Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Wali Kota Makassar: Banjir Berulang Akibat Tata Ruang yang Buruk

Rombongan perwakilan pemerintah setempat melihat kondisi banjir menggunakan perahu di Perumnas Antang, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (12/2/2025). (ANTARA FOTO/Arnas Padda)
Intinya sih...
  • Wali Kota Makassar, Danny Pomanto, menyebut masalah banjir disebabkan minimnya daerah resapan air dan penataan ruang yang tidak optimal.
  • Sistem drainase dan aliran air di beberapa titik tidak optimal karena pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan.
  • WALHI Sulsel menyebut krisis lingkungan di Sulawesi Selatan adalah akibat berkurangnya tutupan hutan, wilayah resapan air yang terbatas, drainase buruk, dan meningkatnya sedimentasi sungai.

Makassar, IDN Times - Wali Kota Makassar, Moh. Ramdhan 'Danny' Pomanto, menegaskan persoalan utama banjir yang terus berulang di Makassar adalah masalah tata ruang. Dia menyebut minimnya daerah resapan air dan penataan ruang yang tidak optimal menjadi faktor utama bencana ini.

Ini menanggapi pernyataan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel). WALHI menyebut salah satu penyebab bencana banjir berulang di Makassar karena semakin terbatasnya wilayah resapan air. 

"Itulah tata ruang. Tata ruang itu kan menyangkut daerah resapan, daerah tangkapan air, daerah hijau, di mana pemukiman, DAS yang harus terlindungi itu tata ruang. Makanya saya bilang ini bencana tata ruang," kata Danny saat wawancara via telepon Jumat (14/2/2025). 

1. Masalah banjir tidak hanya karena faktor alam tetapi juga tata ruang yang kurang terencana

Warga melintasi banjir menggunakan perahu karet di Kelurahan Manggala, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (12/2/2025). (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Danny mengakui sistem drainase dan aliran air di beberapa titik tidak bekerja optimal karena pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan. Saluran air dari beberapa kawasan pemukiman justru bermuara di lokasi-lokasi yang rawan tergenang sehingga memperburuk kondisi saat hujan deras mengguyur. 

Sebelumnya Danny juga menegaskan hal yang sama saat meninjau lokasi banjir di Perumnas Antang Blok 8. Banjir di Antang menjadi perhatian serius mengingat kawasan ini sering terdampak saat curah hujan tinggi. Danny menegaskan masalah banjir tidak hanya karena faktor alam, tetapi juga tata ruang yang kurang terencana. 

"Sekali lagi saya sampaikan ini bencana alam dan bencana tata ruang. Dulu di sini tidak ada rumah, tidak banjir namanya, begitu ditinggali banjir, jadi (masalah) tata ruang," kata Danny. 

Dia lantas menegaskan bahwa masalah banjir tidak sepatutnya dihubungkan dengan kepemimpinan siapapun. Dia juga mengklaim selama kepemimpinannya, pembangunan perumahan yang tidak memiliki mitigasi banjir dilarang. 

"Alhamdulillah, zaman saya tidak perkenankan pembangunan perumahan yang tidak layak keamanan banjirnya," kata Danny. 

2. WALHI sebut banjir dan longsor di Sulsel akibat krisis lingkungan

Tim SAR mengevakuasi warga terdampak banjir menggunakan perahu karet di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (11/2/2025). (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Di sisi lain, WALHI Sulsel menilai banjir dan longsor yang berulang di sejumlah wilayah adalah akibat dari semakin kritisnya daya dukung lingkungan. Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulsel, Slamet, menyebut dalam 10 tahun terakhir, angka kejadian bencana di provinsi ini meningkat enam kali lipat.

"Di mana tahun 2014 tercatat hanya ada 54 kejadian angka bencana dan 2024 angkanya mencapai 362. Selain itu, kerugian yang dialami oleh masyarakat Sulawesi Selatan akibat bencana tahun lalu itu jumlahnya sangat fantastis yakni mencapai Rp1,95 triliun," ujar Slamet dalam siaran persnya, Kamis (13/2/2025).

Dia mengungkap penyebab utama krisis lingkungan di Sulawesi Selatan adalah berkurangnya tutupan hutan akibat aktivitas pertambangan, alih fungsi lahan, dan penebangan liar. Saat ini, luas tutupan hutan di provinsi ini hanya 1,35 juta hektare atau 29,7 persen dari total wilayah, yang menurut WALHI sudah masuk kategori kritis.

"Tercatat dari 139 DAS yang ada di Sulawesi Selatan hanya sekitar 38 DAS yang masuk dalam kategori sehat karena memiliki tutupan hutan di atas 30 persen. Sedangkan sisanya sebanyak 101 DAS atau 72,6 persen DAS yang ada di Sulawesi Selatan mengalami kritis," katanya. 

3. Wilayah resapan air semakin berkurang

Sejumlah warga berkumpul di depan rumah yang terendam banjir di Kelurahan Manggala, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (12/2/2025). (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Selain itu, wilayah resapan air yang semakin terbatas, drainase yang buruk, dan meningkatnya sedimentasi sungai juga menjadi faktor yang memperparah banjir. DAS Maros, misalnya, dalam 30 tahun terakhir telah kehilangan lebih dari 1.000 hektare hutan, yang berdampak langsung pada meningkatnya risiko banjir dan longsor di sekitarnya.

"Secara hidrologi hal ini berakibat pada meluapnya sunga-sungai di dua DAS yakni Maros dan Tallo. Masalah lainnya adalah wilayah resapan air yang semakin terbatas, drainase yang buruk, dan tutupan hutan di dua DAS ini semakin berkurang. Bahkan DAS Maros saja menunjukkan bahwa dalam 30 tahun terakhir luas hutannya mengalami penurunan sebesar 1.057,90 hektar," ucapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
Ashrawi Muin
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us