Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Build Down to Anathema dan Konsistensi Suara Protes dari Makassar

Para personel grup musik hardcore punk asal Makassar, Build Down to Anathema (BDTA). (Dok. Istimewa)
Intinya sih...
  • Lagu protes memainkan peran penting dalam gerakan sosial, sejak abad pertengahan hingga era modern.
  • Grup musik hardcore punk Build Down to Anathema (BDTA) di Makassar membawa isu sosial ke dalam karyanya.
  • Musik non-mainstream, seperti punk dan hardcore, memberi ruang bagi penyanyi untuk menyuarakan ketidakpuasan dan pesan protes yang tak diterima di arus utama.

Makassar, IDN Times - Lagu-lagu protes sejatinya merupakan bentuk kesenian sekaligus suara masyarakat biasa. Lewat nada dan lirik, orang-orang coba disadarkan akan kondisi sosial yang jauh dari kata ideal. Bisa saja dikemas secara jenaka agar bisa dinikmati sembari tertawa, atau penuh pesan satir menohok untuk menggoyang ego penguasa.

Lawrence Kramer, dalam buku Walt Whitman and Modern Music: War, Desire, and the Trials of Nationhood (2000), menulis bahwa lagu protes memainkan peran penting dalam menggerakkan masyarakat, khususnya saat terjadi gerakan sosial. Ini adalah bentuk penolakan sosial yang bertujuan untuk "meningkatkan kesadaran", membantu melawan perang dan penindasan, serta meningkatkan rasa simpati terhadap mereka yang tertindas. Sejarah mencatat bahwa lagu protes pertama dibuat oleh seorang pendeta bernama John Ball, ketika kaum petani di seantero Kerajaan Inggris memberontak atas penerapan pajak selangit pada tahun 1381.

Di era modern, lagu-lagu protes mulai populer di Amerika Serikat pada dekade 1960-an. Minat terhadap lagu-lagu yang berkaitan dengan perubahan sosial dari musisi dan grup musik pengusung corak hip-hop, rap, reggae, dan rock meningkat seiring waktu. Dari seberang Samudra Atlantik, tepatnya di Inggris, Sex Pistols dan The Clash pada pertengahan dekade 1970-an membawa genre punk yang lebih galak dan penuh energi.

1. Sejak terbentuk pada 2009, BDTA lantang berbicara tentang fenomena sosial di Makassar dan sekitarnya

Band hardcore punk asal Makassar, Build Down to Anathema (BDTA), saat tampil di pelataran Gedung Baruga Andi Pangerang Pettarani Universitas Hasanuddin pada tahun 2013. (Instagram.com/builddowntoanathema)

Lagu bermuatan protes juga menjadi nyawa banyak penyanyi dan grup musik di Indonesia sejak dekade 1980-an, mulai dari Iwan Fals hingga yang terbaru yakni Sukatani. Di Makassar sendiri ada Build Down to Anathema (BDTA), unit hardcore yang tergolong senior. Grup musik yang lahir pada dekade 2000-an akhir tersebut lantang berbicara tentang fenomena sosial di Kota Daeng dan sekitarnya.

Mereka percaya bahwa musik tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tapi juga sebagai medium untuk merefleksikan realitas sosial. Misalnya minialbum pertama mereka, Eksistensi (2012), lahir dari proses pembelajaran mendalam tentang fenomena penggusuran yang marak terjadi tahun 2011 hingga 2013.

"Kalau lagu-lagu di album pertama itu latar belakangnya kami mempelajari isu yang ada di Makassar dengan baik. Beberapa kami terlibat sebagai individu, beberapa tidak," ungkap Radit, penggebuk drum Build Down to Anathema, saat menjawab pertanyaan IDN Times pada Rabu (5/3/2025).

Setelah kembali dari masa vakum pada 2023, BDTA membuat karya-karya yang lebih personal tapi tetap sarat makna. Lagu "Dedikasi" (2023) menjadi simbol romantisasi perjalanan mereka, sementara "Pesisir" yang juga rilis tahun 2023 merupakan respons mereka atas kondisi Pantai Losari terkini.

"Lagu 'Pesisir' kami anggap sebagai wujud dari kesadaran kritis kami tentang perubahan lansekap Pantai Losari, tempat yang kita semua kenal dan tahu sejarahnya. Namun sayangnya tidak banyak dari kita yang mau membicarakan fenomena perubahan tata ruang sehingga berdampak ke warga sekitar dan pengunjung umum," jelas Radit.

2. Musik bagi BDTA hanya ekspresi seni, tapi juga bentuk partisipasi memperjuangkan keadilan

Para personel band hardcore punk asal Makassar, Build Down to Anathema, dalam sebuah sesi rekaman pada Januari 2023. (Instagram.com/builddowntoanathema)

Proses kreatif BDTA sendiri didasarkan pada diskusi intens antarpersonel. Diskusi ini menjadi wadah untuk mengolah informasi dan fakta sosial menjadi lirik yang kuat. Dengan mengangkat fakta sosial ke dalam karya, mereka merasa lagu-lagu ini akan lebih relevan dan berdampak.

"Kebanyakan pengetahuan kami tentang suatu hal dan menjadi lagu itu hasil dari diskusi sesama personel, biasanya dipandu oleh saya dan Udi (bass), kemudian direvisi dan disepakati jika dianggap telah rampung," ungkap Radit.

"Kami percaya jika mengangkat fakta sosial ke dalam sebuah lagu itu menambahkan kekuatan tersendiri pada karya lagu itu dibandingkan karya lagu itu sebuah perumpamaan, fiksi, atau bahkan hal yang tidak terjadi di masyarakat," tegasnya.

Berdiri di samping keadilan menjadi cara Radit menggambarkan haluan BDTA. Sejak pertama kali berdiri, mereka rutin mempelajari akar penyebab penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar mereka. Dengan demikian, musik bagi mereka bukan hanya ekspresi seni, tapi juga bentuk partisipasi memperjuangkan keadilan.

"Masa-masa itu kami membaca banyak hal tentang mengapa penindasan terjadi, apa latar belakangnya, dan ternyata kami mengenal bentuk-bentuk solidaritas masyarakat yang lahir secara organik berupaya menjawab ketidakadilan yang terjadi pada saat itu," cerita Radit.

"Hal itu yang mendasari kami merumuskan lagu. Kami tidak dapat melepaskan fakta sosial yang terjadi dari proses kreatif kami dalam berkesenian atau berkarya," sambungnya.

3. Musik non-mainstream menjadi tempat di mana ekspresi bebas berkembang.

Ilustrasi musik, bermain drum. (Unsplash.com/Aliane Schwartzhaupt)

Ada satu benang merah yang mungkin bisa ditarik. Lagu-lagu protes era modern kerap berasal dari ranah non-mainstream (bukan arus utama), dan sekarang didominasi oleh para grup musik pengusung punk, hardcore dan turunannya. Ini berangkat dari pandangan bahwa corak musik non-mainstream menjadi tempat di mana ekspresi bebas berkembang. Ini memberi ruang bagi para musisi untuk menyuarakan ketidakpuasan dan menyampaikan pesan-pesan protes yang mungkin tidak diterima di ranah arus utama.

Dikotomi pun lahir, musik arus utama menjadi ejawantah kenyamanan penuh rasa abai, serta non-mainstream (acap dilabeli underground) yang masih merasakan langsung derita masyarakat. Ini senada dengan pendapat filsuf dan musikologis asal Jerman, mendiang Theodore Adorno, dalam sebuah esainya. Secara pedas ia mencibir musik yang lahir dari industri bukanlah seni murni.

Adorno menyebut bahwa semua hal yang lahir dari industri membuat orang patuh, tanpa tahu mengapa atau apa yang mereka patuhi. Lantaran mengejar keuntungan alih-alih kualitas atau kebenaran, produknya tidak memberi kebebasan tapi justru mengendalikan orang.

Namun, banyak kasus di mana lagu hasil industri (mainstream) justru berhasil membangkitkan kesadaran sosial. Di Amerika Serikat ada "The Times They Are a-Changin'" (1964) oleh Bob Dylan yang menjadi anthem Flower Generation. Lalu ada "This is America" (2018) dari Childish Gambino berisi isu rasial dan kekerasan bersenjata. Indonesia sendiri punya "Bongkar" (1989) milik supergrup Swami, salah satu lagu dalam album Swami I yang terjual sekitar satu juta kopi.

4. Musik independen mulai berkembang di Makassar pada dekade 1990-an

Para penonton yang menyaksikan penampilan band hardcore asal Jakarta, Straight Answer, dalam Rokbang Rua yang berlangsung di Gedung Auditorium RRI Makassar pada 15 Oktober 2022. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Musik non-mainstream, atau lebih beken dengan terma indie (singkatan dari "independent") baru menjamur di Indonesia pada dekade 1990-an. Tak cuma lantaran sebagai dampak dari globalisasi, tapi ini adalah reaksi kemarahan anak-anak muda atas batasan-batasan dan sentralisasi yang diterapkan rezim otoriter Orde Baru.

Tak pelak muncullah grup musik yang mengusung death metal, hardcore atau punk rockĀ wara-wiri di panggung kecil (gig) atau festival musik kampus. Mereka kemudian mendampingi riak-riak pergerakan mahasiswa sebab sama-sama menentang segala bentuk pengekangan.

Fenomena tersebut juga terjadi di Makassar. Anwar "Jimpe" Rachman dalam buku Rock in Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar (2021) menulis bahwa banyak band indie yang lahir dari komunitas berbasis genre musik. Salah satunya Death Vorum (disebut band death metal pertama di Makassar) lahir dari Immortal Sickness Comunitas tahun 1996.

Dari barisan punk, Anwar menghimpun sejumlah nama yang saat itu mencuat pada pertengahan dekade 1990-an tapi dalam skala kecil. Antara lain Sex Punk, The Hotdogs, Bombstoze dan No Name. Dua nama pertama masih rutin meramaikan gigs dan panggung festival hingga detik ini. Komunitas punk pun menjamur dan terbagi berdasarkan tempat berkumpulnya, seperti Hartaco Punk Chaos (BTN Hartaco Indah) dan Minasa Upa Punx (BTN Minasa Upa).

Beberapa ajang menjadi tempat band-band "bawah tanah" tersebut unjuk gigi. Yang pertama yakni Makassar Underground Mini Concerts (MUMC) di akhir 1997, lalu dilanjutkan estafetnya oleh Total Underground serta No Control yang sempat terselenggara hingga beberapa edisi.

5. Minialbum pertama BDTA, Eksistensi, yang rilis pada 2012 berisi lagu-lagu perlawanan

Build Down to Anathema pun lahir di dalam kelompok pencinta musik. Radit bercerita bahwa saat itu para personel menjadi anggota sebuah komunitas metal yang basisnya berada di ujung selatan Jalan Cendrawasih. Mereka pun sepakat membentuk grup musik hardcore pada akhir tahun 2009.

"Ide ajakan membuat band ini diawali oleh Udi (bass), kemudian mengajak Eca (gitar) dan Ippank (gitar) serta mendapuk Iccand Death (vokalis) sebagai personilnya. Posisi drum diisi oleh Andre Tjefuk, tapi tidak beberapa berselang karena kesibukan dan lain hal akhirnya digantikan oleh saya," cerita Radit.

Mereka sempat merekam beberapa lagu. Tapi di tengah proses, Iccand mengundurkan diri karena pekerjaan dan urusan lain, dan kemudian diganti oleh Dwi. Formasi inilah yang melahirkan minialbum debut bertajuk Eksistensi. EP tersebut berisi enam lagu bertema pelawanan. Antara lain "Serangan Telak", "Satu Kepalan" dan "Serangan Telak." Pemilihan hardcore sebagai corak musik yang diusung pun bukan kebetulan.

"Proses pengerjaan album tidak dapat dipisahkan dari genre musik hardcore yang memiliki pondasi musik punk yang sangat kuat, serta latar belakang personil masing-masing menentukan topik dan tema yang dipilih," jelas Radit.

Semangat underground sendiri diakui menjadi fondasi utama BDTA. Mereka tumbuh dan berkembang di skena yang mandiri, di mana gigs dan acara musik diorganisir secara swadaya.

"Kami merasa berkarya di dunia seperti ini (skena underground), justru menumbuhkembangkan semangat kebersamaan. Hal seperti itu terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan membuat gigs atau event musik secara mandiri meski beberapa hal meninggalkan pekerjaan rumah yang besar dalam mengorganisir gigs independen dengan semangat 'maju bersama'," ungkapnya.

6. Sempat vakum beberapa tahun, BDTA akhirnya kembali berkarya pada tahun 2023

Penampilan grup musik hardcore punk asal Makassar, Build Down to Anathema (BDTA) di hari kedua Prolog Fest 2022 yang berlangsung di Pantai Akkarena Makassar, 11 November 2022. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Perjalanan BDTA sendiri tidak selalu mulus. Selain berulang kali mengalami proses bongkar-pasang personel, mereka sempat mengalami vakum berkarya yang cukup lama yakni dari tahun 2016 hingga 2023. Tapi, semangat Radit dan kawan-kawan untuk terus berkarya tak pernah padam. Sejak comeback, basis pendengar mereka semakin banyak lantaran rutin tampil di helatan musik.

"Hal ini tentunya pernah menjadi tantangan dan pertanyaan besar perihal keberlanjutan dan keberlangsungan masa depan band ini. Syukurnya masa itu telah dilalui dan menjadikan kami sebagai band dengan pengalaman yang cukup adaptif dan resilien di situasi sulit tertentu," cerita Radit.

Setelah hiatus, BDTA kembali mengalami perubahan formasi. Posisi Dwi di vokal diganti ke Fajar, dan Ippank yang sudah memperkuat band sejak terbentuk pada 2009 diganti oleh gitaris post-hardcore Paniki Hate Light yakni Endi.

"Formasi ini merupakan jawaban dari berbagai keresahan yang terjadi. Baik sebagai bahan bakar karya maupun cita-cita dan harapan untuk terus tumbuh dan berkembang bersama teman-teman band hardcore lainnya," jelas Radit tentang hal ini.

Berbicara tentang penghidupan, para personel BDTA memiliki latar belakang yang beragam. Ada yang berprofesi sebagai dosen, pebisnis, fotografer profesional dan karyawan swasta di bidang keuangan. Tapi, kesamaan mereka adalah mengalami atau menyaksikan sendiri bagaimana band tersebut tumbuh seiring waktu. Kendati sibuk, kelimanya berkomitmen untuk tetap berkarya. Sejak kembali dari hiatus pada 2023, BDTA telah merilis empat single. Yang terbaru yakni "Amarah" yang dilepas pada September 2024, di mana mereka berduet dengan rapper muda OG Avamato.

"Kami merasa komitmen kami pasca comeback dan merilis beberapa lagu adalah tanggung jawab ke pribadi kami masing-masing agar tetap konsisten di tengah kesibukan bersama keluarga dan pekerjaan," kata Radit.

"Salah satu cara ampuh minimal sebulan sekali kami ngopi dan nongkrong bareng di kedai kopi favorit kami hanya untuk membicarakan hal-hal umum dan sederhana. Itu terbukti ampuh memantik rasa haus kami akan lagu-lagu baru nantinya," sambungnya.

Dalam menyebarkan karyanya, BDTA beradaptasi sesuai perkembangan teknologi. Saat merilis EP Eksistensi, mereka mencetaknya dalam rilisan fisik CD sebanyak 80 pcs sembari memasarkannya via platform khusus musisi yakni Bandcamp dan ReverbNation. Tapi setelah kembali aktif dari hiatus, platform digital seperti Spotify serta Apple Music menjadi tempat mereka mengunggah karya serta menawarkan merchandise eksklusif di setiap masa perilisan.

7. BDTA pernah mendapat intimidasi saat manggung beberapa tahun yang lalu

Band indie yang lantang menyuarakan isu sosial dalam karya-karyanya sendiri rentan mengalami intimidasi. Kejadian tak mengenakkan ini dialami oleh grup musik punk/new wave asal Purbalingga yakni Sukatani. Band yang beranggotakan Poison Girl (vokalis) dan Electroguy (gitar) ini korban intimidasi beberapa anggota kepolisian atas lagunya yang berjudul "Bayar Bayar Bayar" bulan lalu.

BDTA sendiri pernah mengalami ancaman dengan senjata tajam beberapa tahun lalu saat manggung di sebuah daerah di Sulawesi Selatan. Radit dan kawan-kawan sampai sekarang tidak tahu menahu sebabnya. Beruntung, si pembuat onar tak sampai berbuat hal yang membahayakan para personel.

"Waktu itu di Soppeng sekitar tahun 2012 atau 2013 mungkin, kami diancam oleh orang tidak dikenal di tengah penampilan. Orang itu mengeluarkan parang dan mengucap kata-kata ancaman kepada kami, meski kami tidak dengar begitu jelas karena situasi sedang kacau dan ribut," cerita Radit.

"Tepatnya, kami tidak tau apa sebab musabab kami diancam seperti itu. Apa karena lirik lagu? Atau hal yang lain? Itu tidak terjelaskan pasti karena pelaku segera diamankan oleh crowd dan menghilang sepanjang acara," sambungnya.

Karya-karya terbaru BDTA yang tetap lantang menyoroti isu sosial di Makassar pun berujung pada respons dingin dari sahabat karib. Padahal, mereka sudah konsisten dengan isu yang diangkat dalam karya-karya selama lebih dari satu dekade.

"Kami juga mengalami perubahan sikap dari beberapa teman dekat kami usai merilis lagu 'Pesisir' yang dianggap terlalu keras dan mengancam beberapa pihak tertentu. Tentunya kami menjelaskan latar belakang reklamasi itu dan seberapa berbahayanya dampak sosio-ekologisnya terhadap orang-orang," tegas Radit.

Kendati demikian, Radit menyebut BDTA beruntung memiliki basis penggemar yang solid di skena mereka sendiri. Setiap isu yang mereka angkat mendapat dukungan dari para pendengar karena dianggap penting. Solidaritas di antara komunitas musik Makassar juga menjadi kekuatan bagi mereka.

"Sejauh ini kami bisa dibilang lebih sering bermain di skena kami sendiri jadi bisa dibilang lagu-lagu kami lebih banyak yang mendukung daripada yang mengancam atau bahkan mencibir," ungkapnya.

"Syukurnya skena hardcore punk di kota Makassar sedang mengalami pertumbuhan yang sangat positif beberapa tahun belakangan ini. Setiap skena musik pasti memiliki mekanisme solidaritasnya masing-masing dengan bentuk berbeda-beda tentunya," imbuh Radit.

8. Pembungkaman terhadap karya seni disebut tidak sesuai dengan ciri sebuah peradaban

Gitaris Sukatani Electroguy (kanan) dan vokalis Poision Girl (kiri) saat tampil pada konser Crowd Noise di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (23/2/2025) malam. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/nz

Kasus band Sukatani yang mendapat tekanan karena lirik kritis mereka menjadi sorotan bagi BDTA. Radit menegaskan bahwa pembungkaman terhadap karya seni tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dengan ciri sebuah peradaban. Ia juga mengkritik reaksi aparat terhadap lagu "Bayar Bayar Bayar" milik Sukatani.

"Seharusnya pembungkaman terhadap karya seni tidak pernah terjadi di negeri dengan peradaban yang maju. Seni itu menghaluskan perasaan dan mempertajam empati. Tidak ada hal yang tercela dari kedua dampak seni terhadap tumbuh kembang manusia itu," tegasnya.

"Kami justru heran dan kaget ternyata ini berdampak, dan berhasil membuat lembaga kepolisian negara Konoha tersinggung, malu, atau bahkan offended by the song (tersinggung oleh lagunya)," seloroh Radit.

Radit melihat kasus ini sebagai bukti bahwa musik punk ternyata masih relevan sebagai wadah perlawanan. Mereka menilai lagu tersebut sangat berciri khas punk yakni sederhana, jujur, dan apa adanya, serta mencerminkan fakta sosial yang terjadi di masyarakat. Ia bahkan menyebut fenomena polisi nakal justru harus menjadi bahan pembicaraan.

"Kami berterimakasih kepada blunder kepolisian negara Konoha dan video klarifikasi band Sukatani yang membuktikan bahwa punk bisa dapat kembali menjadi jalan hidup yang lebih cerah di tengah gelapnya negeri Konoha saat ini," ungkap Radit.

9. Personel BDTA mengaku prihatin pada masalah perizinan dan pajak di kancah musik

Band hardcore punk asal Makassar, Build Down to Anathema (BDTA), saat tampil di sebuah festival musik pada Juni 2023. (Instagram.com/builddowntoanathema)

Selain itu, BDTA pun menyebut lagu Sukatani lainnya yakni "Semakin Tua Semakin Punk" sangat menggambarkan kehidupan para personel. Setelah sibuk dengan berbagai urusan di pekerjaan dari pagi hingga sore, mereka tetap menyempatkan diri nge-gigs.

"Sekali lagi, 'Semakin Tua Semakin Punk' juga kami rasakan. Kami mendapati diri kami di usia ini bersiap meluncur ke gigs dengan pakaian dan seragam batik kantor masih di badan. Kehidupan gigs dan semangat punk ini begitu indah terasa. Seperti merawat kewarasan di tengah kegilaan yang akut terjadi di berbagai tempat yang disebabkan oleh oknum," ungkap Radit.

Selain isu kebebasan berekspresi, BDTA juga menyoroti kondisi industri musik Indonesia, khususnya di Makassar. Mereka berharap industri musik dapat lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan para pelaku seni. Dua hal yang menjadi sumber kekhawatirannya adalah perizinan dan pajak lantaran dianggap kerap menghambat karier musisi independen. Radit menyebut bahwa usaha kreatif ini sering kali digeneralisir dengan kelompok usaha yang memiliki modal lebih besar dan lebih kuat.

"Industri harus adaptif dong. Maksudnya industri harus menjawab tantangan pelaku usahanya sendiri," jelas Radit.

"Banyak pesimisme di tengah kegelapan negara bahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota saat ini. beberapa kawan menuntut keringanan pajak dan mekanisme perizinan usaha pertunjukan musik dipermudah. Tapi, kenyataannya situasi juga tidak berubah dan terkesan kucing-kucingan," sambung.

BDTA menekankan pentingnya kemandirian dan solidaritas di antara para musisi. Tak cuma untuk keberlanjutan ekosistem, tapi juga untuk mendapat apresiasi yang terasa mahal.

"Kami hanya bersandar pada kekuatan kawan-kawan yang selalu berupaya mandiri dalam pengorganisiran gigs dan menghadapi masalah-masalah dengan berani dan lapang dada," ujar Radit.

"Kepada mereka, kami berdoa semoga setiap keringat dan lelahmu dalam mengupayakan gigs underground bernilai pahala kebaikan berlipat-lipat di hadapan Allah SWT," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
Ach. Hidayat Alsair
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us