Latih 7 Ribu Penjamah Makanan, BGN Perketat Standar Dapur MBG

Makassar, IDN Times – Direktorat Penyediaan dan Penyaluran Wilayah III Badan Gizi Nasional (BGN) menggelar Sosialisasi Petugas Penjamah Makanan di Hotel Myko Makassar, Sabtu (22/11/2025). Kegiatan ini berlangsung serentak di tiga daerah, yakni Makassar, Bulukumba, dan Wajo, dan diikuti ribuan peserta yang bertugas memastikan pengelolaan Makanan Bergizi (MBG) berjalan sesuai standar.
Deputi Bidang Penyediaan dan Penyaluran BGN, Brigjen (Purn.) Suardi Samiram, hadir memberikan sambutan sekaligus menegaskan pentingnya peran penjamah makanan dalam keberhasilan program MBG. Mereka adalah para relawan yang bertugas mengolah, menyiapkan, menyajikan, dan mendistribusikan makanan kepada para penerima manfaat.
Suardi sekaligus memaparkan perkembangan SPPG (Sarana Penyediaan Pangan Gizi) nasional dan menekankan bahwa kualitas pengolahan makanan akan sangat menentukan upaya pemerintah dalam menurunkan angka stunting.
1. SPPG layani 41,9 juta jiwa, di Sulsel 1,39 juta

Dalam sambutannya, Suardi menyampaikan bahwa hingga saat ini terdapat 15.410 SPPG di seluruh Indonesia, dengan 14.230 unit yang aktif beroperasi. Program MBG yang dijalankan melalui SPPG telah memberikan manfaat kepada 41,9 juta jiwa, mulai dari peserta didik anak sekolah hingga ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Jumlah tersebut menunjukkan skala besar program yang harus dijalankan dengan standar tinggi agar manfaatnya tepat sasaran.
Untuk wilayah Sulawesi Selatan, terdapat 625 SPPG yang berdiri, dan 536 di antaranya telah aktif melayani penerima manfaat. Total warga yang dilayani mencapai 1,39 juta jiwa, angka yang menurut Suardi sangat signifikan dalam usaha meningkatkan status gizi masyarakat. Ia menekankan bahwa SPPG adalah “garda terdepan MBG” yang berperan besar dalam membentuk generasi sehat menuju Indonesia Emas 2045.
Suardi juga mengingatkan bahwa cakupan yang besar berarti risiko yang besar pula jika standar pengolahan tidak dijaga. Karena itu, peningkatan kapasitas penjamah makanan dianggapnya sebagai bagian integral dari kualitas layanan.
“Program ini harus menyediakan makanan yang aman, bergizi, dan higienis,” ujarnya.
2. SLHS masih minim di Sulsel, BGN minta SPPG penuhi standar

Salah satu fokus kegiatan sosialisasi adalah penerapan Sertifikat Laik Higien Sanitasi (SLHS) bagi setiap SPPG. Suardi menyebut bahwa saat ini sudah ada 1.601 SPPG di Indonesia yang memiliki SLHS secara mandiri melalui penerbitan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Angka ini menunjukkan adanya kemajuan, namun masih jauh dari target keseluruhan SPPG yang jumlahnya di atas 15 ribu.
Di Sulawesi Selatan, jumlah SPPG yang memiliki SLHS baru mencapai 46 unit. Angka itu dinilai perlu ditingkatkan secara signifikan, mengingat Sulsel merupakan salah satu wilayah dengan penerima manfaat MBG terbesar. Suardi menegaskan bahwa pemenuhan standar SLHS bukan hanya syarat administratif, melainkan tanggung jawab moral terhadap penerima manfaat.
“Semua SPPG wajib mengikuti aturan dari Dinas Kesehatan,” ujarnya.
Pelatihan yang diberikan dalam sosialisasi ini mencakup pemahaman regulasi, standar sanitasi, serta tata cara penyimpanan dan penyajian makanan yang aman. Para peserta juga menerima materi spesifik mengenai risiko kontaminasi dan kesalahan teknis yang dapat menurunkan mutu makanan. Tujuannya agar setiap unit mampu menerapkan standar keamanan pangan secara konsisten, bukan hanya pada tahap inspeksi.
3. Penjamah makanan dilatih standar proses masak hingga distribusi

Suardi menegaskan bahwa aspek teknis pengolahan adalah inti dari kualitas MBG. Ia menyoroti bahwa banyak kesalahan dalam distribusi makanan terjadi bukan di bahan baku, tetapi dalam proses memasak dan pemorsian.
“Penyiapan bahan, proses masak, sampai pemorsian dan distribusi harus sesuai aturan,” katanya. Ia menambahkan bahwa higienitas dan kecukupan gizi tidak boleh ditawar dalam setiap tahap.
Pelatihan yang berlangsung serentak di tiga lokasi itu diikuti sekitar tujuh ribu orang. Mereka adalah penjamah makanan, sebagian besar merupakan relawan yang direkrut sebagai juru masak. Selain itu, terdapat ahli gizi yang bertugas mengatur kecukupan gizi setiap paket MBG, staf akuntansi yang mengelola pembelanjaan dan keuangan, serta pengelola SPPG yang bertanggung jawab memastikan operasional harian berjalan sesuai pedoman.
Dalam kegiatan tersebut, peserta diperkenalkan pada alur lengkap MBG, mulai dari pemilihan bahan mentah, proses pencucian dan pemotongan, teknik memasak yang meminimalkan hilangnya zat gizi, hingga langkah-langkah distribusi. Setiap tahapan diperagakan secara detail untuk memastikan seluruh peserta memahami standar yang harus diterapkan di lapangan.
4. Cegah keracunan makanan, sayuran tidak boleh disimpan lama

Pencegahan kasus keracunan makanan menjadi salah satu topik yang paling ditekankan dalam sosialisasi. Suardi mengatakan bahwa standar higienitas merupakan syarat mutlak dalam pengelolaan makanan. “Wajib higiene dan wajib sehat, itu tidak boleh ditawar,” ucapnya. Ia mengingatkan bahwa satu kesalahan kecil dalam pengolahan bisa berdampak besar pada ribuan penerima manfaat.
Salah satu risiko terbesar terdapat pada sayuran yang disimpan terlalu lama. Suardi menjelaskan bahwa sayuran yang tidak diolah atau didistribusikan tepat waktu bisa menghasilkan nitrite, senyawa yang berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu. “Sayur bisa menghasilkan nitrite jika disimpan terlalu lama, jadi harus diolah dengan benar,” katanya.
Para peserta dibekali pemahaman bahwa keracunan bukan hanya terjadi akibat bahan baku buruk, tetapi juga akibat teknik pengolahan yang salah, seperti pemanasan berulang, penyimpanan pada suhu yang tidak sesuai, hingga penggunaan ulang minyak goreng. Pelatihan ini diharapkan dapat menekan risiko tersebut dan memastikan setiap SPPG mampu menjaga keamanan makanan hingga ke tangan penerima manfaat.


















