Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kisah Syekh Yusuf di Afrika Selatan: Pengobar Semangat Pembebasan

Lukisan Pahlawan Nasional Syekh Yusuf dan pemandangan Cape Town tahun 1683. (Kolase Berbagai Sumber)

Makassar, IDN Times - Syekh Yusuf tiba di daratan kering berbukit bernama Zandvliet, 6 kilometer arah timur Cape Town, pada 14 Juni 1694. Ia tiba bersama 49 pengikut, dua istri beserta 12 anak-anaknya di tanah pembuangan. Sosok yang saat itu sudah berusia 68 tahun tersebut mungkin terlihat ringkih, beruban, dan sudah berada di masa senja. Tapi, VOC tetap memandangnya sebagai seorang "pembuat onar."

Syekh Yusuf diasingkan 10 ribu kilometer dari kampung halamannya, dan bahkan ditempatkan cukup jauh dari Cape Town. Peneliti Ebrahim Mahomed Mahida, dalam buklet History of Muslims in South Africa: A Chronology, menyebut bahkan ini adalah upaya mereka meminimalisir pengaruh sosok Pahlawan Nasional tersebut.

Sang ulama menjadi salah satu pengobar perlawanan di Perang Banten melawan VOC pada 1680 hingga 1683. Meski akhirnya menyerahkan diri, Syekh Yusuf tetap memiliki pengaruh di mata masyarakat. Tempat penahanannya di Batavia ramai dikunjungi penduduk, begitu pula ketika dipindahkan ke Ceylon (Sri Lanka). Kompeni seolah ingin menghukum lebih berat dengan cara membawanya begitu jauh dari Makassar, menyeberangi Samudera Hindia menuju benua Afrika.

1. Meski diasingkan 10 ribu kilometer dari Makassar, Syekh Yusuf menjadi figur yang dihormati oleh para budak

Pemandangan pesisir Cape Town dan Table Mountain dari lepas pantai dalam lukisan buatan tahun 1782. (Wikimedia Commons)

Upaya VOC untuk membatasi pengaruh Syekh Yusuf di pengasingan berujung kegagalan. Zandvliet, tempat pengasingannya, dengan cepat berkembang menjadi pusat berkumpulnya para budak yang berhasil melarikan diri dan orang-orang yang diasingkan dari wilayah jajahan Belanda lainnya. Lahan peternakan yang menjadi kediaman ulama asal Makassar itu kemudian menjelma menjadi cikal bakal komunitas Muslim pertama di Afrika Selatan.

Di samping itu, Syekh Yusuf terus menjalankan perannya sebagai ulama dan guru tarekat Sufi Khalwatiyah dan Qadariyah. Pada masa itu, pengikut ajaran ini tersebar luas mulai dari Afrika Utara, Jazirah Arab, hingga India. Suleman Essop Dangor, dalam tesisnya yakni A Critical Biography of Shaykh Yusuf (1981) mencatat bahwa kegiatan keagamaan yang dipimpin oleh Syekh Yusuf dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena dilarang VOC.

"Zandvliet jadi tempat berkumpulnya budak-budak yang kabur dan orang-orang buangan dari wilayah timur. Mereka justru menambah jumlah pengikut Yusuf, meskipun ini pasti membuat marah para pejabat VOC. Syekh Yusuf, bersama para imam, mengadakan ibadah keagamaan di tempat tinggal budak, di mana mereka bisa bertemu secara diam-diam," tulisnya.

2. Meski VOC melarang umat Islam mengadakan pertemuan terbuka, Syekh Yusuf tetap melakukannya secara diam-diam

Lukisan Syekh Yusuf Al-Makassari, figur ulama berpengaruh asal Gowa-Tallo dan pemimpin pasukan kubu Sultan Ageng Tirtayasa di Perang Saudara Banten (1682-1683), dalam prangko Afrika Selatan terbitan tahun 2011. (Universal Postal Union)

Lebih jauh, Dangor menulis bahwa ada alasan Kompeni kenapa melarang umat Islam di Zandvliet mengadakan pertemuan keagamaan secara terbuka. Tak cuma lantaran kehadiran Syekh Yusuf, tapi juga sebagai "balas dendam" atas perlawanan sengit dari kesultanan-kesultanan Muslim di wilayah Nusantara beberapa tahun sebelumnya. Padahal menurut Rashid Begg dalam artikel jurnal Towards the Historical Sociology of Almsgiving in "South African Islam" (2012), Islam sudah ada di Afrika Selatan sejak pertengahan abad ke-17 atau sekitar 30 tahun sebelum kedatangan Syekh Yusuf. 

Selain itu, Syekh Yusuf dengan cepat menarik banyak pengikut karena reputasinya yang kuat. Selain keyakinan bahwa ia memiliki karisma seorang Wali, statusnya sebagai "lawan VOC" membuatnya dihormati para budak. Kisah-kisah perlawanannya di Banten, serta kegigihan pasukan Gowa-Tallo dalam Perang Makassar yang kerap ia ceritakan, membangkitkan harapan atas kebebasan.

Beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa pengaruhnya terbatas hanya di Zandvliet akibat pengawasan ketat dari pihak Belanda. Meski demikian, banyak pejabat Belanda di Cape Town yang menghormati Syekh Yusuf. Beberapa di antaranya adalah Gubernur Jenderal Simon van der Stel dan putranya, Willem Adriaan, yang konon menjalin persahabatan dekat dengannya.

3. Syekh Yusuf diyakini menginspirasi perlawanan terhadap kolonialisme dan apartheid di Afrika Selatan

Dua anak sedang berdiri tak jauh dari makam Syekh Yusuf (pojok kiri atas) di Zandvliet, Cape Town, antara tahun 1910 hingga 1930. (Elliott, Arthur., KITLV A700 - Twee kinderen bij de tombe van Sheik Yusuf (Sherk Josephs ' Tomb) in de Zandvliet Hoeve te Stellenbosch bij Kaapstad, KITLV 100379, CC BY 4.0)

Lantas, apa pengaruh Syekh Yusuf untuk perkembangan Islam di Afrika Selatan? Peneliti asal Slowakia, Viera Pawlikova-Vilhanova, dalam artikel ilmiah Rethinking the Spread of Islam in Eastern and Southern Africa (2010), menulis bahwa Syekh Yusuf sangat penting bagi kesadaran agama, identitas, dan pemahaman sejarah Islam umat Muslim di Afrika Selatan saat ini. Tapi, pengaruhnya mungkin lebih bersifat simbolis sebab dasar-dasar lembaga Islam untuk komunitas Muslim baru dibangun pada awal abad ke-18.

Abdulkader Tayob, seorang intelektual Muslim di University of Cape Town, menyatakan sosok Syekh Yusuf melampaui sekadar simbol. Muslim Afrika Selatan hingga kini masih mengenang sosok yang wafat pada 23 Mei 1699 itu sebagai seorang pembawa risalah, pengajar yang berpengaruh, dan memicu kesadaran atas kemerdekaan kelompok tertindas.

"Jelang pemilihan demokratis pertama di negara itu (tahun 1994), ribuan umat Muslim di Cape Town berkumpul untuk merayakan tiga ratus tahun keberadaan mereka di Afrika Selatan. Puncak perayaannya adalah perkemahan massal di sekitar makam Syekh Yusuf. Ini adalah indikasi penting bagaimana Syekh Yusuf telah diangkat sebagai simbol kehadiran Muslim di negara itu dan perlawanan Islam terhadap kolonialisme dan apartheid," tulisnya Tayob dalam buku Islam in South Africa: Mosques, Imams, and Sermons (1999).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
Ach. Hidayat Alsair
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us