IDN Times Berbagi Kiat Atasi Hoaks Bareng Mahasiswa Jurnalistik UINAM

Sebab memberantas kabar palsu merupakan tugas bersama

Makassar, IDN Times - Masalah hoaks seolah tidak ada habisnya. Jika sebelumnya hanya tentang gontok-gontokan politik, pandemik COVID-19 jadi topik utama berita palsu selama setahun terakhir. Dengan minimnya informasi perihal virus SARS-CoV-2 di triwulan 2020, masyarakat jadi mudah cemas usai menerima berita yang tak jelas asal muasalnya.

Kabar-kabar palsu yang mendominasi linimasa pada beberapa bulan pertama masa pagebluk diakui turut merepotkan Kementerian Kesehatan. Dilansir ANTARA, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat ada 1.470 hoaks terkait COVID-19 tersebar di beragam platform media sosial, dari 23 Januari 2020 hingga 10 Maret 2021.

Jumlah hoaks yang meroket membuat tugas jurnalis sebagai garda terdepan penyampai informasi bagi publik, semakin bertambah. Ini menjadi topik utama bincang-bincang daring yang dilakukan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Jurnalistik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) pada Senin (12/4/2021) sore.

1. Kabar palsu selama masa pandemik jadi topik utama dalam bincang-bincang daring antara HMJ Jurnalistik UINAM dan IDN Times Sulsel

IDN Times Berbagi Kiat Atasi Hoaks Bareng Mahasiswa Jurnalistik UINAMTangkapan layar bincang-bincang daring bertema "Peran Jurnalis Melawan Perangkap Hoax di Era Pandemi" yang digelar HMJ Jurnalistik Univesitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Senin 12 April 2021. (Dok. Istimewa/IDN Times)

Dalam bincang-bincang bertajuk "Peran Jurnalis Melawan Perangkap Hoax di Era Pandemi" itu, jurnalis IDN Times Sulsel Asrhawi Muin hadir sebagai narasumber. Kepada para peserta, ia menyebut bahwa hoaks tentang pandemik tak cuma terjadi di pusat saja, namun menyebar hingga ke daerah.

"Salah satu contohnya itu waktu kasus pertama belum diumumkan. Di Makassar, saat itu banyak beredar sebuah foto beredar yang tulisannya mengatakan COVID-19 sudah ada. Dan fotonya itu adalah foto peninjauan pak Gubernur ke RS rujukan," ujarnya.

Pascakasus pertama, hoaks kembali membuat penduduk Makassar ketar-ketir. Isunya, penduduk Kota Daeng bakal alami PSBB ketat selama tiga hari tiga malam. Namun setelah dikonfirmasi oleh jurnalis, ternyata itu sekadar kabar burung.

"Di sinilah peran kita sebagai awak media untuk meminimalisir (hoaks). Caranya itu dengan mengklarifikasi," sambung Rawi, sapaan akrabnya.

2. Tingkat literasi digital jadi salah satu motif seseorang menyebarkan hoaks di media sosial atau ke lingkaran sosial terdekatnya

Lebih jauh, Rawi menyebut bahwa ada perbedaan respons antara masyarakat umum dengan jurnalis saat menerima kabar burung. Yang satu cenderung bingung sekaligus bertanya-tanya, yang lain langsung mencari tahu dan mengklarifikasi ke pemangku kebijakan.

"Misalnya soal PSBB massal tadi. Kita langsung konfirmasi ke bapak Pj Wali Kota atau Gubernur langsung. Ternyata tidak benar," paparnya.

Berbicara tentang motif penyebaran hoaks, ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh. Pertama, penggunaan ponsel pintar yang tak dibarengi literasi. Ini senada dengan hasil survei Kominfo pada November 2020 yang menyebut tingkat literasi digital di Indonesia yang masih tergolong sedang.

"Bukan cuma di media sosial, hoaks juga bisa menyebar di antara masyarakat. Faktor lain karena ada orang yang ingin eksis, jadi yang pertama tahu dan dibagikan. Benar atau tidak, jadi urusan belakangan," lanjut Rawi.

Baca Juga: Roadshow Virtual, IDN Times Bicara Industri Media Massa di UM Buton

3. Dengan kapasitas masing-masing, jurnalis dan masyarakat umum memiliki tugas menekan penyebaran kabar palsu

IDN Times Berbagi Kiat Atasi Hoaks Bareng Mahasiswa Jurnalistik UINAMIlustrasi membaca artikel (IDN Times/Besse Fadhilah)

Selain itu, Rawi menyebut bahwa para penyebar hoaks biasanya tak terlalu peduli kepada validitas kabar. Apakah dari sumber tepercaya atau pihak pertama. Yang terpenting adalah menjangkau orang seluas mungkin, mengumpulkan likes dan komentar sebanyak mungkin.

Meski tugas menghentikan dan mengurangi hoaks seolah jadi wewenang pemerintah dan pengelola media sosial, masyarakat dan jurnalis pun mengemban tugas serupa. Tentu saja dengan kapasitas masing-masing.

"Jangan mudah percaya. Kalau menerima informasi dari siapa pun, kita tidak bisa langsung percaya. Istilahnya tabayyun. Periksa validitasnya. Apalagi kalau beritanya lebih didominasi ujaran kebencian," katanya.

"Sementara tugas kita sebagai jurnalis untuk melakukan check and recheck, tidak menelan mentah-mentah informasi yang beredar," pungkas Rawi.

Baca Juga: IDN Times Ajak Mahasiswa UM Buton Mendalami Dunia Kepenulisan 

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya