Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Aksi Main Hakim Sendiri di Gowa Dipicu Krisis Kepercayaan pada Hukum

ilustrasi hukum (pexels.com/Pavel Danilyuk)
ilustrasi hukum (pexels.com/Pavel Danilyuk)
Intinya sih...
  • Masyarakat mengalami pergeseran kepercayaan hukum
  • Aksi main hakim sendiri rusak tatanan hukum
  • Cegah vigilante mengoptimalkan komunikasi dan dialog
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Makassar, IDN Times - Kasus tewasnya pria berinisial AL (31), terduga pemerkosa wanita disabilitas di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, membuat heboh publik sebab AL tewas secara tragis setelah ratusan warga melakukan aksi main hakim sendiri dengan cara korban diikat, lalu diseret keliling kampung menggunakan sepeda motor.

Tak hanya itu, warga juga memotong alat kelamin AL. Aksi warga ini merupakan respons akibat dari perbuatan terduga pelaku yang sering melakukan hal serupa. Puncaknya, saat ia kembali memperkosa dan menganiaya wanita disabilitas berinisial TA (37).

Warga yang sudah mencari AL selama tiga hari, tak bisa lagi menahan amarahnya ketika AL menampakkan dirinya di Desa Parang-Parang Tulau’, Kelurahan Cikoro, Desa Rappolemba, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Gowa pada Selasa, (2/12/2025) sekitar pukul 15.30 Wita. Warga beramai-ramai menyergap AL lalu mengikat dan menyeretnya keliling kampung hingga tewas.

1. Masyarakat mengalami pergeseran kepercayaan hukum

Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, sekaligus Sosiolog Universitas Sawerigading (Unsa) Makassar, Dr. Adi Sumandiyar (Dok. Pribadi Dr. Adi Sumandiyar).
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, sekaligus Sosiolog Universitas Sawerigading (Unsa) Makassar, Dr. Adi Sumandiyar (Dok. Pribadi Dr. Adi Sumandiyar).

Sosiolog Universitas Sawerigading (Unsa) Makassar, Adi Sumandiyar memberikan tanggapan soal fenomena main hakim sendiri yang dilalukan oleh warga. Adi mengaku dalam kacamata sosiologi fenomena main hakim sendiri merupakan tindakan yang dilakukan secara individu maupun kelompok tertentu yang cenderung tidak mempercayai proses hukum, mengedepankan kekerasan, dan adanya kekuatan sosial.

"Menurut pandangan saya masyarakat mengalami pergeseran kepercayaan hukum sebagai akibat dari rendahnya kepastian hukum yang diberlakukan oleh aparat penegak hukum dan pengaruhnya saling erat dengan kebijakan yang diputuskan oleh aparat penegak hukum," ucap Adi Sumandiyar kepada IDN Times, Senin (8/12/2025).

Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Unsa Makassar, ini juga menyatakan, dalam konteks norma budaya lokal, warga seharusnya tetap mengedepankan etika dan moralitas ketika melakukan tindakan aksi main hakim sendiri, namun hal ini sudah mengalami pergeseran.

"Oleh sebab itu, tindakan main hakim sendiri yang mengakibatkan korban jiwa perlu segera dicegah dan diberikan edukasi setiap sudut lingkungan sosial masyarakat," ujarnya.

Sementara itu, dinamika massa yang terjadi saat adanya kasus kriminal, kata Adi, muncul ketika adanya ajakan oleh kepemimpinan dalam kelompok tertentu untuk melakukan aksi kekerasan, pengrusakan, hingga berujung pada aksi brutalisme dalam masyarakat.

2. Aksi main hakim sendiri rusak tatanan hukum

IMG-20251204-WA0034.jpg
Warga seret AL (31) terduga pelaku pemerkosaan wanita disabilitas di Kabupaten Gowa (Dok.IDN Times)

Di sisi lain, lanjut Adi, terjadi risiko sosial jangka panjang ketika masyarakat membiarkan atau membenarkan tindakan main hakim sendiri. "Risiko sosial yang ditimbulkan adalah merusak tatanan hukum, mengancam stabilitas ekonomi, sosial dan budaya serta mengancam keamanan bangsa," bebernya.

Dalam kasus ini, pelaku diarak keliling kampung sebelum tewas. Sehingga ia menilai tindakan simbolik seperti ‘mengarak’ terduga pelaku termasuk dalam konteks kekerasan komunal.

"Dalam konteks kekerasan komunal hal ini tentunya mencerminkan perilaku yang sadis, ekstrem hingga mengesampingkan hak asasi manusia, sehingga harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan aparat penegak hukum," jelasnya.

Kini, api sudah jadi arang, terduga pelaku tewas secara tragis. Adi mengatakan pasca insiden itu, pemerintah dan aparat keamanan harus melakukan pendekatan persuasif untuk meredam potensi aksi balas dendam atau ketegangan sosial di wilayah tersebut.

"Yang dilakukan oleh aparat adalah melakukan pendekatan persuasif dengan mengundang dialog sejumlah tokoh masyarakat, tokoh ormas, tokoh agama hingga pemerintah setempat. Pendekatan represif bisa dilakukan jika masyarakat sudah mengancam kestabilan sosial, ekonomi, politik dan memunculkan permusuhan yang berkelanjutan," ungkapnya.

3. Cegah vigilante dengan mengoptimalkan komunikasi dan dialog

IMG-20251204-WA0033.jpg
Warga seret AL (31) terduga pelaku pemerkosaan wanita disabilitas di Kabupaten Gowa (Dok.IDN Times)

Doktor Sosiologi UNM ini juga menyarakan agar peran tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah desa mengoptimalkan komunikasi agar mampu mencegah tindakan vigilante serupa di masa depan.

"Peran elemen tersebut dapat berfungsi secara optimal dengan mengoptimalkan komunikasi, dialog terbuka yang berujung pemecahan masalah dan memberikan solusi guna mencegah dan menangani aksi main hakim sendiri di wilayah tersebut," ucapnya.

Pria kelahiran Maros, 15 April 1983 ini, juga menyatakan bahwa masyarakat harus diedukasi agar tidak terjebak pada mentalitas vigilante, terutama pada kasus-kasus yang menyangkut isu sensitif seperti pelecehan atau kekerasan seksual.

"Yang dilakukan adalah memberikan edukasi sosial secara berkelanjutan, mengoptimalkan kegiatan kerohanian dan memberikan pemahaman hukum bagi mereka yang terlibat terhadap tindakan tersebut," Adi menyarankan.

Adi menambahkan dalam kasus ini, media sosial berperan mempercepat penyebaran kemarahan warga sehingga berdampak terjadinya eskalasi kekerasan yang membuat warga semakin brutal dan tak terbendung.

"Tentunya peran media sosial dalam hal penyebaran berita hoaks sangat beroengaruh besar, sehingga masyarakat perlu secara cerdas dan jeli untuk memilah berita maupun ajakan yang mengarah ke aksi kekerasan. Jika hal ini dapat diantisipasi maka dampak ajakan kekerasan dalam masyarakat dapat segera tercegah dan teratasi," ujarnya.

4. Warga yang terlibat kekerasan harus ditangkap

IMG-20251204-WA0031.jpg
AL (31) terduga pelaku pemerkosaan wanita disabilitas di Kabupaten Gowa (Dok.IDN Times)

Adi menuturkan, ada langkah sosiologis yang dapat membangun kembali rasa aman dan keadilan jika di tingkat lokal sering terjadi ketidakpercayaan terhadap penanganan kasus kekerasan seksual.

"Langkah sosiologisnya adalah pemerintah melakukan fasilitasi pemberian partisipasi masyarakat yang didukung pengawasan dan bimbingan serta meningkatkan komunikasi dan kerjasama diantara komunitas, kelompok atau individu," kata Adi.

Adi juga menyoroti lambannya respons aparat dalam kejadian ini, sehingga tidak mampu untuk mencegah terjadinya aksi kekerasan main hakim sendiri hingga berujung pada pembunuhan. "Respon aparat penegak hukum masih sangat perlu dioptimalkan dengan meningkatkan kualitas mutu dan SDM, sehingga aparat penegak hukum dibekali pengetahuan dan wawasan dalam mencegah terjadinya aksi kekerasan massa," tandasnya.

Terakhir Adi menyatakan, polisi harus menangkap warga yang melakukan aksi main hakim sendiri. Meskipun perbuatan terduga pelaku, kata Adi, juga tergolong kejam, namun aksi main hakim sendiri tak dapat dibenarkan, sebab Indonesia adalah negara hukum.

"Aparat penegak hukum wajib menangkap dan memproses hukum sesuai dengan aturan KUHAP serta memberikan pendampingan psikologis terhadap keluarga korban aksi kekerasan dan juga masyarakat yang terdampak sebagai akibat dari aksi kekerasan massa," tegas Adi Sumandiyar.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us

Latest News Sulawesi Selatan

See More

Kursi PKB di Sulsel Naik, Azhar Arsyad: Dulu 51 Kursi, Sekarang 79

08 Des 2025, 21:18 WIBNews