Makassar, IDN Times - Sore itu, di salah satu titik di Jalan Abu Bakar Lambogo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), terlihat sejumlah perempuan sedang menyiapkan lapaknya untuk berjualan. Bukan lapak besar, hanya satu meja kecil untuk masing-masing penjual.
Di atas meja itu, mereka menata jualan yang terdiri dari aneka makanan ringan seperti cimol telur, pisang peppe, es buah dan sebagainya. Harganya sangat terjangkau yaitu hanya berkisar Rp5.000 per porsinya.
Cuaca di pertengahan September 2023 itu sangat cerah mengingat Makassar masih dalam kondisi musim kemarau. Suasananya pun tenang. Tak ada lalu-lalang kendaraan. Mereka telah memasang palang kayu agar kendaraan tidak melintas. Meski begitu, mereka tetap berjualan di tepi jalan secara berjajar seperti lokasi jajanan pada umumnya.
Para pedagang itu tampak semringah kala ada pembeli atau mereka yang sekadar singgah menanyakan jajanan apa saja yang dijualnya. Sesekali mereka juga saling bercengkrama satu sama lain. Sambil tersenyum tentu saja.
Namun siapa sangka, di balik senyum itu, ada perasaan was-was jikalau mereka dipaksa meninggalkan tempat itu. Mereka harus melawan pihak yang tiba-tiba mengklaim lahan milik warga dengan mengaku sebagai ahli waris pemilik tanah.
Mereka adalah warga yang bermukim di Jalan Abu Bakar Lambogo, Kelurahan Bara-baraya, Kecamatan Makassar. Lokasinya terbilang strategis karena masih berada di antara hiruk-pikuk keramaian Kota Makassar. Di balik itu semua, ada warga yang mencoba bertahan hidup di tengah konflik lahan dan ancaman penggusuran.