Aksi Virtual Climate Strike: Saatnya Menghentikan Perusakan Lingkungan

Lingkungan rusak, krisis iklim semakin parah

Makassar, IDN Times - Ratusan orang muda Indonesia berunjuk rasa menyikapi global climate strike atau aksi jeda dan pemogokan iklim global. Mereka menyuarakan kedaruratan iklim yang melanda seluruh dunia, khususnya sejumlah daerah di Indonesia. Lembaga pemerhati lingkungan, individu, akademisi, hingga aktivis lingkungan dan masyarakat rentan dan terdampak kerusakan lingkungan, hadir dalam aksi virtual yang digelar pada Jumat (25/9/2020).

Kekeringan, banjir bandang, polusi dan pencemaran lingkungan lainnya menjadi sejumlah isu pokok dalam unjuk rasa virtual ini. Menurut Direktur Justice, Peace and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC-FOM) Kang Gunretno, krisis iklim yang terjadi saat ini dipengaruhi beragam faktor.

Salah satunya, politik kebijakan yang memfasilitasi kepentingan pemilik modal yang terus menerus mengembangkan strategi untuk mengekstraksi sumber-sumber alam dan manusia. "Jadi perampasan ruang-ruang hidup oleh proyek legislasi atau melalui instruksi yang dibuat semuanya menyasar pada hak dan kepentingan warga," kata Gunretno.

1. Perubahan iklim dan perusakan lingkungan tidak terlepas dari campur tangan perusahaan ekstraktif

Aksi Virtual Climate Strike: Saatnya Menghentikan Perusakan LingkunganANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Ancaman pandemik COVID-19 menurutnya, beriringan dengan krisis perubahan iklim yang sangat mencekam. Terlebih, pemerintah menurut Gunretno, belum lama ini membukakan ruang atau karpet merah kepada pemilik modal besar untuk berinvestasi, mengeruk seluruh sumber daya alam, serta ruang atau unit produksi masyarakat yang ramah lingkungan. Hal tersebut tertuang dalam sebuah regulasi atau undang-undang.

"Kita tahu akhirnya semua industri ekstraktif mulai bermunculan, investasi yang juga merambah lingkungan mengambil alih lahan-lahan produksi masyarakat, mencemari tanah, membuat hutan menjadi gundul dan berbagai macam kerusakan pada alam," ungkapnya.

Selain itu, Gunretno mengatakan, energi fosil terus menerus dipompa, diambil sehingga menyebabkan berbagai macam dampak kerusakan lingkungan dan perubahan iklim ekstrem. Mulai dari polusi udara, air hingga tanah. Upaya eksploitasi lingkungan masif, menurutnya, tidak dibarengi dengan penindakan hukum tegas. Justru melemah di hadapan pemilik modal.

Baca Juga: 3 Nelayan Pulau Kodingareng Makassar Ditangkap, Perahu Ditenggelamkan

2. Perusakan lingkungan, perubahan masif iklim dicemaskan akan terus terjadi jika tidak ada upaya pembenahan

Aksi Virtual Climate Strike: Saatnya Menghentikan Perusakan LingkunganANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Ketua Pondok Pesantren Misykat Al-Anwar Roy Murtadho mengatakan, krisis iklim sudah di depan mata dan terus berjalan beriringan dengan ekspansi modal. Kekeringan, banjir bandang, perambahan hutan, hingga ekploitasi sumber daya alam lainnya yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat tidak dibarengi dengan perbaikan kondisi.

"Selama tidak ada tendensi politik lebih maju melihat persoalan lingkungan, saya khawatir kita ini akan serba terlambat. Mestinya ada solusi konkrit, radikal dan masif yang mestinya dilakukan untuk kembali membenahi persoalan yang terjadi. Ini bisa dilakukan dan digerakkan mulai dari sekarang," ungkap Roy dalam forum yang sama.

Roy mengajak agar seluruh masyarakat lebih peka terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Kesadaran tersebut, menurutnya, mesti dibarengi dengan tindakan langsung agar perusakan lingkungan yang sebagian besar disebabkan karena ekstraksi perusahaan pemilik modal, bisa menjadi bagian dari kampanye kesadaran.

Baca Juga: Walhi Minta Presiden Evaluasi soal Banjir Bandang di Luwu Utara

3. Kesaksian warga Pulau Kodingareng terdampak perubahan iklim dan perusakan lingkungan akibat penambangan pasir

Aksi Virtual Climate Strike: Saatnya Menghentikan Perusakan LingkunganUnjuk rasa nelayan Kodingareng tolak tambang pasir laut. IDN Times/ASP

Saskia, perwakilan masyarakat nelayan dan perempuan terdampak perubahan iklim, perusakan lingkungan akibat ekspansi dan ekstraksi perusahaan penambang pasir laut di Pulau Kodingareng, Makassar, mengaku saat ini masyarakat masih terus berjuang.

"Tidak ada kata lain selain kita masyarakat nelayan dan perempuan di sini terus berjuang menolak penambangan pasir yang masuk ke wilayah tangkap kami. Kalau ini terus dibiarkan, kami semakin terancam. Kehidupan, mata pencaharian kami diganggu dengan penambangan pasir," ungkapnya.

Masyarakat Kodingareng, kata Saskia, mulai merasakan dampak sejak kapal penambang pasir mulai beraktivitas pada Februari 2020 lalu. Sejak saat itu pula, masyarakat mulai resah. Air laut keruh, terumbu karang rusak, hasil tangkapan ikan tenggiri mulai menurun drastis.

Jauh sebelum aktivitas penambangan berlangsung, lanjut Saskia, masyarakat hidup baik-baik saja. Karena menggantungkan hidup di laut, mereka juga ikut menjaga kelestarian hayati laut di perairan Sangkarrang. "Selama penambangan titdak berhenti, perjuangan kami juga tidak akan berhenti. Hanya satu yang kami inginkan. Cabut izin tambang pasir dan hentikan sekarang juga," tegasnya.

Baca Juga: WALHI-KIARA Jelaskan Dampak Tambang Pasir terhadap Nelayan Kodingareng

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya