Pemprov Sulsel soal Rencana Kenaikan PBB di Bone: Kalau Gaduh Hentikan

- Penyesuaian tarif PBB tidak pernah diberlakukan bertahun-tahun, menyebabkan lonjakan besar hingga 1.000 persen di beberapa daerah.
- Kenaikan pajak bukan solusi untuk menutupi kekurangan fiskal, otonomi daerah seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
- Pengurangan transfer dana dari pemerintah pusat berdampak signifikan pada kemampuan daerah dalam menjalankan program dan mencari sumber pendapatan baru yang sah.
Makassar, IDN Times - Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Jufri Rahman, menilai keputusan Pemerintah Kabupaten Bone menunda kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) merupakan langkah yang sesuai dengan arahan pemerintah pusat. Penundaan itu, menurutnya, penting untuk meredam kegaduhan di tengah masyarakat yang sempat memicu aksi unjuk rasa di Bone.
"Sudah ada edaran Mendagri. Dengan (kenaikan) pajak PBB, kalau menimbulkan kegaduhan, hentikan. Menurut saya, arahnya sangat kondusif, memang di beberapa daerah ada kelihatan kenaikan yang sangat drastis," kata Jufri saat ditemui di Kantor Gubernur Sulsel, Rabu (20/8/2025).
1. Lonjakan besar terjadi karena penyesuaian tarif tidak diberlakukan bertahun-tahun

Jufri menyebut kasus kenaikan PBB yang tinggi bukan hanya terjadi di Bone. Dia mencontohkan Jombang yang tarifnya naik 400 hingga 600 persen, bahkan di Cirebon ada yang melonjak sampai 1.000 persen.
Lonjakan besar itu terjadi karena penyesuaian tarif tidak pernah diberlakukan selama bertahun-tahun. Begitu kebijakan diterapkan sekaligus sesuai kondisi terkini, kenaikannya tampak melonjak tajam.
"Tiba-tiba dilakukan berdasarkan kondisi sekarang, pasti kenaikannya kelihatan drastis sekali. Tetapi, dalam logika sederhana saja, kalau di kota ada kenaikan 300 sampai 400 persen, mungkin masuk akal, karena itu tergantung harga tanah," ucapnya.
2. Kenaikan pajak bukan solusi tutupi kekurangan fiskal

Meski begitu, Jufri menekankan bahwa tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan menambah beban. Dia mengingatkan kepala daerah agar tidak menjadikan kenaikan pajak sebagai solusi instan untuk menutup kekurangan fiskal.
"Kalau ada sesuatu atas nama otonomi lalu memberi beban pada rakyat, itu pengingkaran terhadap hakikat otonomi, karena hakikat otonomi itu meningkatkan kesejahteraan. Kalau tambahin pajak, kesejahteraan rakyat malah menurun kan," katanya.
Dia menilai pengurangan transfer dari pusat sering dikaitkan dengan upaya daerah mencari sumber pendapatan baru yang sah. Namun, menurutnya, kreativitas pemerintah daerah tidak seharusnya diukur hanya dari kebijakan menaikkan pajak.
Seharusnya, kata Jufri, pemerintah daerah mampu menggali sumber-sumber pendapatan lain yang sah. Dalam teori pemerintahan, hakikat penyerahan otonomi menurut undang-undang adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan yang lebih baik.
"Jadi seharusnya para pimpinan daerah itu harus lebih jeli dan cerdas mencari sumber-sumber pendapatan untuk menambah pundi-pundi, dalam kondisi kapasitas fiskal yang makin menipis," katanya.
3. Pengurangan dana transfer berdampak ke daerah

Jufri menyinggung pula soal keterbatasan transfer dana dari pemerintah pusat. Dia menyebut sejak 2023, transfer ke daerah mengalami pemangkasan signifikan.
Dari Rp900 triliun, angkanya dikurangi menjadi Rp600 triliun karena sebagian dana ditahan Kementerian Keuangan. Kondisi itu, menurutnya, memengaruhi kemampuan daerah dalam menjalankan program.
Menurut Jufri, hanya daerah dengan kapasitas fiskal besar seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Riau, atau Aceh yang tidak terlalu terdampak oleh pengurangan transfer. Sementara di Sulsel, kabupaten/kota dengan ketergantungan tinggi pada dana pusat harus lebih berhati-hati dalam mencari sumber pendapatan.
"Pasti (berdampak) meskipun Sulsel itu termasuk daerah dengan kapasitas fiskal kuat di kelas rendah, tetapi pasti akan terpengaruh. Lebih-lebih mereka daerah yang kapasitas fiskalnya rendah," jelasnya.