Profil Sultan Zainal Abidin Syah, Pahlawan Nasional Baru asal Tidore

- Sultan Zainal Abidin Syah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada Hari Pahlawan tahun 2025.
- Beliau merupakan Gubernur Irian Barat pertama dan berperan dalam integrasi wilayah tersebut ke dalam NKRI.
- Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji wafat di Ambon pada 4 Juli 1967, 5 tahun usai turut andil dalam Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda.
Makassar, IDN Times - Dalam sebuah upacara di Istana Negara pada Senin (10/11/2025) pagi, bertepatan dengan Hari Pahlawan, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 10 orang. Salah satunya adalah Sultan Tidore ke-37 yakni Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji. Ini adalah bentuk pengakuan tertinggi negara kepadanya, terutama saat integrasi Irian Barat (kini Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tak sampai di situ, Sultan Zainal Abidin Syah ini juga menjadi Gubernur Irian Barat pertama yang menjabat pada 1956–1961, saat Soekarno masih memerintah. Langkah politik tersebut sangat penting secara kultural, di saat konfrontasi dengan Belanda saat itu sedang panas-panasnya.
1. Lahir di Soasiu, Kesultanan Tidore, Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji sempat menempuh pendidikan di Makassar

Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji dilahirkan di Soasiu, Kesultanan Tidore, Maluku, pada tanggal 5 Agustus 1912. Beliau merupakan putra dari pasangan Do Husain Do Sangaji dan Do Salma Do Yusup. Lahir dari lingkungan bangsawan Kesultanan Tidore, beliau menerima pendidikan formal yang cukup baik.
Riwayat pendidikannya mencakup sekolah dasar untuk golongan pribumi yakni HIS (Hollandsch Inlandsche School) Ternate (lulus tahun 1924). Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat sekolah menengah akhir di Batavia dan lulus di tahun 1928. Sultan Zainal Abidin muda kemudian merantau ke Makassar untuk menimba ilmu sebagai calon pegawai dan pejabat pemerintah kolonial di OSVIA (Opleidings Scholen voor Inlandsche Ambtenaren) dan berhasil lulus di tahun 1934.
Abdul Haris Fatgehipon dan Satriono Priyo Utomo, dalam artikel "Sultan Zainal Abidin Syah: From the Kingdom of Tidore to the Republic of Indonesia" (Jurnal Tawarikh edisi Oktober 2020), beliau kemudian bekerja sebagai Ambtenaar Hulp Bistuur dan Bistuur di beberapa kota wilayah timur sepanjang periode 1934 hingga 1942. Mulai dari Ternate, Manokwari, dan kemudian Sorong pada periode 1934–1942.
2. Hasil Konferensi Malino dan Konferensi Denpasar yang tak membicarakan nasib Irian Barat mengundang rasa gusarnya

Setelah melalui proses yang rumit, Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji kemudian diangkat menjadi Sultan Tidore ke-37 pada tahun 1947. Tapi, ia sudah memikirkan bagaimana sikap Tidore dan Papua. Setahun sebelumnya, Konferensi Malino dilaksanakan sebagai upaya pertama pemerintah Belanda untuk mengubah Indonesia menjadi negara federal. Salah satu poin yang dibahas yakni memisahkan Irian Barat dari Negara Indonesia Timur (NIT). Hal tersebut kemudian ditolak oleh Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji saat menghadiri Konferensi Denpasar yang berlangsung pada Desember 1946.
Sikap serupa juga ditunjukkan Raja Ahmad Usswanas dari Fakfak dan Raja Haji Ibrahim Baoe dari Rumbati/Kokas dengan mengajukan petisi kepada Menteri Dalam Negeri NIT, yakni menuntut penggabungan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Mereka menyatakan pengakuan penuh atas RIS dan bertekad menyatukan diri dengan saudara sebangsa di Indonesia, kendati Perjanjian Linggarjati sempat mengecualikan Papua. Dukungan serupa datang dari rakyat Maluku di Ambon, di mana ribuan orang dalam rapat umum menuntut Irian Barat tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Prinsip tegas Sultan Zainal Abidin Syah menandai dimulainya perjuangan politik baru Irian Barat, dan didukung oleh tokoh nasionalis seperti Arnold Mononutu dan Rosihan Anwar. Pada Maret 1948, Mononutu mengunjungi Tidore dan secara langsung meminta Sultan serta masyarakat Tidore mengintegrasikan Irian Barat ke dalam Kesultanan Tidore dan mempertahankannya. Mononutu memperingatkan adanya upaya Belanda yang semakin jelas untuk memisahkan Irian Barat, bukan hanya dari NIT tapi juga dari Indonesia.
3. Diangkat menjadi Gubernur Irian Barat pertama, dan turut andil dalam Operasi Trikora (1961-1962)

Yang ditakutkan akhirnya terjadi, hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang ditandatangani pada 2 November 1949 di mana Belanda ingin menjadikan Irian Barat sebagai negara terpisah karena perbedaan etnis. Hasil tersebut mengundang penolakan keras dari Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji. Meski kedaulatan wilayah Hindia-Belanda telah diserahkan ke Republik Indonesia Serikat, masalah Irian Barat masih menjadi isu besar untuk Soekarno.
Lalu, sebagai langkah politik untuk mengatasi masalah tersebut, Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1956 mengumumkan pembentukan Provinsi Perjuangan Irian Barat. Keputusan ini didasarkan pada sejarah panjang bahwa Papua dan pulau-pulau sekitarnya adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore selama ratusan tahun. Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji kemudian ditunjuk dan ditetapkan sebagai Gubernur Irian Barat yang pertama pada tahun 1956, dengan ibu kota sementara di Soasiu (Tidore).
Beliau memegang jabatan Gubernur tersebut hingga tahun 1961 dan turut andil dalam Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) untuk membebaskan Irian Barat dari sisa-sisa kekuasaan Belanda pada 19 Desember 1961 hingga 15 Agustus 1962. Sultan Zainal Abidin Syah Sangaji wafat di Ambon pada tanggal 4 Juli 1967 di usia 54 tahun. Beliau awalnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kapahaha, Ambon. Tapi, pada 1986, kerangkanya dipindahkan pihak keluarga Kesultanan Tidore dan disemayamkan di Sonyine Salaka (Pelataran Emas) Kedaton Kie Soasiu Tidore sebagai bentuk penghormatan tertinggi.

















