Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Royalti Musik, Musisi dan Penyelenggara Event: Harus Transparan

Dian TOD.jpg
Dian Mega Safitri, vokalis band ToD (Theory of Discoustic). (Dok. Pribadi)
Intinya sih...
  • Musisi tidak menuntut royalti lagu yang diputar tanpa izin
  • Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) belum memberikan perlindungan yang jelas bagi musisi di daerah
  • Penyelenggara event menyoroti kurangnya transparansi dan sosialisasi aturan royalti musik
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Makassar, IDN Times - Polemik royalti musik yang belakangan mencuat mendapat perhatian dari publik. Kalangan musisi dan pelaku event di Makassar juga turut menyampaikan pandangannya. 

Sistem royalti dinilai penting sebagai cara melindungi karya musisi. Namun di lapangan, penerapannya masih dipandang membingungkan dan minim transparansi.

Dian Mega Safitri, vokalis band ToD (Theory of Discoustic), menilai konsep royalti seharusnya menjadi bentuk apresiasi terhadap karya musisi. Dia menekankan bahwa tujuan awal sistem royalti sudah tepat, yakni memberi pemasukan bahkan bagi musisi yang tidak lagi aktif.

"Royalti bagus sebenarnya niatnya, bisa jadi salah satu sumber pemasukan walaupun misalkan musisinya sudah tidak aktif. Asalkan tidak dipermainkan. Royalti itu lebih ke menghargai karya musisi," kata Dian saat ditemui IDN Times, Jumat (29/8/2025).

1. Santai hadapi lagu diputar tanpa izin

Grup musik folk asal Makassar, Theory of Discoustic, saat tampil di Synchronize Fest 2023. (Instagram.com/todmusik)
Grup musik folk asal Makassar, Theory of Discoustic, saat tampil di Synchronize Fest 2023. (Instagram.com/todmusik)

Meski begitu, Dian mengaku masih sering mendapati lagunya diputar di kafe atau acara tanpa izin. Namun  bandnya memilih untuk tidak menuntut, selama ada penyebutan nama band sebagai bentuk kredit.

"Banyak sekali lagu kami dipakai, tapi kami persilakan asalkan ditulis judul lagunya, credit title-nya. Kami tidak meminta bayaran," katanya. 

Pernah suatu kali teman mengirim rekaman dari sebuah kafe yang memutar lagu miliknya lewat YouTube. Dia hanya bisa menanggapinya dengan santai, sebab di ranah digital pemutaran musik sulit dibatasi.

"Beberapa kali tapi kami cuek saja. Karena tidak terlalu berpikir itu kan. Biasa juga ada yang belakangan baru izin," katanya. 

Dian juga menilai peran Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) belum terasa bagi musisi di daerah. Menurutnya, banyak musisi yang masih berjuang sendiri tanpa perlindungan yang jelas.

"Harusnya sih bisa besar ya. Bisa melindungi. Kalau saya pribadi tidak terlalu melihat kontribusi LMKN. Karena kulihat teman-teman masih berjalan sendiri. Bagus juga kalau dikelola dengan baik," katanya.

2. Soroti transparansi dan sosialisasi royalti musik

Ardy Siji, pendiri festival tahunan Rock In Celebes. (IDN Times/Asrhawi Muin)
Ardy Siji, pendiri festival tahunan Rock In Celebes. (IDN Times/Asrhawi Muin)

Dari sisi penyelenggara acara, Ardy Siji, pendiri festival tahunan Rock In Celebes, menyoroti masalah transparansi dalam sistem royalti. Dia juga menilai sosialisasi aturan kepada pelaku event masih berjalan kurang efektif.

Dia menilai mekanisme pembayaran sebenarnya sudah ada, misalnya dengan menghitung dari jumlah tiket atau kapasitas venue. Namun masalah muncul ketika distribusi ke musisi tidak jelas.

"Kalau kami dari pelaku pertunjukan, pelaku event sih, kita selama ini secara aturan, secara undang-undang dan secara transparansinya jelas, ya kami pasti akan menyesuaikan. Selama ini itu sih karena mungkin memang belum jelas," ungkap Ardy.

Sosialisasi terkait aturan royalti dinilainya belum berjalan efektif. Pihak penyelenggara pun tidak mengetahui siapa yang bertanggung jawab maupun format sosialisasi yang diberikan.

"Akhirnya ketika muncul ketentuan- ketentuan ini, kami juga mungkin orang-orang tidak tahu kajiannya seperti apa kenapa muncul ketentuan atau kesimpulan seperti itu. Itu aja sih. Jadi sebenarnya balik lagi masalah komunikasinya semua," katanya.

3. Masih perlu banyak pembenahan

Pemandangan gerbang masuk menuju venue Rock In Celebes 2022 di Parking Lot Ambalat Trans Studio Mall Makassar. (Dok. Artefact.id)
Pemandangan gerbang masuk menuju venue Rock In Celebes 2022 di Parking Lot Ambalat Trans Studio Mall Makassar. (Dok. Artefact.id)

Menurut Ardy, banyak pelaku event sebenarnya sudah membayar royalti sesuai ketentuan, termasuk Rock In Celebes. Hanya saja, pertanyaan besar muncul dari pihak musisi yang menerima pembagian royalti dengan nilai yang tidak transparan.

"Kalau kita di event, selama ini cuma sharing dari harga tiket. Aturan-aturan itu sudah ada cuma akhirnya mungkin sekarang makin ramai karena yang menerima hasil dari pembayaran royalti tersebut adalah musisi, merasa tidak fair," jelasnya. 

Dia mengaku kendala utama terletak pada kurangnya keterbukaan mengenai mekanisme royalti. Distribusi, transparansi, dan perhitungan skema pembayaran masih belum jelas bagi penyelenggara.

"Itu aja masalah transparansi bagaimana skemanya. Bagaimana sosialisasinya, bagaimana pertanggungjawabannya. Itu aja," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us

Latest News Sulawesi Selatan

See More

Pria Lompat dari Jembatan di Bone Ditemukan Meninggal

04 Sep 2025, 09:11 WIBNews