Dari Benhil ke Helsinki: Kisah Dokter Farid Husain Damaikan GAM dan RI

Dokter Farid meninggal dunia Selasa kemarin di Makassar

Makassar, IDN Times - Berpulangnya dr. Farid Wadjdi Husain pada Selasa (23/3/2021) malam, di usia 71 tahun, membawa duka bagi dunia kedokteran dan pemerintah Indonesia.

Sosok kelahiran Soppeng, 9 Maret 1950 tersebut mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar setelah dirawat akibat terinfeksi COVID-19. Ucapan belasungkawa pun datang dari berbagai tokoh. Salah satunya mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, yang merupakan sejawat dekat dr. Farid semasa hidup.

"Dokter Farid, seorang tokoh perdamaian yang ikut berperan aktif dalam penyelesaian konflik Poso, Ambon dan Aceh. Jasanya sangat besar kepada negara. Ia juga punya banyak peranan pada masa kepengurusan di PMI Pusat," tulis JK dalam unggahan di akun Instagram @jusufkalla, Rabu (24/3/2021) pagi.

Meski dikenal sebagai dokter spesialis bedah dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dr. Farid sejatinya berperan penting dalam proses perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Republik Indonesia.

Intensitas konfrontasi yang berkecamuk sejak 1970-an menanjak drastis saat Presiden Megawati Soekarno Putri menetapkan Serambi Mekkah dalam status darurat militer selama enam bulan, terhitung mulai 18 Mei 2003. Lantas seperti apa sepak terjang dr. Farid dalam perdamaian di Tanah Rencong?

1. Kepercayaan sebagai tokoh penghubung dengan GAM didapatnya dari Jusuf Kalla

Dari Benhil ke Helsinki: Kisah Dokter Farid Husain Damaikan GAM dan RIJusuf Kalla (IDN Times/Kevin Handoko)

Setelah lebih dulu sibuk sebagai dosen sejak 1979, dr. Farid menempati posisi di lingkar dalam pemerintah pusat pada dekade 2000-an. Ia mengemban posisi sebagai Deputi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Bidang Kesehatan, Lingkungan Hidup dan Sosial pada tahun 2001 hingga 2005.

Menko Kesra saat itu, Jusuf Kalla, ditugaskan secara khusus oleh Presiden Megawati untuk mencari jalan keluar bagi konflik antara GAM dan RI. Rekam jejak JK sebagai fasilitator konflik Poso dan Ambon, melalui Deklarasi Malino I (2001) dan Deklarasi Malino II (2002) jadi pertimbangan terbesar keputusan itu. 

Dokter Farid sendiri ikut mendampingi JK dalam dua Deklarasi Malino, sebagai Ketua Tim Pemantau Nasional. Atas permintaan sang sejawat, ia melakukan pendekatan tak resmi kepada GAM untuk mengetahui figur-figur yang harus lebih dulu diajak berkomunikasi.

"Saya masih ingat tatkala suatu hari Pak JK berkata kepada saya. Kata-kata beliau kira-kira begini bunyinya: 'Coba kamu jajaki Farid, bisakah kamu dekati mereka (GAM) untuk secara informal diajak berbicara?'", tulis dr. Farid dalam buku memoarnya, To See The Unseen: Kisah di Balik Damai di Aceh (Rayyana Komunikasindo, 2017).

"Maksudnya adalah mengajak mereka berbincang santai sambil minum kopi. Tidak resmi. Dengan begitu, keputusan apapun yang diambil, negara tidak terikat," lanjutnya. Tugas ini pun cenderung sulit lantaran ia asing dengan kultur Aceh, tak pernah menginjakkan kaki di Aceh dan bahkan tahu tokoh-tokoh sentral mereka. Terlebih konflik GAM-RI saat itu sudah berlangsung lebih dari tiga dekade.

2. Dalam proses mencari informasi, dr. Farid bersosialisasi langsung dengan orang-orang Aceh di Jakarta

Dari Benhil ke Helsinki: Kisah Dokter Farid Husain Damaikan GAM dan RIPara perempuan yang masuk sebagai tentara Gerakan Aceh Merdeka dekade 1990-an. (Repro. "Berbagai Peristiwa dan Penanganannya, 1998-1999" (Kementerian Pertahanan Republik Indonesia))

Tugas dilakukan secara perlahan. Usai observasi, dr. Farid memilih sebuah warung makan khas Aceh yang terletak di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, sebagai tempatnya menggali informasi. Dua-tiga kali sepekan, sepanjang pertengahan tahun 2003, ia menyambangi tempat itu untuk berdialog secara non-formal dengan beberapa orang Aceh yang jadi langganan.

"Tatapan curiga diarahkan kepada saya setiap kali datang. Saya bukan orang Aceh, tetapi orang Bugis. Wajah saya bukan wajah khas orang Aceh. Begitu pula logat bicara saya," kenang dr. Farid.

Sebagai pencair kecurigaan, ia mengajak serta sang istri menyambangi warung Aceh tersebut untuk sarapan setiap usai olah raga pagi. Lama kelamaan, dr. Farid mulai bisa bersosialisasi dengan orang-orang Aceh di tempat tersebut.

Di tengah aroma khas kopi Aceh dan aroma hidangan, Farid menganalisis segala informasi perihal siapa saja sosok sentral GAM serta karakteristik masing-masing. Tak lupa, ia juga menyelami pandangan orang Aceh tentang tanah kelahiran mereka yang saat itu terus menerus diguncang pertempuran. Tak jarang, ia harus mendengar opini "keras" saat berdiskusi dengan sabar.

"Tujuan utama mereka untuk merdeka sebetulnya adalah untuk mendapatkan kedamaian dan keamanan. Sehingga mereka dapat mencari nafkah untuk meningkatkan kesejahteraan," papar dr. Farid.

3. Kerja keras dr. Farid selama 3 tahun membuahkan hasil: GAM dan RI sepakat berdamai di Helsinki pada 15 Agustus 2005

Dari Benhil ke Helsinki: Kisah Dokter Farid Husain Damaikan GAM dan RIDosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Sulselbar dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kota Makassar, dr. Farid Husain, semasa hidup. (Dok. IDI Makassar/Wachyudi Muchsin)

Beberapa nama berhasil ia kumpulkan, opini orang Aceh pun ia teruskan ke Jusuf Kalla sebagai bahan pertimbangan. Ia berturut-turut menemui sejumlah tokoh sentral GAM. Mulai dari Abu Abdullah (kakak Panglima Tertinggi Hasan di Tiro), Sayid Mustafa (Panglima GAM di Aceh Timur) dan Tengku Idi (sesepuh GAM).

Kemudian ada juga Irwandi Yusuf (tokoh angkatan muda GAM), Tengku Amir (kakak Menteri Luar Negeri GAM Malik Mahmud) serta Juru Bicara GAM Sofyan Dawood. Menjadi penyambung antara GAM dan RI, dr. Farid berkali-kali menembus hutan belantara untuk menjalin komunikasi. Sering pula ia bolak-balik Jakarta-Singapura atau Jakarta-Amsterdam.

Proses saling tukar menukar syarat antara GAM dan RI lewat dr. Farid berlangsung dari Agustus 2003 hingga Juni 2005. Singkat cerita, hasil komunikasi inilah yang melancarkan pertemuan kedua pihak hingga berujung pada perundingan sejak 27 Februari 2005.

Kemudian, GAM serta RI sepakat mengakhiri konflik bersenjata selama lebih dari 30 tahun. Kedua pihak menandatangi perjanjian damai di Helsinki, ibu kota Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

Saat nama Farid Husain mencuat sebagai salah satu tokoh penting di belakang layar perdamaian GAM dan RI, banyak pihak mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa seorang dokter bisa mendapat kepercayaan sebagai juru runding?

Jusuf Kalla punya alasan kuat. Bertahun-tahun menjadi sahabat dr. Farid, JK tahu betul karakter sosok yang pernah menjabat Ketua IDI Wilayah Sulselbar itu: ulet, tekun dan supel. Itu dianggapnya sudah memenuhi syarat sebagai juru runding.

"Dia lobinya kuat. Saya minta ke mana pun, dia mau. Dia mau kerja apa saja, kapan saja, di mana saja. Itu hebatnya dia. Dia gampang bergaul. Apa saja. Misalnya saya katakan hubungi ini. Dia langsung bergerak," ungkap JK dalam buku memoar dr. Husain.

Selamat jalan, pak dokter. Jasa besar atas perdamaian akan selalu dikenang.

Baca Juga: Farid Husain Wafat, IDI Kehilangan Sosok Dokter Juru Damai Aceh

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya