agustus 2025.
Gugatan itu didasarkan pada tiga alasan utama yakni; adanya perjanjian bersama yang dianggap melarang tuntutan lanjutan, kesepakatan pemberian insentif 40 persen, dan klaim bahwa perhitungan pengawas tidak dikonfirmasi ke perusahaan.
Serikat buruh menilai langkah hukum perusahaan tersebut sebagai bentuk judicial harassment untuk menekan buruh yang menuntut hak normatifnya.
"Ini bukan sekadar soal 20 orang. Ini tentang bagaimana hukum berpihak pada pekerja dan menghentikan praktik kerja paksa di industri smelter,” tegas Junaid.