Kata Sosiolog soal Marak Warga Makassar Tolak Rapid Test

Masyarakat tidak mendapat informasi utuh terkait COVID-19

Makassar, IDN Times - Penolakan segelintir warga terhadap pemeriksaan cepat atau rapid test marak terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan, belakangan ini. Di media sosial banyak beredar foto warga memblokir jalan dan membentangkan spanduk menolak tes terkait COVID-19.

Pada Sabtu (6/6) lalu, warga di Kelurahan Paranglayang, Kecamatan Bontoala, menolak kedatangan petugas berpakaian hazmat yang ingin menggelar rapid test di puskesmas. Warga tidak ingin ada orang yang dijemput untuk isolasi jika hasilnya reaktif.

Sosiolog Universitas Hasanuddin Dr M. Ramli AT menilai itu sebagai fenomena baru yang muncul di tengah masyarakat. Warga menyikapi beragam informasi terkait penanganan COVID-19 oleh pemerintah.

"Ini banyak sekali, multifaktor ini penyebabnya. Sebenarnya kalau dirunut dari awal, sejak awal, masyarakat ini sudah terstigmatisasi sedemikian rupa, seperti penderita COVID-19 itu dipandang sebagai sesuatu yang tercela, semacam aib," kata Ramli kepada IDN Times, Senin (8/6).

Baca Juga: IDI Makassar Bantah Tudingan Dokter Untung karena Tangani Corona

1. Masyarakat takut jika dikategorikan ODP COVID-19

Kata Sosiolog soal Marak Warga Makassar Tolak Rapid TestSuasana rapid test di Makassar, Kamis (23/4). Humas Pemkot Makassar

Ramli menganggap penanganan COVID-19 oleh pemerintah sudah menjadi momok di masyarakat. Selain menakutkan, masyarakat disebut cenderung berpikir bahwa jika mereka dianggap sebagai penderita COVID-19, secara otomatis, pola interaksi di lingkungan akan terbatasi.

"Akibatnya, orang menghindar apabila disebut sebagai penderita COVID-19. Padahal sebenarnya, mestinya misi untuk mensosialisasikan orang yang terpapar itu, bagaimana supaya mereka membuka diri. Orang kan tidak mau disangka sebagai penderita COVID-19, akhirnya menghindar," kata Ramli.

Menurut Ramli, seharusnya masyarakat bisa lebih membuka diri. Supaya mereka bisa lebih banyak mengetahui informasi atau pengetahuan valid tentang COVID-19, dan di lain sisi petugas kesehatan bisa mendeteksi dan mencegah agar penularan tidak semakin meluas.

2. Penolakan juga berhubungan dengan faktor ekonomi

Kata Sosiolog soal Marak Warga Makassar Tolak Rapid TestSalah seorang warga di Makassar menerima paket bantuan, Selasa (21/4). Humas Pemkot Makassar

Di sisi lain, Ramli menilai penolakan masyarakat terhadap rapid test atau pemeriksaan lain terkait COVID-19 ada kaitannya dengan latar belakang ekonomi. Misalnya pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika pemeriksaan digelar tanpa sosialisasi, masyarakat akan bereaksi menolak.

Kondisi itu diperparah keterbatasan dan simpang siurnya informasi di masyarakat. Misalnya, ada anggapan yang mengemuka bahwa rapid test bisa berujung karantina, meski kondisi fisik baik-baik saja.

"Itu terutama banyak terjadi pada kelompok-kelompok miskin. Apalagi kalau misalnya, dia merupakan pekerja utama dalam rumah tangga. Misalnya yang diperiksa adalah bapak," kata Ramli.

Karena situasi itu, masyarakat menimbulkan kesadaran untuk kompak menolak pemeriksaan di wilayahnya.

"Mereka manggap bisa jadi kalau itu sebuah ancaman. Ini sebenarnya yang mesti diperbaiki oleh yang berwenang," tutur Ramli.

Baca Juga: Tolak Petugas Rapid Test, Warga di Makassar Blokir Jalan

3. Pola penyampaian informasi terkait COVID-19 ke masyarakat seharusnya bisa lebih jelas

Kata Sosiolog soal Marak Warga Makassar Tolak Rapid TestPj Wali Kota Makassar Yusran Jusuf meninjau rapid test di Paotere Makassar, Rabu (3/6). Humas Pemkot Makassar

Menurut Ramli, fenomena ini seharusnya sudah disadari sejak awal dan dijadikan bahan evaluasi oleh pemangku kebijakan. Pemerintah harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat soal penanganan COVID-19. Misalnya soal rapid test yang bukan menjadi penentu seseorang terpapar virus corona atau tidak.

Masyarakat harus dipastikan sudah paham sebelum petugas turun ke lapangan. Ramli menilai selama ini pemerintah dan petugas kesehatan juga kadang tidak sinkron dalam memberikan pernyataan, termasuk soal antisipasi penularan COVID-19.

"Tidak usah banyak-banyak, misalnya tenaga medis, ahli virus dan yang lainnya, bisa memberikan keterangan berbeda. Akhirnya itu berdampak pada pemahaman masyarakat. Itu yang bisa menyebabkan kerancuan pemahaman," katanya.

Ramli menyebut, bahwa terjadi distorsi atau kerancuan informasi yang diterima oleh masyarakat. Sehingga, dengan pengetahuan yang cukup terbatas, masyarakat dibiarkan sendiri untuk mengolah dan menganalisis informasi terkait penanganan COVID-19. Pada akhirnya, masyarakat terlanjur berpandangan seragam bahwa, penanganan COVID-19 dapat mengancam kehidupan mereka yang terpapar.

"Masyarakat akhirnya mencari informasi mengenai kepentingannya saja. Ada semacam sosiologi pengetahuan, bahwa ada sesuatu pengatahuan liar yang tumbuh di kalangan masyarakat," dia menjelaskan.

Ramli yakin, apabila pola komunikasi, edukasi ke masyarakat ini bisa diperbaiki, fenomena penolakan warga terkait COVID-19 dengan sendirinya akan tuntas. Dengan begitu, upaya pemerintah untuk menekan laju penularan bisa berjalan dengan maksimal.

Baca Juga: Lagi, Keluarga Ambil Paksa Jenazah PDP dari Rumah Sakit di Makassar 

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya