Tidak Efektif, Sederet Kekurangan PSBB Makassar Menurut Pakar Hukum  

Kekurangan PSBB di Makassar dikaji dalam tiga aspek mendasar

Makassar, IDN Times - Penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Kota Makassar, mendapat perhatian khusus dari sejumlah pakar. Khususnya dalam konteks sosiologi hukum. Saat ini PSBB di Kota Daeng telah memasuki pekan kedua diterapkan setelah diperpanjang sejak (8/5) hingga (22/5) mendatang.

PSBB fase pertama di Makassar diterapkan pada (24/4) hingga (7/5) lalu. Penerapan PSBB tertuang dalam Peraturan Wali Kota Makassar Nomor 22 Tahun 2020. Namun sejumlah pakar hukum menilai PSBB belum begitu efektif dilaksanakan. Sehingga target pemerintah khususnya Kota Makassar dalam menekan hingga memutus mata rantai penyebaran wabah COVID-19 tidak berjalan maksimal.

Hal tersebut menjadi pembahasan pembahasan mendasar dalam diskusi virtual, webinar penerapan PSBB dari perspektif sosiologi hukum di Makassar. Diskusi diselenggarakan Departemen Hukum Masyarakat dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Rabu (13/5).

1. Peraturan teknis PSBB tidak jelas, menyebabkan antar-struktur pemerintahan saling menyalahkan

Tidak Efektif, Sederet Kekurangan PSBB Makassar Menurut Pakar Hukum  Salah seorang warga di Makassar menerima paket bantuan, Selasa (21/4). Humas Pemkot Makassar

Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Unhas Prof Musakkir memaparkan sejumlah fakta menarik soal kelengahan sehingga penerapan PSBB di Makassar sangat rancu dan tidak efektif. Yang pertama disebutkan Musakkir, adalah kurang disiplin, tidak patuh dan tidak sadarnya masyarakat terkait ancaman bahaya penyebaran COVID-19.

Masyarakat Kota Makassar khususnya, dianggap masih berpegang teguh dengan stigma kenekatan yang keliru. Misalnya, sesuatu hal dinyatakan ada ketika itu sudah terjadi. "Dalam bahasa Makassar itu dikenal dengan istilah eja tompi nikana doang (udang disebut udang ketika warnanya merah). Nanti kita kena (COVID-19) baru kita (warga) tahu bahwa bagaimana rasanya," papar Musakkir.

Kemudian, masih banyak masyarakat yang dianggap kurang menghargai kinerja aparat penegak hukum. Meski dicerca, aparat dianggap masih cukup sabar melayani masyarakat. Khususnya dalam penegakan aturan PSBB. "Saya apresiasi di situ. Karena aparat kita masih cukup sabar," katanya.

Namun di sisi lain, segelintir aparat dianggap mendiskriminasi masyarakat yang tidak patuh aturan. Misalnya disebutkan Musakkir, beberapa unit usaha yang ditutup paksa, tanpa mempertimbangkan nasib karyawan lainnya. "Sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terkait pemberlakuan PSBB ini," ungkap Musakkir.

Berikutnya, lanjut Musakkir, masih terdapat aparat khususnya di lingkup pemerintahan tertinggi hingga paling bawah di Kota Makassar yang tidak proporisonal dalam pendistribusian sembako. "Yang seharusnya sembako untuk warga miskin saja tapi ada juga pejabat yang dapat, keluarganya dapat. Padahal tidak miskin," ujarnya.

Akar dari seluruh kerancuan penerapan teknis PSBB, disebutkan Musakkir, berada dalam tingkatan atau struktur aparatur pemerintah. Musakkir beranggapan, aparatur pemerintah masih saling melempar tanggung jawab dalam pelaksanaan penerapan jaring pengaman sosial ke warga.

Khususnya dalam konteks pendistribusian kebutuhan pokok dan bantuan lainnya kepada seluruh warga terdampak. "Solusinya, meningkatkan koordinasi. Jangan saling menyalahkan antara atasan dan bawahan. Bawahan anggap benar tapi atasan anggap salah."

2. Perwali penerapan PSBB tidak mengatur sanksi pidana

Tidak Efektif, Sederet Kekurangan PSBB Makassar Menurut Pakar Hukum  Pembalap liar saat PSBB di Kota Makassar diamankan petugas gabungan. IDN Times/Polrestabes Makassar

Guru Besar Hukum Tata Negara Unhas, Prof Andi Pangerang Moenta menjelaskan secara rinci, penegakan aturan dalam pelaksanaan PSBB khususnya di Kota Makassar. PSBB yang mengacu pada Perwali Nomor 22 Tahun 2020 dinyatakan Pangerang sama sekali tidak mengatur sanksi pidana, begitupun dengan saksi administrasi.

Perwali PSBB, kata Pangerang, mengarahkan penegakan aturan sanksi pidana di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Khususnya di Pasal 90 hingga Pasal 94. "Makanya kalau perwali ini mencantumkan sanksi sendiri di luar UU Kekarantinaan Kesehatan, itu melanggar memang. Makanya dia (perwali) tahu diri," tegas Pangerang.

Pangerang merujuk dalam beberapa fakta penegakan aturan hukum dalam pelaksanaan PSBB di Makassar. Dia mencontohkan, seperti penutupan sejumlah unit usaha yang tidak masuk dalam kategori atau ketentuan yang diperbolehkan beroperasi selama PSBB.

Aparat penegak aturan di lingkup Pemkot Makassar, menindak tegas dengan menutup paksa unit usaha yang dianggap melanggar. Bentuk penindakan lainnya, menyemprot unit usaha yang dianggap membandel dengan cairan berwarna. Menurut Pangerang, penegakan itu berlebihan karena sama sekali tidak ada di dalam aturan.

Merujuk dalam fakta-fakta tersebut, kata Pangerang, menunjukkan bahwa penerapan PSBB di Makassar sepenuhnya tidak efektif untuk menekan laju penyebaran wabah COVID-19. Pemerintah dianggap masih bingung membedakan tindakan tegas dengan pembinaan sesuai dengan ketentuan aturan yang berlaku.

"Itu bercampur baur. Kalau secara normatif UU sudah tegas. Pelanggaran PSBB UU Nomor 6 Tahun 2018. Kalau perorangan yang melanggar itu maksimal 1 tahun dan dendanya Rp100 juta. Kalau perusahaan atau jasa transportasi baik darat, udara, laut dan berpotensi menularkan wabah, dendanya lebih di atas lagi. Maksimal 10 tahun (penjara) dan denda Rp100 miliar," ucapnya.

Yang paling tepat untuk betul-betul menekan hingga memutus rantai penyebaran COVID-19 di Makassar, umummya di Sulsel menurut Pangerang, justru adalah kebijakan lockdown. Hanya saja, kondisi itu harus disadari cukup susah diterapkan karena negara dan pemerintah belum mampu menanggung seluruh kebutuhan rakyat.

"Yang tepat dan kalau mau pas sebetulnya itu, lockdown. Tapi karena kemampuan ekonomi. Itulah sebabnya pemerintah lebih memilih PSBB daripada lockdown. Cuman lockdown berat sekali beban ekonominya karena harus ditanggung beban ekonominya masyarakat," tegasnya.

Baca Juga: Iqbal Klaim PSBB Makassar Tekan Jumlah Kasus COVID-19

3. Masyarakat jangan gegabah memandang remeh COVID-19, satu-satunya rujukan yang wajib diikuti adalah MUI

Tidak Efektif, Sederet Kekurangan PSBB Makassar Menurut Pakar Hukum  Ilustrasi. Jemaah Masjid Al-Ikhlas Perumahan Bluru Permai, Sidoarjo harus jalani rapid test saat melaksanakan ibadah tarawih, Rabu (6/5) malam. Dok.IDN Times/Istimewa

Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Ekonomi Islam Unhas, Prof Arfin Hamid memperingatkan kepada siapapun masyarakat agar berpegang teguh terhadap pedoman keamanan dalam rangka pencegahan penanganan COVID-19. Dalam situasi darurat COVID-19 seperti ini, masyarakat dari berbagai lapisan diminta untuk taat aturan.

Tidak memandang remeh wabah dan jangan berlagak seolah-olah lebih ahli daripada orang yang betul-betul berkompeten dalam menentukan suatu kebijakan untuk meminimalisir penularan virus. Hal tersebut diungkapkan Arfin, menyikapi maraknya protes masyarakat yang dianggap keras kepala dengan menekan pemerintah agar membuka kembali rumah-rumah ibadah dalam masa pandemi COVID-19.

Masyarakat kerap membandingkan, maraknya aktivitas di sejumlah pusat berbelanjaan kebutuhan pokok dibandingkan dengan ibadah secara berjemaah di rumah ibadah, khususnya di masjid. Terlebih masih ada saja segelintir masyarakat yang memprovokasi agar ibadah tetap dilaksanakan berjemaah.

"Kita dulu senang sekali tarwih di masjid. Tapi dalam kondisi sekarang kita diminta tarwih di rumah. Ibadah di rumah. Siapa yang meminta? Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kenapa MUI, karena di sana adalah tempatnya ulama-ulama yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pendapat ulama dalam berfatwa dilegitimasi oleh negara," ungkap Arfin.

Hal tersebut menurutnya menjadi bukti bahwa negara melalui aparatur pemerintahannya, memberikan tanggung jawab dan kepercayaan besar bagi MUI agar mempertimbangkan seluruh faktor dan risiko penyebaran wabah apabila masyarakat kerap tidak mengindahkan aturan dalam berkumpul dan beribadah.

MUI sebagai lembaga independen yang berkompeten dan ahli dalam bidangnya, bahkan telah mengeluarkan fatwa berisi delapan poin rujukan yang digunakan dalam penanggulangan COVID-19. Mulai dari tata cara teknis pelaksanaan ibadah dari masjid dan diganti di rumah, penanganan pasien COVID-19 yang meninggal dunia hingga hal-hal mendasar lainnya.

Pertimbangan itu bukan tanpa sebab, namun berdasarkan kajian, riset sesuai dengan ajaran agama yang pertanggungjawabannya sangat komprehensif. "Jangan seolah-olah ini masyarakat berlagak pintar. Berlagak jadi ustaz. Fatwa kiri kanan tanpa mempertimbangkan kondisi. Dalam situasi seperti ini, yang wajib menjadi rujukan kita adalah ulama-ulama di MUI," ujarnya.

Arfin meyakini, jika masyarakat betul-betul sadar dan paham betapa pentingnya anjuran MUI untuk sementara waktu tidak melakukan aktivitas ibadah secara berjemaah selain di rumah, upaya pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19 bisa berjalan dengan maksimal dan mencapai target.

Tugas pemerintah saat ini, lanjut Arfin, adalah dengan betul-betul memaksimalkan proses edukasi ke masyarakat luas untuk mengikuti anjuran MUI. Dengan begitu, target untuk menghentikan wabah virus ini bisa tuntas.

Baca Juga: Polisi Terbitkan 271 Surat Pelanggaran selama PSBB di Makassar

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya