Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kritik Tak Bisa Dibungkam: Seperti Sukatani, Seni Adalah Perlawanan

Gitaris Sukatani Electroguy (kanan) dan vokalis Poision Girl (kiri) saat tampil pada konser Crowd Noise di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (23/2/2025) malam. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/nz
Intinya sih...
  • Sukatani, band punk/new wave asal Purbalingga, meminta maaf dan menarik lagu "Bayar Bayar Bayar" setelah dicekal.
  • Intimidasi oleh kepolisian membuat lagu tersebut semakin dikenal dan mendapat solidaritas dari berbagai pihak.
  • Pengamat musik Makassar menyebut dampak psikologis terjadi pada seniman, namun pembungkaman karya justru memicu reaksi kesenian yang tak kalah sengit.

Makassar, IDN Times - Musisi di seluruh Indonesia terhenyak pada Februari 2025 lalu. Sukatani, band punk/new wave asal Purbalingga, mengunggah video permintaan maaf di akun Instagram resmi mereka. Sembari menanggalkan topeng dan identitas anonim, mereka menarik salah satu lagu dari album Gelap Gempita (2024) yakni "Bayar Bayar Bayar" dari seluruh platform.

Meski dicekal, lagu yang mengkritik praktik pungutan liar tersebut oknum polisi nakal tersebut justru semakin dikenal banyak orang, menciptakan Streisand effect. Gelombang solidaritas datang dari berbagai pihak, termasuk sesama musisi. "Bayar Bayar Bayar" bahkan menjadi anthem tak resmi dari rangakaian aksi #IndonesiaGelap.

Duo yang terdiri dari Poison Girl (vokalis) dan Electroguy (gitaris) ini akhirnya angkat bicara melalui pernyataan tertulis pada Sabtu kemarin (1/3/2025). Mereka mengaku mengalami tekanan dan intimidasi dari kepolisian sejak Juli 2024. Dalam pernyataan yang sama, tawaran menjadi Duta Polisi pun ditolak mentah-mentah.

Di sisi lain, intimidasi Sukatani memicu diskusi luas mengenai kebebasan berkesenian di Indonesia. Apakah hanya sekadar omong kosong dan memang musisi dan seniman tak pernah benar-benar bebas?

1. Zulkhair menyebut bahwa setelah terjadi pembungkaman, karya-karya dari seniman yang dicekal justru makin banyak

Vokalis Sukatani, Poison Girl, saat tampil di konser Crowd Noise di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (23/2/2025) malam. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Untuk memahami lebih tentang dampak intimidasi yang dialami Sukatani, IDN Times mewawancarai Zulkhair Burhan. Ia adalah seorang pengamat musik Makassar dan salah satu pegiat perpustakaan komunitas Kedai Buku Jenny yang berdiri 14 tahun lalu.

Kepada IDN Times, ia menyebut bahwa dampak psikologis adalah yang paling mungkin terjadi dari upaya intimidasi. Seniman mungkin akan membatasi kreativitas mereka. Tapi, di sisi lain pembungkaman justru sering kali memicu reaksi kesenian yang tak kalah sengit.

"Saya kira dampaknya yang paling mungkin secara psikologis gitu teman-teman yang berkarya yang saya kira sejak reformasi mulai secara lugas bisa menyampaikan kritik sosial dalam bentuk apapun, dengan pembatasan ini bisa jadi akan membuat para seniman membatasi kreatifitasnya," ujarnya.

"Bisa jadi tidak lagi selugas sebelumnya dalam menyampaikan kritik. Tapi, kalau kita lihat fakta-fakta setelah praktek pembungkaman ini terjadi. Misalnya alih-alih meredup, justru karyanya semakin banyak," imbuh sosok yang biasa disapa Kak Bob tersebut.

2. Praktik pembungkaman di masa Reformasi seperti yang dialami Sukatani disebut terasa aneh

ilustrasi kritik (pexels.com/yan)

Lebih jauh, ia menilai dampak kasus Sukatani pada kebebasan kesenian tidak terlalu besar. Era media sosial memungkinkan informasi menyebar dengan cepat dan memicu reaksi publik nan masif dalam waktu singkat. Beda ceritanya jika ini terjadi di Orde Baru, di mana seorang musisi akan benar-benar merasa sendirian.

"Tapi kalau di era media sosial seperti sekarang. Praktek-praktek pembatasan atau pelarangan seperti itu akan segera tersebar informasinya, dan kemudian mendapatkan solidaritas yang luas. Ini justru akan menjadi serupa semangat untuk tetap bertahan, tetap menghasilkan karya-karya yang kritis terhadap pemerintah," kata Zulkhair.

Ia turut menyoroti bahwa pembatasan karya seni yang mengandung kritik sosial bukanlah hal baru di Indonesia. Tapi, malah bertolak belakang dengan nilai demokrasi jika terjadi setelah Reformasi.

"Praktek-praktek pelarangan dan pembatasan dalam proses berkarya, khususnya yang mengandung kritik sosial kan sebenarnya tidak baru. Praktek-praktek tersebut bisa kita lacak dari zaman Orde Baru," jelas Zulkhair.

"Tapi di era seperti sekarang, ketika semuanya relatif sudah terbuka kemudian ada praktek-praktek pembatasan pelarangan yang lebih banal seperti yang dirasakan oleh teman-teman Sukatani, itu menjadi aneh," imbuhnya.

3. Lagu "Bayar Bayar Bayar" kemudian dikenal banyak orang sebab isinya sangat relevan dengan apa yang dialami sehari-hari

Demo #IndonesiaGelap, Cuitan Lama Prabowo Soal Demokrasi Dicetak Massa. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Lebih jauh, Zulkhair menyebut lagu "Bayar Bayar Bayar" dengan cepat menjadi anthem dalam aksi mahasiswa karena lagu tersebut relevan apa yang masyarakat hadapi sehari-hari. Tak cuma karena liriknya dikemas secara jenaka dan mudah dihapal.

"Saya kira lagu ini relate dengan banyak orang. Relate dengan keseharian kita, sehingga kemudian sangat mudah untuk menjadi nyanyian bersama," ungkapnya.

"Kata-katanya lugas, langsung ke realitas sosial, sehingga tidak heran kalau lagu ini tidak hanya menjadi anthem dalam aksi mahasiswa dalam waktu singkat dan protes sosial, tapi dalam keseharian bahkan anak-anak menyanyikan itu karena relate dengan kehidupan sehari-hari," sambung Zulkhair.

Untuk menjelaskan fenomena tersebut, Zulkhair menyitir dua konsep penting dalam hubungan antara musik dan politik yaitu "politics of sound" dan "sound of politics." "Politics of sound" merujuk pada karya musik yang mungkin tidak bermuatan politis secara terang-terangan, tapi berbeda ceritanya ketika didalami.

"Jadi banyak karya-karya (kategori "politics of sound") yang secara lirik sebenarnya tidak bermuatan politis, tapi ketika coba didalami, dia punya implikasi politik," katanya.

4. Musisi yang karyanya mengandung kritik adalah bentuk dari konsep "sound of politics"

Sementara itu, "sound of politics" adalah karya musik yang secara langsung diarahkan untuk mengkritik kebijakan atau rezim yang berkuasa. Karya-karya ini biasanya memiliki lirik yang tajam dan provokatif, serta bertujuan untuk menggugah kesadaran masyarakat.

"Karya-karya awal Iwan Fals, Marjinal dan banyak karya band-band punk termasuk Sukatani menurut saya masuk dalam kategori itu. Jadi karya, lagu, dan sound yang dihasilkan memang diarahkan untuk kepentingan politik. Dalam hal ini kritik terhadap rezim, kritik terhadap kebijakan," jelas Zulkhair.

"Jadi karya-karya itu dalam dua konsep tadi, sangat mungkin bisa mengganggu atau diarahkan untuk kritik sosial. Sangat mungkin memberikan tekanan kepada pemerintah," sambungnya.

Khusus di skena musik Kota Daeng, Zulkhair mencatat banyak karya yang mengangkat isu sosial, kondisi masyarakat terkini, serta kebijakan pemerintah. Umumnya mereka mengusung hardcore dan punk yang kerap beririsan dengan isu sosial-politik.

"Di Makassar sendiri saya pikir cukup banyak karya-karya yang kemudian diarahkan untuk mengkritik kebijakan pemerintah, Baik secara langsung ataupun tidak langsung. Seperti misalnya lagu milik Build Down to Anathema yang mengkritik praktek reklamasi pantai," jelasnya.

5. Sebuah lagu diakui sanggup memicu riak perubahan sosial dan politik

Spanduk bernada kritis terhadap kebijakan pemerintah pada demonstrasi IndonesiaGelapa di Balikpapan, Jumat (21/2/2025). (IDN Times/Erik Alfian)

Lantas bagaimana dengan Streisand effect dari pelarangan lagu Sukatani dan respons di media sosial? Media sosial disebut Zulkhair beperan penting dalam menyebarluaskan karya-karya kritik sosial. Ia bahkan menyebut label "musik bawah tanah" sudah tidak cocok era digital karena bebas diakses.

"Saya pikir kategori ini juga di era seperti sekarang jadi tidak terlalu relevan karena hampir tidak ada karya-karya sekarang yang hanya dikonsumsi circle tertentu," jelas sosok yang juga menjadi dosen ilmu sosial di salah satu perguruan tinggi di Makassar tersebut.

Ia juga menjelaskan bagaimana media sosial dapat membangun "normative power", "power of mobilization", dan bahkan "power of institution." Lagu seperti "Bayar Bayar Bayar" pun dapat memicu riak perubahan sosial dan politik.

"Jadi dari normative power kemudian bisa berlanjut kepada mobilisasi. Bentuknya bisa aksi langsung, bisa lewat connective action yang memanfaatkan media sosial atau praktek-praktek yang lainnya. Dan yang kemudian yang terakhir ini bisa jadi mengarah kepada power of institution," jelasnya.

6. Kritik sosial dalam lagu dan karya seniman adalah salah satu bentuk check and balances dalam demokrasi

Gitaris Sukatani yakni Electroguy (kanan) dan Poison Girl (kiri) saat tampil di konser Crowd Noise di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (23/2/2025) malam. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Terakhir, Zulkhair memperingatkan bahwa respons negatif pemerintah terhadap kritik, seperti melalui regulasi yang membatasi kebebasan berekspresi, justru dapat memicu solidaritas dan gerakan yang lebih besar.

"Media sosial menurutku dalam konteks sebagai ruang diseminasi karya-karya yang bermuatan kritik sosial, dia bisa sampai segitu pengaruhnya. Potensinya bada dan nyata," ungkap sosok yang sedang terlibat dalam proyek pengarsipan perkembangan musik Kota Makassar tersebut.

Ia berharap pemerintah melihat kritik sosial, seperti yang dilakukan oleh Sukatani dan banyak musisi dalam karya mereka, adalah salah satu kanal masyarakat untuk menyampaikan ketidakpuasan. Ini sebagai bagian dari mekanisme check and balances alias mencegah penyalahgunaan wewenang dalam demokrasi.

"Bukankah dalam demokrasi dimungkinkan seperti itu? Bentuk check and balances dari masyarakat dilakukan tidak hanya melalui Instrumen-instrumen politik yang reguler seperti datang ke DPR dan lain-lain. Tapi juga bisa melalui instrumen-instrumen lain, termasuk melalui karya dan memanfaatkan media sosial," tandas Zulkhair.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
Ach. Hidayat Alsair
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us