Perdik Sulsel: UU Cipta Kerja Abaikan Hak Pokok Penyandang Disabilitas

UU tidak selaras dengan perjuangan penyandang disabilitas

Makassar, IDN Times - Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (Perdik), salah satu organisasi disabilitas di Kota Makassar menyatakan sikap menolak pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR RI. Perdik menganggap UU itu tidak selaras dengan semangat perjuangan penyandang disabilitas melawan stigma keterpurukan.

"Ini juga salah satu bentuk pelanggaran HAM juga karena dalam Omnibus Law, masih memakai istilah cacat. Padahal kita tahu bahwa Indonesia sudah meratifikasi konvensi hak penyandang disabilitas melalui UU Nomor 19 Tahun 2011," kata Direktur Perdik Sulsel Abdul Rahman, kepada IDN Times, Rabu (14/10/2020).

1. DPR gagal paham terhadap kelompok masyarakat rentan

Perdik Sulsel: UU Cipta Kerja Abaikan Hak Pokok Penyandang DisabilitasDirektur Perdik Sulsel Abdul Rahman. IDN Times/Perdik Sulsel

Rahman menilai, dalam rancangan, proses penyusunan hingga pengesahan UU tersebut syarat dengan kekeliruan. DPR dianggap tidak begitu paham terhadap kondisi masyarakat. Selain perempuan dan anak, juga persoalan disabilitas. "DPR tidak terlalu paham terhadap kondisi kelompok masyarakat rentan," ujar Rahman.

Menurut Rahman, jika memang DPR melibatkan para ahli hingga akademisi dalam penyusunannya, Omnibus Law UU Ciptaker, tidak akan serumit ini. Apalagi, draf UU yang diterbitkan masih menjadi polemik. "Ada tiga kan drafnya. Itu yang jadi masalah mendasar," tegas disabilitas kategori low vision ini.

Rahman menegaskan Omnibus Law UU Ciptaker tidak sejalan dengan UU Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Omnibus Law dianggap melegitimasi stigma buruk tentang kelompok penyandang disabilitas. "Untuk itu kami tegaskan bahwa Omnibus Law UU Ciptaker kami tolak karena tidak selaras dengan UU yang sudah ada," imbuhnya.

2. Jaringan organisasi disabilitas tolak Omnibus Law UU Ciptaker

Perdik Sulsel: UU Cipta Kerja Abaikan Hak Pokok Penyandang DisabilitasIlustrasi. Demo mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan, menolak pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa (6/10/2020). (IDN Times/bt)

Selain Perdik Sulsel, jaringan organisasi disabilitas lainnya juga menyatakan sikap menolak pengesahan Omnibus Law UU Ciptaker oleh DPR RI. Nurul Saadah, dari Sentra Advokasi Perempuan dan Anak (SAPDA) Jogjakarta menilai, kelompok atau organisasi penyandang disabilitas tidak pernah diperhitungkan dan dilibatkan sejak awal proses pembahasan.

"Padahal substansi RUU Cipta Kerja sangat relevan dan akan berdampak terhadap kehidupan para penyandang disabilitas," kata Nurul Saadah dalam rilis hasil konfrensi pers jaringan difabel Indonesia tolak UU Ciptaker, yang diterima jurnalis di Makassar, hari ini.

UU Ciptaker dianggap telah melakukan kejahatan epistemik dengan mengusung istilah cacat bagi penyandang disabilitas. Paradigma cacat tersebut menurutnya, sangat bertentangan dengan gerakan disabilitas yang selama ini mengusung terciptanya cara pandang terhadap penyandang disabilitas model sosial dan HAM.

Baca Juga: Penyandang Disabilitas Tak Boleh Terabaikan karena Protokol Kesehatan

3. Banyak hak penyandang disabilitas yang terabaikan

Perdik Sulsel: UU Cipta Kerja Abaikan Hak Pokok Penyandang DisabilitasIlustrasi. Pelaku umkm pakaian batik yang melibatkan tenaga difabel mengubah produksinya menjadi masker batik selama pandemik COVID-19. Aryo Wistara for IDN Times

Nurul menjelaskan, penyebutan istilah cacat, sebagaimana tercantum dalam revisi Pasal 46 pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, revisi Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, penambahan Pasal 153 serta 154 a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Menyusul, penjelasan dari revisi Pasal 138 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, merupakan bentuk pengabaian dari ketentuan dalam Pasal 148 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016. Istilah penyandang cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku.

"Harus dibaca dan dimaknai sebagai penyandang disabilitas, sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini. Wajar jika jaringan disabilitas kemudian mengeluarkan kritik atas pengesahan UU Cipta Kerja tahun 2020, dimana UU ini banyak mengabaikan hak-hak para difabel," tegasnya.

Baca Juga: Jaringan Penyandang Disabilitas Tolak UU Cipta Kerja, Ini Alasannya

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya