Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Sulsel Meningkat

Pandemik COVID-19 memicu kasus kekerasan

Makassar, IDN Times - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB Provinsi Sulawesi Selatan mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat selama pandemik COVID-19.

Berdasarkan data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) hingga Juni 2020, tercatat ada 442 korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan 247 korban kasus kekerasan terhadap anak di Sulsel. 

"Banyak sekali kasus yang kita terima terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak selama pandemik COVID-19," kata Iqbal Suhaeb selaku Plt Kepala Dinas saat dihubungi IDN Times, Minggu (2/8/2020).

1. Penyebab kekerasan didominasi faktor ekonomi

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Sulsel MeningkatIlustrasi ekonomi terdampak pandemik COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Pada saat pandemik COVID,19, sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak didominasi oleh faktor ekonomi. Pandemik COVID-19 ini memang sangat berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat. 

Menurut penelitian organisasi pemenuhan hak anak Save the Children, sebanyak 72 persen kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia disebabkan oleh menurunnya pendapatan orangtua. Jika dipresentasikan, 7 dari 10 orang berkurang pendapatannya dan 3 dari 10 orang kehilangan mata pencahariannya akibat pandemik ini.

"Bayangkan saja kalau bapaknya kena PHK. Ibunya minta uang untuk masak atau kebutuhan keluarga lainnya. Pasti ada saja yang mendapat kekerasan. Kekerasan karena dimarahi atau kekerasan fisik," kata Iqbal.

2. Orangtua stres karena pembelajaran jarak jauh anak

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Sulsel MeningkatBelajar dari rumah (Dok. IDN Times Sumut/Istimewa)

Menurut Iqbal, peningkatan kasus kekerasan di Sulsel juga diduga terjadi karena anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah selama pandemik COVID-19. Ditambah lagi, mereka akan meminta uang pembeli kuota atau bahkan demi bisa melakukan pembelajaran via daring. 

"Karena anak minta uang untuk kuota sementara bapaknya tidak punya uang akhirnya anaknya dimarahi," katanya.

Situasi pandemik COVID-19 yang membuat anak-anak terpaksa belajar jarak jauh. Kondisi ini tentu saja menimbulkan banyak kendala. Selain dari kurangnya alat pendukung belajar di rumah juga karena orangtua yang stres mendampingi anaknya selama belajar via daring.

"Kekerasan juga karena ibu-ibu yang stres menghadapi anaknya belajar online. Ibu-ibu yang tidak terbiasa mendampingi anaknya, dapat pelajaran yang ternyata tidak semudah kalau gurunya yang berikan. Akhirnya anak-anak juga mendapatkan marah," jelasnya.

Baca Juga: Sulitnya DPR Membahas Penghapusan Kekerasan Seksual secara Serius

3. Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sulit dilakukan

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Sulsel MeningkatIlustrasi Kekerasan pada Anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Akan tetapi, kata Iqbal, penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan masih sulit dilakukan apabila masih merupakan urusan internal keluarga. Misalnya apabila terjadi kasus kekerasan terhadap anak, maka sangat sulit melakukan penanganan selama tidak masuk ke ranah hukum. 

"Kalau dia masih internal, memang agak sulit kita masuk. Kita baru bisa masuk kalau ada bukti-bukti sudah bisa aparat masuk. Memang menurut aturan yang lama, agak susah kita masuk selama tidak ada laporan," kata Iqbal.

Maka dari itu, kata dia, saat ini RUU pengasuhan anak tengah digodok. Dalam aturan ini nantinya tidak hanya mengatur pola pengasuhan di dalam keluarga tapi juga di luar keluarga.

"Itu sudah memungkinkan orang dari luar masuk ke rumah tangga di saat terjadi kekerasan. Dulu susah sekali karena itu mungkin dianggap sebagai bagian dari pendidikan keluarga," katanya.

Baca Juga: LBH: Marak Kekerasan pada Perempuan dan Anak selama Pandemik

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya