Menilik Perihal Identitas Melalui Pertunjukan Passompe’

- Pementasan teater Passompe' mengusung tema perjalanan dan identitas diri
- Menampilkan aktivitas bepergian, pemaknaan yang dalam, dan konteks sejarah merantau di masyarakat Bugis dan Makassar
- Menghadirkan pengalaman emosional dan intelektual yang mengajak penonton merenungkan kehidupan dan keberanian dalam menghadapi perubahan
Kapan terakhir kali kita benar-benar serius menanyakan dan memaknai konsep identitas diri, pergi-pulang, dan rumah?
Mungkin inilah yang ditunjukkan melalui Passompe’ --Perjalanan Melintas Batas Kesedihan-- karya Shinta Febriany produksi Kala Teater, yang dipentaskan pada 8-10 Desember di Gedung Mulo, Makassar. Mengusung tema besar tentang perjalanan, pertunjukan ini bukan hanya menyuguhkan aktivitas bepergian tetapi juga pemaknaan yang lebih dalam. Pementasan dibuka dengan kesibukan tokoh-tokoh yang berlalu-lalang menenteng tas berbagai ukuran. Sesekali terdengar orang yang meminta jalan atau bahkan bertanya posisi terminal. Pemandangan biasa yang kerap kita dapati di ruang-ruang di mana berpindah, gaduh, dan sibuk sendiri menjadi hal biasa. Beberapa menit aktivitas ini terus-menerus berulang membuat saya, sebagai salah satu audiens di malam itu, bertanya-tanya: hendak ke mana seluruh tokoh yang berlalu-lalang ini?

Pertunjukan ini lantas mengajak audiens untuk larut dalam babak demi babak yang sangat dinamis. Setelah adegan lalu-lalang berakhir, penonton disuguhi oleh dialog dua tokoh yang duduk bersebelahan, saling menanyakan tujuan masing-masing. Ada penggambaran visual sebagai latar belakangnya, yaitu peta dunia dan gambar langkah-langkah kaki yang timbul tenggelam. Setelahnya, tokoh-tokoh lain bermunculan, bergerak secara ritmis mengelilingi panggung, meneriakkan hal yang sama berulang kali meninggalkan kesan yang cukup kuat. Serangkaian informasi juga disajikan untuk memberikan konteks sejarah mengenai tradisi merantau dalam kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar. Dari satu masa ke masa yang lain, dari satu teriakan ke tangisan tokoh yang lain. Di setiap masa, para pelakon berganti pakaian berkali-kali, seperti hendak menunjukkan ada identitas yang ditanggalkan sebelum mengenakan identitas yang lain. Atau hal ini juga menunjukkan bahwa setiap orang memiliki interseksionalitas --kelindan antarsatu identitas dan identitas yang lain-- setidaknya seperti itu atmosfer yang terasa ketika saya menontonnya malam itu.

Saya sangat terkesan dengan pertanyaan dan pernyataan yang muncul dalam pertunjukan malam itu yang menjembatani berbagai isu sosial yang coba diangkat. Keresahan mengenai identitas melalui penggalan pertanyaan: “Sebenarnya apakah identitas itu?” juga pernyataan mengenai letak rumah dan makna pulang. Selama satu jam durasi pertunjukan, hal ini digaungkan berkali-kali melalui gerak, mimik, dan adegan di atas panggung. Sesekali penonton diajak untuk melihat masa lalu berisi alasan-alasan mengapa orang-orang memutuskan merantau. Ada penggalan dialog mengenai meninggalkan kesengsaraan dan mencari tanah baru. Lalu di adegan lainnya, penonton disuguhi dengan kebingungan tokoh akan pulang ke rumah. Seolah-olah kehidupan nyaman di tempat baru tidak lebih baik daripada kembali ke kampung, pulang ke tempat yang rasanya lebih familier.
Tentu membahas pertunjukan ini tidak bisa lepas dari konteks lokalitas. Sejak awal membaca judul pertunjukan, pandangan bahwa ini akan mengacu pada makna perjalanan atau merantau yang telah menjadi identitas masyarakat Bugis dan Makassar sangat besar. Hal ini dibuktikan melalui apa yang ditampilkan malam itu.
Passompe’ memperlihatkan perjalanan yang merujuk pada tokoh yang melintas waktu, tempat, dan pemahaman mereka tentang diri sendiri. Pertunjukan ini juga menawarkan cerita di mana para tokoh menghadapi perjalanan raga dan batin yang membawa mereka ke transformasi yang beragam. Hal yang tidak kalah menarik perhatian adalah unsur lokalitas dan modernitas yang disatukan, dibenturkan dan disuguhkan melalui detail-detail pertunjukan yang terasa natural membungkus cerita dari awal hingga akhir.

Dengan memanfaatkan banyak simbolisasi, pertunjukan Passompe’ juga mengajak penonton untuk merefleksikan pengaruh budaya sebagai bagian dari pandangan hidup yang mengakar secara turun-temurun. Nilai-nilai budaya lokal diintegrasikan dengan indah, sehingga tidak hanya memberikan kedalaman pada cerita, tetapi juga memperkaya sudut pandang dalam melihat kembali tradisi dan nilai tentang merantau. Passompe’, berhasil menunjukkan bagaimana budaya dan tradisi dapat berperan penting dalam memaknai diri sebagai satu individu dengan berbagai rupa dan ragam karakter.
Isu lain yang juga muncul melengkapi pertunjukan malam itu adalah mengenai perempuan. Disebutkan mengenai bagaimana perempuan dipandang dalam ranah sosial, bahwa sejatinya perempuan memiliki tempat yang setara dengan laki-laki. Tentu tidak lupa dibahas mengenai diaspora, kaum perantau yang kemudian lebih memilih menetap di tanah rantau, biasanya mengacu pada tempat di luar Indonesia Ada satu momen di mana lagu berbahasa Inggris mengalun seakan menunjukkan kesan ‘American Dreams’ yang menjadi muara dari mimpi para perantau akan hidup yang penuh kebebasan, egaliter, dan dinamis. Tentu di balik itu muncul kesan kerinduan akan rumah dan pulang.
Shinta Febriany menyajikan teater yang kaya akan pesan dan pelajaran hidup. Setiap adegan dalam Passompe’ menggugah penonton untuk merenungkan keputusan-keputusan besar dalam hidup. Ada rasa frustrasi, sedih, kemarahan, dan kegelisahan yang diekspresikan dalam pertunjukan malam itu. Hal ini juga menyiratkan bagaimana keputusan pergi keluar dari satu tempat ke tempat yang lain berimbas pada hubungan diri dengan masa lalu, hari ini, dan masa depan. Konsep waktu yang fleksibel menjadi elemen penting dalam alur cerita, menciptakan sebuah pengalaman yang tidak hanya menceritakan kisah tetapi juga mengundang pemikiran filosofis.
Passompe' --Perjalanan Melintas Batas Kesedihan--

Passompe’ --Perjalanan Melintas Batas Kesedihan-- bukan hanya sekadar pertunjukan teater, tetapi sebuah pengalaman emosional dan intelektual.
Melalui pementasan yang kuat baik secara visual dan rasa, Shinta Febriany berhasil menciptakan sebuah karya yang tidak hanya mengaduk-aduk emosi namun juga mengajak kita melihat ke dalam diri sendiri.
Passompe’ membawa penonton melintasi batas-batas waktu dan ruang, mengajak penonton untuk mempertanyakan hakikat kehidupan, serta mengingatkan kita akan pentingnya keberanian dalam menghadapi perubahan, menerima kenyataan, dan menghadapi perasaan asing. Hal ini juga memberikan waktu bagi kita untuk berkontemplasi, menikmati proses berpindah melewati batas-batas pemikiran sendiri.