Kisah Ina Tobani, Generasi Terakhir Pembuat Kain Kulit Kayu di Sulteng

Belum ada penerus pembuat kain kulit kayu di Kulawi, Sigi

Sigi, IDN Times – Usia Ina Tobani sudah mencapai 80 tahun. Dia tidak lagi mampu membuat kain kulit kayu dalam jumlah banyak.

Wanita asal Desa Mataue, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, ini merupakan satu dari dua perempuan yang masih aktif membuat pakaian khas tersebut.

Tobani mulai belajar membuat kain kulit kayu sejak 1957, setelah dia menyelesaikan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR). Kepiawaian mencipta pakaian berbahan kulit kayu dia pelajari dari ibu dan neneknya.

“Memang keluarga saya yang membuat kain kulit kayu sejak awal dan hingga sekarang,” kata Tobani saat ditemui IDN Times di Kulawi, Sigi, Kamis (6/5/2021).

1. Kain kulit kayu di Sigi terancam punah

Kisah Ina Tobani, Generasi Terakhir Pembuat Kain Kulit Kayu di SultengDua perempuan pembuat kain kulit kayu asal Desa Mataue, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. IDN Times/Kristina Natalia

Tobani menceritakan, dulu suara ketukan palu dari pembuat kain kayu begitu ramai terdengar dari setiap rumah di daerahnya. Bagi perempuan Suku Kulawi, kemampuan membuat kain unik itu seperti anugerah tersendiri.

Namun sayang, saat ini pembuat kain kulit kayu di Kulawi tersisa dua orang. Selain Tobani, satu orang lainnya bernama Ina Depi (50). Mereka masih keluarga dekat. Kata Tobani, Ina Depi belajar membuat kain kulit kayu darinya.

“Sekarang saya sudah tua dan tidak lagi kuat untuk produksi kain kulit kayu dalam jumlah banyak. Di Kulawi ini tinggal kami dua dengan Ina Depi yang buat kain kulit kayu,” cerita Tobani.

Upaya pelestarian kain kulit kayu selalu dilakukan Tobani. Dia mengaku telah mengajari sejumlah anak muda di Kulawi, namun tidak ada satupun dari mereka yang sanggup. Sebab, tidak seperti menenun benang biasa, membuat selembar kain dari kulit kayu butuh tenaga ekstra. Tobani pun khawatir produksi kain kulit kayu akan terhenti jika suatu saat dirinya tak lagi mampu.

Selain itu, alat membuat kain kulit kayu pun sudah jarang terlihat di Kulawi. Kebanyakan dari alat itu dijual pemiliknya. Beberapa bahkan sudah dimuseumkan.

“Saya punya tidak mau saya jual, saya gunakan sampai sekarang. Ada yang mau beli saya tidak kasih karena itu peninggalan orangtua saya. Alat itu dipakai nenek saya dan sampai sekarang masih berfungsi dengan baik,” kata Tobani. Alat yang dimilikinya sudah berusia ratusan tahun. Kata dia, bahan untuk membuat alat tersebut tidak mudah ditemukan saat ini.

“(Alat) kayu keras. (Seperti) batu yang dipakai pukul kulit kayu sampai berbentuk pola. Saya tidak mau jual,” kata Tobani.

2. Proses panjang pembuatan kain kulit kayu

Kisah Ina Tobani, Generasi Terakhir Pembuat Kain Kulit Kayu di SultengIna Tobani menunjukkan alat-alat pembuat kain kulit kayu yang sudah berusia ratusan tahun. IDN Times/Kristina Natalia

Membuat sepasang pakaian adat Kulawi dari kain kulit kayu, bukan perkara mudah kata Tobani. Semua prosesnya dikerjakan secara manual sesuai tradisi.

Bahan untuk membuat kain kulit kayu berasal dari kulit pohon beringin. Sepasang pakaian adat membutuhkan kurang lebih 20 batang ranting berukuran 1,5 meter. Menurut Tobani, beringin cocok jadi bahan kain karena seratnya yang lebih kuat.

Pohon beringin memiliki berbagai macam jenis, kata Tobani. Puluhan beringin yang tumbuh di hutan Desa Mataue, sebenarnya memudahkan kaum perempuan Kulawi membuat kain kulit kayu.

“Ratusan tahun sudah usianya pohon beringin yang hidup sendiri di kebun kami. Nah yang kami pakai buat baju itu rantingnya. Kulit kayu yang bisa dibuatkan kain itu bisa yang masih usia bulan,” terangnya.

Dia menuturkan cara membuat kain kulit kayu. Pertama-tama, lembaran kulit kayu dibersihkan lalu bagian yang keras dikupas. Sementara kulit yang memiliki pola berserat diambil lalu direbus dalam belanga tanah selama satu jam.

“Kulit kayu itu kemudian diinjak dan disatukan menjadi dua ikat. Setelah itu diperam atau direndam dalam air selama empat hari,” tutur Tobani.

Jika kulit kayu sudah terlihat lebih halus, maka proses pembuatan dilanjutkan ke tahap selanjutnya yaitu memukul-mukul atau menempa kulit kayu hingga halus menggunakan alat yang disebut pola. Alat ini terbuat dari pohon enau.

Kemudian, kulit kayu kembali ditempa menggunakan alat bernama Ike Tinahi. Selanjutnya, kulit kayu ditempa lagi dengan alat bernama Ike Tiva. Nah alat terakhir inilah yang akan menjadikan kulit kayu semakin halus.

Setelah serangkaian proses menempa kulit kayu, Tobani memakai alat yang disebutnya Ike Pogea untuk membentuk kulit kayu menjadi tipis merata dengan sempurna. Tahap berikutnya adalah menyambung ujung kulit-kulit kayu memakai alat Ike Popapu.

“Berlapis-lapis sampai jadi rok dan kain kulit kayu ini tanpa jahitan,” sebut Tobani.

Ibu dari 10 anak ini mengerjakan seluruh proses pembuatan kain kulit kayu seorang diri. Setelah membentuk rok, Tobani lanjut menjemur kain sebelum dihaluskan lagi dengan alat Porondo.

Tahap terakhir, kata Tobani yaitu proses pengawetan. Kain diawetkan menggunakan buah Ula yang telah ditumbuk lalu dicampur air. Ampas buah Ula dibuang dan airnya digunakan untuk merendam kain hingga menjadi lebih keras dan berbentuk sempurna.

“Buah Ula hanya ada di Kulawi ini dan saya tanam di kebunku. Buah ini sejak dulu dipakai orang tua kami sebagai pewarna sekaligus pengawet baju,” jelasnya.

Proses pengerjaan sepasang baju adat kain kulit kayu akan memakan paling cepat satu bulan. Mulai dari pengambilan kayu hingga menjadikan sepasang baju siap pakai.

Baca Juga: Sikola Pomore, Sekolah Alam Gratis bagi Anak Penyintas Bencana Sulteng

3. Kain kulit kayu dari Kulawi diminati orang luar negeri

Kisah Ina Tobani, Generasi Terakhir Pembuat Kain Kulit Kayu di SultengIDN Times/Kristina Natalia

Kain kulit kayu biasanya dipakai pada acara adat maupun penyambutan tamu yang datang dari luar Kecamatan Kulawi. 

Sepasang pakaian adat kain kulit kayu dijual dengan harga Rp1 juta. Pada zaman dulu, sebagian besar masyarakat tidak mampu membayar baju adat kain kulit kayu dengan uang. Sehingga dibarter dengan satu ekor hewan ternak seperti sapi atau kerbau.

“Ini ada pesanan pemerintah Kabupaten Sigi enam pasang, saya belum bisa buat karena sakit,” tutur Tobani.

Ia mengatakan, selama ini pemesan baju adat kain kulit kayu lebih banyak dari luar Indonesia. Teranyar berasal dari Korea Selatan. “Sebenarnya 2018 lalu saya diundang ke Jepang, tetapi batal karena gempa,” sebutnya.

Tobani sudah menjanda sejak 2005, saat suaminya meninggal dunia. Kini Tobani menjadi kepala keluarga dan membantu memenuhi kebutuhan tiga anak dan satu cucu perempuan yang hidup bersamanya.

“Anak-anakku yang lain sudah ikut suaminya, sesekali mereka datang ke Kulawi. Bersyukur sekarang masih sehat dan bisa membuat kain kulit kayu,” ucap Tobani

Baca Juga: 5 Destinasi Wisata Terbaik di Sigi, Ada Paralayang Terbaik se-Asean

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya