Seragam Gratis Makassar Diduga Dibeli Grosiran di Pasar Butung

- Program seragam sekolah gratis Makassar diduga tidak melibatkan UMKM lokal
- Selisih harga antara anggaran dan harga pasar menjadi sorotan dalam pengadaan seragam sekolah
- Rencana awal pemkot melibatkan 500 pelaku UMKM, namun hanya 32 UMKM tercantum dalam dokumen pemenang pengadaan
Makassar, IDN Times - Program seragam sekolah gratis Pemerintah Kota Makassar kembali menuai sorotan. Hal ini mencuat dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi D DPRD Makassar dan Dinas Pendidikan, Kamis (31/7/2025).
Sejumlah pihak menduga, seragam yang dibagikan ke siswa bukan hasil produksi UMKM lokal, melainkan dibeli secara grosiran dari Pasar Butung. Ketua Umum DPP Relawan Soelawesi Pejuang Appi (Resopa), Syarifuddin Borahima, mengatakan banyak penjahit lokal mengeluh karena tidak dilibatkan dalam pengerjaan seragam.
"Kami ditelepon langsung oleh para penjahit yang sudah bertahun-tahun berjualan di Pasar Butung. Mereka mengaku hanya diminta menggunting atau mengukur. Seragamnya sudah jadi duluan. Artinya apa? Ini bukan pemberdayaan, tapi hanya formalitas," kata Syarifuddin.
1. UMKM diduga tidak dilibatkan

Menurut Syarifuddin, pemerintah kota sempat menyampaikan akan melibatkan 50 penjahit di setiap kecamatan, atau sekitar 750 pelaku UMKM. Namun, berdasarkan dokumen pemenang pengadaan, hanya terdapat 32 UMKM yang tercantum. Dari jumlah itu, 29 di antaranya disebut tidak mendapatkan pekerjaan jahit sama sekali.
"Payung hukum yang dikeluarkan oleh Pemkot menyebut 32 UMKM. Tapi di lapangan, sebagian besar tidak diberi pekerjaan. Seragamnya justru diborong dari Pasar Butung. Ada dugaan label toko dicabut sebelum diserahkan ke siswa," kata Syarifuddin.
Syarifuddin menyoroti perbedaan antara regulasi dan pelaksanaan program di lapangan. Dia merujuk pada Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 yang hanya mengatur satu stel seragam untuk siswa SD dan SMP, sementara di sekolah para siswa tetap diminta mengenakan hingga lima jenis seragam berbeda sepanjang pekan.
"Yang ditanggung pemerintah hanya satu stel. Sementara siswa tetap diminta memakai seragam lain selama seminggu. Ini yang membingungkan dan memberatkan orang tua," katanya.
2. Soroti selisih harga antara anggaran dan harga pasar

Syarifuddin juga menyoroti selisih harga antara anggaran dan harga pasar. Seragam untuk siswa SMP dianggarkan sebesar Rp152 ribu per stel, sedangkan untuk SD Rp143 ribu. Namun, menurut temuan di lapangan, harga seragam serupa di Pasar Butung hanya berkisar Rp70 ribu hingga Rp80 ribu.
"Kalau selisihnya sampai setengah harga, ke mana sisa anggarannya? Ini yang harus dijawab Dinas Pendidikan," ucapnya.
Syarifuddin turut menyoroti keikutsertaan pihak luar daerah dalam proses tender pengadaan seragam sekolah. Dia menyebut adanya peserta dari Bandung dan Yogyakarta, yang dinilai bertolak belakang dengan tujuan awal program untuk memberdayakan pelaku UMKM lokal di Makassar.
"Ada dua dari Bandung dan satu dari Jogja. Kalau seperti ini, bagaimana nasib pelaku usaha kecil kita yang berharap diberdayakan?" katanya.
3. Rencana awal pemkot libatkan 500 pelaku UMKM

Sebelumnya, Pemkot Makassar menjelaskan program ini melibatkan lebih dari 500 pelaku UMKM yang tergabung dalam 52 kelompok kerja. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang koordinator yang mengelola proses produksi melalui sistem e-Katalog dan LPSE.
Seragam akan dibagikan kepada sekitar 33 ribu siswa dari 314 SD dan 55 SMP negeri, masing-masing dua pasang. Total kebutuhan seragam mencapai 66 ribu stel, dengan anggaran sekitar Rp11 miliar. Program ini merupakan bagian dari tujuh program prioritas Pemerintah Kota Makassar.
4. Disdik jelaskan aturan penggunaan seragam

Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Achi Soelaiman, menanggapi polemik pengadaan seragam gratis dengan menekankan tujuan utama program tersebut. Dia hanya menyebut kebijakan ini dirancang sebagai bentuk keberpihakan pemerintah kepada orang tua siswa, bukan kepada pelaku usaha.
Achi menjelaskan aturan terbaru soal seragam sekolah telah diatur dalam Permendikbud Nomor 12 Tahun 2024. Dalam aturan tersebut, kegiatan perangkat sekolah seperti pramuka tidak lagi menjadi kewajiban, meskipun sekolah tetap diminta menyediakan kegiatan kepramukaan.
"Ini yang perlu digarisbawahi bahwa di dalam permen nomor 12 tahun 2024 pakaian pramuka sekolah tidak lagi diwajibkan sebagai ekstra kurikuler tetapi sekolah tetap harus menyediakan kegiatan pramuka," katanya.
Dia mengatakan penggunaan seragam putih-merah untuk SD dan putih-biru untuk SMP hanya diterapkan dari hari Senin hingga Kamis. Pada hari Jumat, siswa diperbolehkan memakai pakaian olahraga atau batik.
"Tujuannya adalah untuk meringankan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh orang tua. Ini jelas," katanya.
Achi juga menanggapi isu beredarnya seragam dari pihak swasta di sekolah-sekolah. Dia menyinggung peredaran uang yang besar jika pengadaan diserahkan langsung ke pengusaha.
"Bayangkan kalau satu siswa harus membeli seragam Rp1,8 juta. Dikalikan jumlah siswa, peredarannya bisa mencapai lebih dari Rp30 miliar. Kalau itu didrop ke sekolah oleh pengusaha, keberpihakan kita ini kepada siapa? Kepada orang tua atau kepada pengusaha?" katanya.