Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

KSPSI Sulsel: Ketimpangan Gaji Buruh Perempuan Terjadi Sejak Lama

Sebuah spanduk yang menyuarakan isu perburuhan dibentangkan sejumlah mahasiswa dalam aksi demo, Kamis (1/5/2025).(IDN Times/Cokie Sutrisno)
Sebuah spanduk yang menyuarakan isu perburuhan dibentangkan sejumlah mahasiswa dalam aksi demo, Kamis (1/5/2025).(IDN Times/Cokie Sutrisno)
Intinya sih...
  • Ketimpangan upah laki-laki dan perempuan terjadi secara signifikan, dengan rata-rata upah laki-laki Rp3,37 juta dan perempuan Rp2,61 juta.
  • KSPSI menyoroti diskriminasi upah yang dinilai sudah berlangsung lama, terutama di sektor industri pergudangan seperti di KIMA Makassar.
  • Perundingan perjanjian kerja masih didominasi oleh perwakilan buruh laki-laki, sehingga aspirasi pekerja perempuan sering kali tidak terakomodasi.

Makassar, IDN Times - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025 yang memperlihatkan ketimpangan upah antara buruh laki-laki dan perempuan masih terjadi secara signifikan. Rata-rata upah buruh laki-laki tercatat sebesar Rp3,37 juta, sementara buruh perempuan hanya Rp2,61 juta.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulawesi Selatan, Basri Abbas, menyebut kesenjangan ini bukan hal baru. Diskriminasi upah dinilai sudah berlangsung lama dan kerap ditemukan di sejumlah sektor, termasuk di kawasan industri pergudangan seperti di KIMA, Makassar.

"Ketimpangan itu memang terjadi sejak lama. Kita sudah sangat menyesalkan kepada pengusaha karena masih ada diskriminasi upah antara buruh laki-laki dan buruh perempuan. Di KIMA itu, rata-rata pekerja perempuan gajinya di bawah, malah ada di bawah UMK," kata Basri saat dihubungi via telepon, Minggu (18/5/2025).

1. Kritik pandangan yang mengaitkan perbedaan upah dengan produktivitas kerja

Ilustrasi wanita bekerja di pabrik (pexels.com/EqualStock IN)
Ilustrasi wanita bekerja di pabrik (pexels.com/EqualStock IN)

Basri mengkritik pandangan yang mengaitkan perbedaan upah dengan produktivitas kerja. Menurutnya, produktivitas kerap dijadikan alasan tanpa indikator yang jelas sehingga menimbulkan bias gender.

"Ada pekerjaan yang membutuhkan keahlian. Tapi saat keahlian itu dimiliki perempuan, sering tidak dihargai. Itu yang memang kita sesalkan selama ini," ucapnya.

2. Soroti belum adanya regulasi yang mengatur ketimpangan upah

ilustrasi pekerja migran (unsplash.com/EqualStock)
ilustrasi pekerja migran (unsplash.com/EqualStock)

KSPSI menyoroti belum adanya regulasi yang mengatur sanksi terhadap perusahaan yang membayar upah berbeda kepada pekerja laki-laki dan perempuan meskipun pekerjaannya setara. Menurut Basri, kekosongan hukum ini membuat serikat pekerja kesulitan mengadvokasi persoalan tersebut, terutama jika upah yang dibayarkan berada di atas UMK.

"Kalau di atas UMK, kita tidak bisa lagi mengintervensi karena regulasinya tidak ada. Kecuali di bawah UMK, biar laki-laki perempuan tidak boleh. Kan itu sudah masuk kekatanya. Cuma kan regulasi belum mengatur," katanya.

3. Perundingan perjanjian kerja bersama masih didominasi oleh perwakilan buruh laki-laki

Massa aksi Hari Buruh Internasional atau May Day memblokade Jl AP Pettarani Makassar, Kamis (1/5/2025). IDN Times/Darsil Yahya
Massa aksi Hari Buruh Internasional atau May Day memblokade Jl AP Pettarani Makassar, Kamis (1/5/2025). IDN Times/Darsil Yahya

Basri juga mengungkapkan bahwa perundingan perjanjian kerja bersama (PKB) masih didominasi oleh perwakilan buruh laki-laki. Maka tak heran jika aspirasi pekerja perempuan sering kali tidak terakomodasi.

"Rata-rata biasa yang ikut perwakilan laki-laki yang buat perjanjian kerja mewakili pekerjanya. Kan biasanya begitu, kecuali mungkin mayoritas perempuan pekerjanya, baru terwakili," katanya.

Basri menyarankan agar pemerintah daerah menerbitkan regulasi, bahkan peraturan daerah. Regulasi ini diharapkan bisa menjamin kesetaraan upah tanpa diskriminasi gender.

"Karena kewajibannya sama, baik laki-laki maupun perempuan, sama kewajiban pada perusahaan memberikan produktivitas. Kenapa upah harus berbeda?," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
Ashrawi Muin
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us