Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

HUT ke-80 RI, Pengungsi Nduga: Dimana Arti Kemerdekaan bagi Kami?

Warga pengungsian dari Paro hendak meninggalkan kampungnya pada awal Januari 2019. (IDN Times/Istimewa)
Warga pengungsian dari Paro hendak meninggalkan kampungnya pada awal Januari 2019. (IDN Times/Istimewa)
Intinya sih...
  • Sejak 2018 mengungsi, hidup serba kekuranganGelombang pengungsian besar-besaran dari Nduga bermula pada 18–19 Desember 2018. Ratusan keluarga melarikan diri ke hutan, sebagian menuju Wamena, Jayapura, Nabire, dan Timika.
  • Jalan kaki sebulan dengan anak kecilIpolus Gwijangge bersama keluarga berjalan kaki selama satu bulan dari Paro hingga ke Yakapis, Distrik Pulau Tiga, Kabupaten Asmat. Di Timika, kehidupan jauh berbeda dengan kampung halaman.
  • Hidup “kembali ke nol”Pale Gwijangge mengatakan pengungsian membuat kehidupan masyarakat hancur seketika.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Timika, IDN Times – Ketika di berbagai pelosok Indonesia masyarakat merayakan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan upacara dan lomba penuh suka cita, ribuan warga asal Kabupaten Nduga masih hidup dalam pengungsian.

Sejak gelombang konflik yang meletus pada Desember 2018 dan kembali berulang pada 2023, mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman. Hingga kini, sebagian besar belum bisa kembali.

“Ada kerinduan besar untuk balik ke kampung, tetapi kalau kita mau balik saat ini dan masih ada TNI-Polri, itu kami agak susah untuk balik ke sana," kata Ipolus Gwijangge, seorang pengungsi dari Distrik Paro, Nduga, kepada IDN Times, Sabtu (16/8/2025) malam di Timika.

"Kalau mereka (TNI-Polri) mengosongkan Paro, baru kami mau balik ke sana, itu kami bisa hidup tenang,” imbuhnya.

1. Sejak 2018 mengungsi, hidup serba kekurangan

Mama Oritkwe Nirigi, pengungsi Nduga yang saat ini menumpang tinggal di rumah keluarga di Timika, Papua Tengah. (IDN Times/Endy Langobelen)
Mama Oritkwe Nirigi, pengungsi Nduga yang saat ini menumpang tinggal di rumah keluarga di Timika, Papua Tengah. (IDN Times/Endy Langobelen)

Gelombang pengungsian besar-besaran dari Nduga bermula pada 18–19 Desember 2018, setelah terjadi kontak senjata antara kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Egianus Kogoya dengan TNI-Polri di Mapenduma.

Ratusan keluarga saat itu melarikan diri ke hutan, sebagian menuju Wamena, Jayapura, Nabire, dan Timika.

Salah satunya adalah Mama Oritkwe Nirigi, perempuan asal Mapenduma yang terpisah tanpa kabar dengan sang suami selama mengamankan diri ke Paro.

Mama Oritkwe mengaku hanya membawa pakaian di badan ketika kabur bersama anak-anaknya. Mereka sempat tidur sehari di bawah batu sebelum esok melanjutkan perjalanan ke Paro.

“Waktu keluar dari Mapenduma itu pakaian cuma di badan saja. Jadi semua uang, harta kekayaan, (ternak) babi itu semua tidak bawa. Makanya waktu itu saya mau kembali lagi ke Mapenduma, tetapi keadaan di sana tidak memungkinkan jadi saya kembali ke Paro lagi,” tuturnya dengan suara bergetar.

Sejak 2019, Mama Oritkwe menetap di Timika. Namun enam tahun berlalu, ia belum sekalipun kembali ke Mapenduma.

"Saya punya hati ini ada di Mapenduma sampai sekarang, karena selain saya punya kampung dan tempat tinggal di situ, banyak sekali kenangan, banyak sekali barang harta semua tertinggal. Jadi hati saya sampai sekarang ada di Mapenduma,” katanya.

2. Jalan kaki sebulan dengan anak kecil

Beberapa orang yang mengungsi di keluarga di Timika. (IDN Times/Endy Langobelen)
Beberapa orang yang mengungsi di keluarga di Timika. (IDN Times/Endy Langobelen)

Kisah lebih getir dialami oleh Ipolus Gwijangge. Ia bersama keluarga berjalan kaki selama satu bulan dari Paro hingga ke Yakapis, Distrik Pulau Tiga, Kabupaten Asmat, sebelum akhirnya dijemput perahu motor menuju Timika.

“Satu bulan jalan kaki dengan anak kecil, jadi jalan pelan-pelan. Sampai di Yakapis sana baru dijemput naik loangboat ke Timika dua malam dua hari. Itu kejadian tahun 2023 awal, bulan Februari,” kenangnya.

Di Timika, kehidupan jauh berbeda dengan kampung halaman. Di tanah asal, mereka bisa bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun di pengungsian, semuanya terbatas.

“Saya sebagai pengungsi hidup di Timika ini beda dari kampung. Jadi, mau bilang hidup baik-baik, tidak. Saya menderita hidup di sini,” ucap Ipolus.

3. Hidup “kembali ke nol”

Pale Gwijangge, tokoh pemuda Nduga asal Mapenduma yang saat ini berdomisili di Timika. Rumahnya menjadi salah tempat untuk menampung para pengungsi dari Nduga. (IDN Times/Endy Langobelen)
Pale Gwijangge, tokoh pemuda Nduga asal Mapenduma yang saat ini berdomisili di Timika. Rumahnya menjadi salah tempat untuk menampung para pengungsi dari Nduga. (IDN Times/Endy Langobelen)

Pale Gwijangge, tokoh pemuda Nduga di Timika, mengatakan pengungsian membuat kehidupan masyarakat hancur seketika.

“Jujur saja pengungsian ini memunculkan masalah-masalah baru, karena kehidupan yang sudah tertata dalam kehidupan masyarakat Nduga, puluhan ribu tahun yang sudah terpola dan terbangun, ini hancur hanya sekejap. Lalu mau merekonstruksi atau membangun kembali sebuah kehidupan baru dalam keadaan mengungsi ini sulit,” ujarnya.

Menurutnya, persoalan terbesar bukan hanya kehilangan rumah, tanah, dan harta benda, tetapi juga trauma berkepanjangan. Banyak pengungsi, kata Pale, masih takut dengan kehadiran aparat.

“Trauma ini bukan terjadi sekali, tetapi ada sebabnya. Tahun 1977 pernah ada operasi besar-besaran, kemudian 1995-1996 penyanderaan tim Lorenz. Sekarang 2018 kembali lagi terjadi. Jadi, masyarakat ini trauma yang berkepanjangan, dan rasa tidak senang terhadap keberadaan TNI-Polri,” katanya.

Ia menambahkan, negara selama ini hanya memberi bantuan pangan seadanya, tetapi belum hadir secara serius menyelesaikan akar masalah.

“Negara tidak bisa hanya memberikan beras, super mie, bantuan-bantuan yang sifatnya makan untuk kepentingan hari ini. Negara harus hadir untuk menyelesaikan masalah yang dia timbulkan,” tegas Pale.

4. Merdeka yang belum dirasakan

Warga pengungsian dari Paro hendak meninggalkan kampungnya pada awal Januari 2019. (IDN Times/Istimewa)
Warga pengungsian dari Paro hendak meninggalkan kampungnya pada awal Januari 2019. (IDN Times/Istimewa)

Dalam suasana perayaan kemerdekaan, Pale menyampaikan refleksi yang tajam: “Ketika negara tidak hadir sebagai negara bagi masyarakatnya, maka kemerdekaan ini tidak ada artinya.”

Bagi para pengungsi, kemerdekaan bukan sekadar seremoni pengibaran bendera, melainkan kepastian untuk hidup aman di tanah leluhur mereka.

“Masyarakat hidup di bawah trauma, hidup di bawah pengungsian, hidupnya tidak menentu, tidak diperhatikan. Jadi mereka tidak merasakan namanya kemerdekaan itu,” ujarnya.

5. Ribuan warga masih mengungsi

Para pengungsi Nduga di Wamena.
Para pengungsi Nduga di Wamena. (IDN Times/Istimewa)

Untuk diketahui, data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, sejak 2018 hingga 2023, puluhan ribu warga Nduga mengungsi ke berbagai daerah.

Sebagian besar pengungsi masih menetap di Wamena, Timika, Jayapura, Nabire, dan kota-kota lain di Papua.

Hingga kini, tidak ada kepastian kapan mereka bisa kembali. Banyak rumah, gereja, dan fasilitas umum di kampung telah hancur.

Sementara anak-anak kehilangan hak pendidikan yang layak, sebagian besar hanya menumpang sekolah di kota.

Di tengah gegap gempita perayaan kemerdekaan, kisah pengungsi Nduga mengingatkan bahwa masih ada warga Indonesia yang belum merasakan arti merdeka: bebas dari rasa takut, trauma, dan kehilangan kampung halaman.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us

Latest News Sulawesi Selatan

See More

Belum Ada Indikasi Pidana soal Dana Cadangan Rp24 Miliar PDAM Makassar

07 Sep 2025, 17:20 WIBNews