Satu Tahun Prabowo-Gibran, Tantangan Energi Nasional Masih Berat

- Kebutuhan investasi energi Indonesia masih sangat besar
- Transformasi energi masih terkendala
- Program Biodiesel B50 belum cukup
Makassar, IDN Times - Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran mencuatkan tantangan energi nasional yang masih berat. Hal ini menjadi salah satu pembahasan dalam diskusi mengenai satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran dari sudut pandang energi di Kopitiam Amannagappa, Makassar, Senin (17/11/2025).
Pakar Energi Universitas Muslim Indonesia, Syarifyuddin Nojeng, menilai Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk memperkuat fondasi energi nasional. Menurut Syarifyuddin, konsumsi listrik per kapita Indonesia yang masih berada di kisaran 1.400 kWh menggambarkan ketertinggalan yang cukup jauh.
"Banyak negara di Asia sudah mencapai konsumsi di atas 2.000 kWh per kapita. Indonesia masih berada di kisaran 1.400 kWh per kapita," kata Syarifuddin.
1. Kebutuhan investasi energi Indonesia masih sangat besar

Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi listrik per kapita menjadi salah satu indikator utama untuk menilai kemajuan sebuah negara. Menurut Syarifuddin, kondisi ini memperlihatkan bahwa kebutuhan investasi energi di Indonesia masih sangat besar.
"Situasi ini menjelaskan mengapa kebutuhan investasi energi kita sangat besar. Kapasitas pembangkit kita sekitar 2.000 kWh per kapita, tetapi konsumsi masyarakat belum mampu mengejar angka tersebut," kata Syarifuddin.
2. Transformasi energi masih terkendala

Kondisi tersebut menjadikan isu energi sebagai topik strategis nasional. Syarifuddin menyinggung target bauran energi baru terbarukan (EBT) yang ditetapkan pemerintah pun belum menunjukkan perkembangan signifikan.
"Pemerintah pernah menargetkan porsi energi baru terbarukan (EBT) mencapai 23 persen pada 2025. Sampai sekarang realisasinya sekitar 16 persen masih jauh dari target," katanya.
Menurut dia, investasi yang rendah dan arah kebijakan yang kerap berubah membuat pencapaian target EBT sulit diwujudkan. Transformasi energi membutuhkan investasi besar, keberanian pelaku usaha, serta konsistensi kebijakan agar dapat berjalan efektif.
"Setiap pergantian pemerintahan, arah kebijakan sering berubah dan kita kembali mencari strategi baru," sebutnya.
3. Program Biodiesel B50 belum cukup

Syarifyuddin juga menyoroti program Biodiesel B50. Program ini memadukan 50 persen solar dan 50 persen bahan bakar nabati sebagai upaya awal mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
"Program ini dirancang untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan memaksimalkan potensi domestik," jelasnya.
Dia mengatakan produksi minyak nasional yang turun dari 1 juta barel per hari menjadi 600 ribu barel per hari turut memperlihatkan persoalan yang lebih dalam. Situasi itu, kata dia, memperbesar ketergantungan pada impor di tengah konsumsi energi yang terus meningkat.
"Namun untuk skala yang lebih luas, bahan bakar nabati tidak cukup. Ke depan, energi terbarukan, termasuk matahari, angin, biomassa, dan teknologi penyimpanan energi, menjadi kunci pertumbuhan ekonomi," katanya.
4. Indonesia perlu kemandirian energi untuk pertumbuhan ekonomi

Syarifyuddin menekankan pentingnya arah kebijakan yang stabil untuk mendukung transisi energi nasional. Tanpa persiapan ekosistem yang matang, Indonesia berisiko terus tertinggal dalam pengembangan energi baru terbarukan.
Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah, termasuk upaya mencapai 8 persen, membutuhkan fondasi energi yang kokoh. Menurutnya, sektor energi berperan sebagai penggerak utama, ibarat gas yang memacu kendaraan besar yang dikemudikan presiden.
"Tanpa energi yang cukup, kendaraan tidak bisa melaju. Karena itu, kemandirian energi harus dibangun. Artinya, semua potensi energi domestik digunakan secara optimal. Kemandirian ini berkaitan erat dengan ketahanan energi," katanya.


















