KAKS Unhas Jabarkan Gawatnya Kekerasan Seksual Selama Pandemik

Sejumlah jenis kasus kekerasan di ranah daring melonjak

Makassar, IDN Times - Pandemik COVID-19 di tahun 2020 tak cuma jadi mimpi buruk bagi jutaan penduduk dunia. Untuk perempuan yang kerap menerima tindak kekerasan dan pelecehan seksual, masa di rumah saja tak ubahnya neraka. Beberapa daerah melaporkan peningkatan kasus memilukan tersebut dibanding 2019, termasuk Sulawesi Selatan.

Bahasan tersebut jadi benang merah dalam webinar yang diselenggarakan Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Universitas Hasanuddin pada Sabtu kemarin (28/8/2021). Mengangkat topik "Sexual Harassment During Pandemic: Bentuk Kasus dan Respons Kebijakan Negara", gelar wicara yang berlangsung via Zoom itu diikuti sekitar 55 peserta dari berbagai lembaga dan universitas.

Hadir sebagai pembicara yakni anggota KAKS Unhas Siti Khafidzah Mufti, Andiani Sharfina sebagai pengacara Kolektif Advokat Keadilan Gender, dan Mira Amin dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

1. Selama 2020, aduan Kekerasan Berbasis Gender Online yang diterima Komnas Perempuan meningkat drastis

KAKS Unhas Jabarkan Gawatnya Kekerasan Seksual Selama Pandemikilustrasi media sosial (pexels.com/ Tracy Le Blanc)

Membuka webinar, Siti Khafidzah Mufti kembali mengulang data Komnas Perempuan pada 2020 yang menyebut bahwa terjadi penurunan signifikan untuk kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI) dan Kekerasan yang Dialami Anak Perempuan (KDAP). Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) juga turun meski tidak drastis.

"Yang harus diperhatikan, ada unsur-unsur lain yang mempengaruhi. Selama pandemi, mobilitas istri dan anak perempuan kalau dibandingkan dengan pacaran pasti sangat jauh," ungkap Icha kepada para peserta.

"Alasannya, KTI dan KDAP, mereka mungkin tinggal dan hidup bersama si pelaku. Sehingga mobilitas keluar rumah sangat berkurang atau bahkan tidak ada," imbuhnya.

Namun, ada fakta memilukan. Selama 2020 juga, Komnas Perempuan dan lembaga hukum lain mengakui terjadi peningkatan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Contohnya pihak Komnas melaporkan pihaknya menerima aduan KBGO sebanyak 329 kasus, jauh lebih banyak ketimbang 2019 yang mencapai 35 laporan.

2. Ada beberapa hal yang membuat korban enggan melapor, mulai dari rasa takut hingga kemungkinan malah dijerat pasal lain

KAKS Unhas Jabarkan Gawatnya Kekerasan Seksual Selama PandemikTangkapan layar webinar bertopik "Sexual Harassment During Pandemic: Bentuk Kasus dan Respons Kebijakan Negara" yang diselenggarakan Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Universitas Hasanuddin pada Sabtu 28 Agustus 2021. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Icha menjelaskan bahwa banyak korban kasus KBGO ini memilih diam dan tidak melaporkan apa yang mereka alami. Posisi mereka kian rentan sebab bisa diperas dan dicemarkan oleh para pelaku bejat nan manipulatif. Ada dua alasan kenapa mereka memilih bungkam, dengan risiko tak tertanggungkan.

"Pertama, karena takut atau malu. Karena kalau kekerasan seksual dibawa ke jalur hukum, atau menyangkut instansi besar seperti kampus atau kantor, hingga suatu lembaga, besar kemungkinan korban akan terekspos," paparnya.

Menurut Icha, budaya menyalahkan korban masih sangat kuat di Indonesia. Upaya para korban bersuara atau mencari keadilan malah berbalik membuat mereka dipersalahkan.

"Kedua, besar kemungkinan korban malah dijerat UU yang lain. Maksudnya melapor karena jadi korban KBGO, ternyata saat melapor malah jadi pelaku terjerat, contohnya UU ITE atau UU Pornografi," imbuh Icha.

Selain itu, penyelesaian masalah ini pun oleh penegak hukum acapkali tidak mempertimbangkan kondisi psikis atau pendapat korban sebagai sebuah variabel penyelesaian kasus. "Untuk KBGO, tuntutan korban malah tidak diperdulikan dan tidak melihat efek yang ia rasakan," pungkasnya.

3. Dari sisi advokat, mereka masih sering mendapati oknum penegak hukum yang justu memojokkan korban

KAKS Unhas Jabarkan Gawatnya Kekerasan Seksual Selama PandemikIlustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Berbicara dari sudut pandang advokat, Andiani Sharfina sepakat bahwa budaya patriarki yang mengakar kuat kerap membuat posisi korban justru kian tak menguntungkan. Sebagai pengacara, ia tak jarang menemui hal tersebut.

"Blaming victim dan konstruksi sosial patriarki tidak ada habis-habisnya. Itu membuat penanganan kasus di jalan itu sebagai rintangan, tapi bukan berarti tidak bisa dilalui," tutur pengacara yang kini menetap di Jakarta tersebut.

"Termasuk juga ketika penegak hukum tidak berperspektif pada korban, tidak berperspektif gender, menyalahkan korban. Bahkan dari pengalaman saya, pertanyaan yang memojokkan pun dilayangkan oleh oknum aparat penegak hukum yang tidak mengutamakan itu semua," tambah Andiani.

Dengan pengalaman sebagai pendamping, Andiani menyebut bahwa penting untuk tahu apa yang dibutuhkan korban pelecehan seksual. Ada faktor psikis jadi hal utama, lantaran pengalaman buruk akan selalu membekas dalam benak mereka.

"Kami pun selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan paling tepat. Ketika dia merasa pelaku harus dipidana, tapi kita harus pastikan dulu secara fisik dan psikis dia cukup kuat. Terutama biasanya layanan konseling yang duluan berjalan berdampingan dengan penanganan kasus," jelasnya.

Baca Juga: CPCD Unhas Bahas Benang Kusut Penanganan Terorisme di Indonesia

4. DPR harus mengesahkan RUU PKS

KAKS Unhas Jabarkan Gawatnya Kekerasan Seksual Selama PandemikDokumentasi - Desakan pengesahan RUU PKS dalam aksi Gejayan Memanggil di Yogyakarta pada 30 September 2019. (IDN Times/Pito Agustin Rudiana)

Mira Amin, dari LBH Makassar, sepakat bahwa pendampingan psikolog juga sama pentingnya dalam upaya mencari keadilan. Tapi hal tersebut kembali kepada korban. Pihak LBH Makassar sendiri bahkan siap dengan salah satu opsi atau keduanya, tergantung hasil asesmen awal.

Berbicara dalam lingkup lokal, Mira mengakui peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Makassar selama 2020. Ada 23 pengaduan diterima LBH Makassar, dan salah satunya dilakukan di ranah privat seperti dalam rumah dan orang terdekat seperti pasangan atau keluarga.

Meski begitu, penanganan pelecehan seksual di ranah privat diakui Mira punya banyak hambatan. Salah satunya saat berhadapan dengan perkara nama baik keluarga, yang ironisnya tak dipikirkan oleh pelaku saat melakukan aksi bejat kepada darah dagingnya sendiri.

"Di kasus terakhir, ada pelaporan pencabulan ayah kandung. Kita agak kesulitan menyelesaikan kasusnya jika berhadapan dengan keluarga inti," cerita Mira.

"Karena keluarga korban akan berupaya si korban tidak menceritakan perilaku ini ke siapa pun atau melanjutkan pelaporan dan diselesaikan ke pengadilan. Karena stigma soal aib dan membawa malu untuk keluarga itu harus diterima baik si korban atau keluarga," lanjutnya.

"Bahkan pernah ada kejadian secara sembunyi-sembunyi ibu korban itu melakukan perdamaian dengan ayah korban dan memanipulasi korban untuk tidak lagi melanjutkan laporan ke LBH Makassar dan mencabut kuasa secara sepihak," ungkapnya.

Dengan fakta-fakta tersebut, Mira berharap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bisa disahkan oleh DPR-RI. Alasan jika pembahasannya mandek karena alot dan penuh pro-kontra tentu berbanding terbalik dengan UU Cipta Kerja yang ditentang rakyat tapi tetap disahkan.

"Mungkin negara tidak melihat UU PKS tidak memberi keuntungan bagi negara, berbeda dengan Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Minerba," sindirnya.

Baca Juga: Penyandang Disabilitas di Sulsel Rentan Jadi Korban Kekerasan Seksual

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya