Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dipicu Efisiensi, 2.486 Pekerja di Sulsel Kena PHK Sepanjang 2025

ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Makassar, IDN Times - Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Sulawesi Selatan (Sulsel) sepanjang 2025 mengalami lonjakan signifikan. Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans), sebanyak 2.486 orang di-PHK. 

Angka tersebut meningkat drastis dibanding tahun 2024 yang tercatat hanya 126 orang. Lonjakan ini menunjukkan tekanan yang semakin besar pada dunia usaha dan ketenagakerjaan di Sulsel. Sektor pertambangan menjadi penyumbang terbesar, dengan lebih dari 30 persen kasus PHK, diikuti sektor pertanian, perhotelan, dan perdagangan.

Kepala Dinas Tenaga dan Transmigrasi Sulsel, Jayadi Nas, mengatakan banyak perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja karena berbagai alasan, termasuk efisiensi, kontrak kerja yang habis, alih teknologi, dan kondisi keuangan yang tidak stabil.

"Ya, memang saat ini kita menghadapi suatu tantangan besar di dunia kerja. Di mana akhir-akhir ini ada kecenderungan sejumlah perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK terhadap karyawannya," kata Jayadi saat ditemui di kantornya, Rabu (10/12/2025).

1. Ada yang mundur sepihak, resign, kontrak habis, dan efisiensi perusahaan

ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Jayadi menjelaskan PHK terjadi karena berbagai faktor. Beberapa pekerja mundur secara sepihak atau memilih resign untuk pindah ke perusahaan lain. Ada juga yang keluar untuk memulai usaha sendiri, memanfaatkan pengalaman yang diperoleh selama bekerja.

"Pekerja yang keluar diwajibkan melapor, baik secara pribadi maupun melalui perusahaan, agar statusnya tidak tetap tercatat sebagai karyawan," kata Jayadi.

Selain itu, PHK juga disebabkan oleh kontrak kerja yang habis. Beberapa pekerja memilih pindah ke tempat kerja lain setelah kontraknya selesai.

Faktor mendasar lainnya adalah efisiensi tenaga kerja oleh perusahaan. Efisiensi ini biasanya terkait penilaian terhadap kelayakan tenaga kerja atau kondisi keuangan perusahaan yang menuntut pengurangan pegawai.

"Nah perusahaan-perusahaan yang melakukan PHK ini juga diperhadapkan pada kondisi atau alasan yang berbeda-beda," kata Jayadi.

2. Terdorong gangguan produksi, pabrik tidak normal, dan kondisi keuangan perusahaan

ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Kemudian, beberapa perusahaan mengaitkan PHK dengan kondisi perekonomian global yang sedang tidak stabil. Tak sedikit perusahaan menilai hal ini sangat memengaruhi jenis usaha mereka.

Jayadi mencontohkan ada sejumlah perusahaan tambang melaporkan bahwa pasokan bahan baku kini tidak selancar seperti tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan produksi di smelter mengalami gangguan dan tidak berjalan optimal.

"Mereka tidak bisa berproduksi untuk melakukan aktivitas karena bahan baku untuk proses di smelter nikel itu. Itu yang menurut mereka yang sangat kurang. Itu alasan yang disampaikan," kata Jayadi.

Lalu, ada juga perusahaan yang pabriknya tidak beroperasi normal. Jayadi menyebutkan beberapa tungku yang sebelumnya delapan unit, kini hanya dua yang aktif, sehingga tenaga kerja di enam tungku lainnya harus dirumahkan atau di-PHK.

Kondisi keuangan perusahaan yang tidak normal juga menjadi faktor penyebab PHK. Harga nikel dalam dua hingga tiga tahun terakhir berada pada posisi kurang menguntungkan sehingga memengaruhi aktivitas produksi dan pendapatan perusahaan. Untuk menormalkan kondisi, perusahaan seringkali mengurangi jumlah pegawai.

3. Dinamika ekonomi global dan upah minimum juga jadi faktor perusahaan kurangi pegawai

ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Selain itu, dinamika ekonomi global turut berdampak pada keputusan perusahaan. Perang tarif antarnegara, konflik seperti di Ukraina-Rusia, Thailand-Kamboja, atau Israel-Palestina, hingga kondisi ekonomi Amerika dan Eropa Barat yang bergantung pada situasi global, membuat pengusaha cenderung menunggu dan mengamati peluang sebelum mengambil keputusan.

"Tentu ini sangat berpengaruh pada aktivitas di perusahaan sekaligus berpengaruh pada pendapatan di setiap perusahaan sehingga menganggap dirinya merugi.Mau tidak mau, tentu akan menormalkan salah satunya dengan cara mengurangi jumlah pegawai," kata Jayadi. 

Jayadi juga menyebutkan beberapa perusahaan memilih menutup usaha atau memindahkan lokasi ke wilayah yang dianggap lebih menjanjikan. Kondisi ini juga berkaitan dengan tarif upah minimum yang dianggap terlalu tinggi sehingga beberapa perusahaan tidak mampu menggaji sesuai ketentuan.

"Karena dianggap tarif terlalu tinggi sehingga banyak perusahaan yang tidak mampu menggaji sesuai dengan upah minimum yang harusnya dibayar oleh perusahaan," kata Jayadi.

Jayadi Nas berharap, ke depan, kondisi perekonomian akan membaik, dunia usaha lebih stabil, dan investasi meningkat. Dengan demikian, tercipta pembukaan lapangan kerja baru, sehingga masyarakat dapat memperoleh pekerjaan yang layak.

"Juga perusahaan yang masih tetap stabil di dalam melakukan aktivitasnya. Kita berharap ke depan suasana perekonomian semakin baik, dunia usaha semakin baik," kata Jayadi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Aan Pranata
EditorAan Pranata
Follow Us

Latest News Sulawesi Selatan

See More

Dipicu Efisiensi, 2.486 Pekerja di Sulsel Kena PHK Sepanjang 2025

10 Des 2025, 17:44 WIBNews