Catahu LBH Makassar: Polri Jadi Aktor Pelanggaran HAM Tertinggi di Sulsel

Makassar, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menyebut Institusi Polri menempati urutan pertama sebagai pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Sulawesi Selatan dengan jumlah 58 kasus sepanjang tahun 2025. Hal itu diungkapkan Direktur LBH Makassar Abdul Azis Dumpa saat konferensi pers catatan akhir tahun (Catahu) 2025, di Sekretariat LBH Makassar, Rabu (24/12/2025).
"Catatan kami tahun ini angka penyimpangan, kekerasan dan aktor pelanggaran HAM yang paling tinggi itu dilakulan Polri dengan jumlah 58 kasus dari 212 permohonan yang kami terima di 2025," ucap Abdul Azis Dumpa.
1. Jumlah kasus meningkat 190 persen dibandingkan tahun 2024

Azis mengungkapkan, 58 kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Insititusi Polri korbannya beragam, seperti perempuan, mahasiswa, anak, buruh, miskin kota, pedagang kecil, pelajar dan petani. "Angka ini meningkat tajam sebesar 190 persen dibandingkan tahun 2024," ujarnya
Menurutnya situasi di Indonesia saat ini menegaskan bahwa demokrasi menuju distopia. Sebuah tatanan yang sarat penindasan, kekerasan, ketidakadilan dan hilangnya kebebasan rakyat. "Ini berlawanan dengan utopia yang merepresentasikan demokrasi ideal, menjamin kedaulatan rakyat, kebebasan, partisipasi, transparansi, ukuntanilitas dan keadilan," tuturnya.
2. Kasus fair trial menjadi yang tertinggi dengan 39 kasus

Wakil Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar, Mirayati Amin menjelaskan sepanjang tahun 2025, LBH Makassar menerima 212 permohonan bantuan hukum, dengan 202 permohonan ditangani. "Dari jumlah tersebut, 157 kasus (78%) merupakan pelanggaran HAM berdimensi struktural, sedangkan 45 kasus (22%) non-struktural," jelasnya.
Mirayati mengaku, permohonan tidak hanya berasal dari Sulawesi Selatan, melainkan juga dari luar provinsi. Itu menunjukkan meluasnya pelanggaran HAM, sekaligus upaya penjangkauan pemberian layanan bantuan hukum.
"Berdasarkan isu, kasus fair trial menjadi yang tertinggi dengan 39 kasus, meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2024. Dan ini menjadi angka paling tinggi sepanjang tiga tahun terakhir.
Disusul kekerasan terhadap perempuan 25 kasus, sengketa tanah dan perumahan 21 kasus, perburuhan 18 kasus, kekerasan fisik oleh aparat 15 kasus, dan KDRT 13 kasus," kata Mirayati.
Fair trial adalah proses hukum, seperti hak atas bantuan hukum, praduga tak bersalah, dan bebas dari penyiksaan, yang sering terjadi di Indonesia dalam berbagai tahap penegakan hukum, dari penyidikan Polisi paling sering melanggar, penuntutan, hingga persidangan.
3. Indeks penegakan hukum Indonesia turun dibandingkan tahun 2024 lalu

Lebih lanjut dijelaskan, tingginya angka kasus fair trial mengkonfirmasi buruknya indeks penegakan hukum di Indonesia yang dikeluarkan oleh World Justice Project (WJP) tahun 2025. Menurut data lembaga itu, Indonesia menempati peringkat ke 69 dari 143 negara di Dunia dengan skor 0,5239.
"Artinya, penegakan hukum di Indonesia, masih buruk, lebih buruk dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Ironisnya, indeks penegakan hukum Indonesia justru turun dibandingkan tahun 2024 lalu," ungkap Mirayati.
Dia kembali menegaskan, bahwa dari 157 kasus struktural pelanggaran HAM, institusi Polri menjadi aktor pelanggar HAM yang paling tinggi dengan 58 kasus. Pelaku lain, kata Mirayati, meliputi warga/kelompok sipil 30 kasus, perusahaan swasta 29 kasus, pasangan/suami 25 kasus, pemerintah daerah 4 kasus, birokrasi kampus/sekolah 3 kasus, dan TNI 1 kasus.
"Peningkatan keterlibatan Polri menunjukkan kuatnya praktik kekerasan, impunitas, dan penyalahgunaan kewenangan, yang diperparah oleh kebijakan internal Polri tahun 2025 yang dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi," ucapnya.


















