Jolloro Listrik, Adab Baru Menyiarahi Peradaban Purba

Makassar, IDN Times - Matahari belum naik sepenggalah, namun kelembapan khas hutan tropis sudah mulai menggantung di udara. Permukaan Sungai Pute yang tenang memantulkan bayangan tebing-tebing batu kapur (karst), menciptakan ilusi optik seolah dunia terlipat dua: satu menjulang ke langit, dan satu lagi tenggelam di kedalaman air berwarna hijau toska.
Sebuah perahu ramping yang dalam bahasa lokal disebut jolloro, meluncur di tengah kesenyapan. Lunasnya membelah air, menciptakan riak-riak kecil yang menyebar perlahan ke tepian, menabrak akar-akar pohon bakau dan nipah yang mencengkeram erat lumpur sungai.
Pada Minggu, 12 Oktober 2025, pagi seharusnya riuh. Sebab sungai ini adalah jalan raya bagi puluhan jolloro bermesin motor tempel yang mengantar wisatawan. Namun, perahu yang dikemudikan Sunardi berbeda. Ia bergerak seperti hantu. Tak ada hentakan piston yang meledak-ledak, maupun kepulan asap hitam yang menyesakkan hidung.
Di atas perahu, Feri, seorang pelancong yang datang dari Banjarmasin, duduk terpaku. Matanya menyapu sekeliling. Di hadapannya, bentang alam Desa Salenrang menyajikan warisan geologi yang megah. Pilar-pilar batu raksasa berdiri angkuh, sisa-sisa dari proses pelarutan jutaan tahun yang membentuk lanskap labirin.
Feri, seperti halnya banyak turis lain, datang buat menyaksikan keajaiban visual itu. Namun batinnya terusik karena menangkap sesuatu yang tak lazim. Hal yang membuatnya menoleh ke arah buritan, tempat Sunardi memegang kendali.
"Tidak ada sura mesin," ujar Feri, saat menyadari bahwa perahu yang membawanya berbeda. Tidak ada raungan diesel seperti perahu-perahu yang berpapasan di sepanjang aliran Sungai.
“Ternyata memang tidak bersuara karena perahu pakai motor listrik.”
Sunardi tersenyum simpul. Semacam tanda kebanggaan seorang tuan rumah yang baru saja menyajikan hidangan terbaiknya. Inilah respons yang selalu ia tunggu terhadap "menu pembuka" dari sebuah revolusi senyap yang sedang terjadi di Rammang-Rammang.
Menyalakan Mode Senyap di Tengah Megahnya Warisan Ekologi

Rammang-Rammang yang terletak di Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah sebuah monumen waktu. Kawasan ini merupakan jantung dari Maros-Pangkep UNESCO Global Geopark, sebuah status mentereng yang diakui dunia sejak tahun 2023.
Di sini, di hamparan menara karst yang disebut-sebut sebagai yang terbesar kedua di dunia setelah Cina, waktu seolah berhenti berdetak. Gugusan batu kapur ini adalah perpustakaan raksasa. Di celah-celah tebingnya, tersembunyi 572 gua vertikal dan horizontal. Gua-gua ini bukan ruang kosong, melainkan rumah bagi sistem hidrologi sungai bawah tanah yang rumit, sekaligus galeri seni tertua umat manusia.
Di Leang Tedongnge, tak begitu jauh dari aliran sungai yang dilalui Sunardi, terdapat lukisan figuratif babi kutil Sulawesi yang berusia 45.500 tahun. Sebuah bukti bahwa puluhan ribu tahun lalu, leluhur manusia telah berdiri di sini, menatap tebing yang sama, mungkin dengan kekaguman yang sama seperti yang dirasakan Feri saat ini.
Berua, perkampungan yang terisolasi di tengah kepungan karst Rammang-Rammang, merupakan panggung utama. Dari sana, menara tebing-tebing karst yang dramatis tersaji paripurna. Untuk mencapainya tempat ini, pengunjung harus melewati satu-satunya gerbang yang tersedia, yaitu Sungai Pute. Sungai adalah nadi sebab tidak ada jalan aspal.
Selama bertahun-tahun, nadi ini tercemar polusi. Deru mesin tempel berbahan bakar bensin jadi teror bagi ketenangan lembah, seiring ramainya orang berkunjung. Suara bising memantul di dinding-dinding tebing, teramplifikasi, mengusir burung-burung, dan merusak kesakralan suasana. Aroma bensin yang menyengat seringkali jadi “ucapan selamat datang”.
Hari ini Sunardi dan segelintir pengemudi jolloro sedang mencoba menulis ulang sejarah. Mereka tidak lagi memecah keheningan, melainkan merawatnya lewat pengoperasian perahu yang ditenagai listrik.
Perahu ini adalah sebuah paradoks yang indah: canggih namun tradisional. Secara fisik, ia tetaplah jolloro. Bahannya dimodifikasi dari biasanya kayu menjadi serat kaca (fiber), berukuran lebar satu meter dan panjang 6,2 meter. Motor listriknya dirancang khusus agar menyerupai bentuk mesin tempel biasa.
Ini adalah kamuflase teknologi. Identitas budaya lokal tetap terjaga, sementara "jeroannya" telah melompat jauh ke masa depan.
"Tamu-tamu itu bahkan sudah jauh baru bertanya, ‘Ini sudah jalan?’," kata Sunardi sambil tertawa kecil, mengenang berbagai reaksi penumpangnya. " Itu kalau tamu lokal. Tapi kalau turis asing tidak kaget, karena yang seperti ini sudah biasa di Eropa."
Jolloro yang dikemudikan Sunardo melaju stabil di kecepatan 7 hingga 8 kilometer per jam. Lambat? Mungkin. Tapi di Rammang-Rammang, kecepatan adalah musuh dari penghayatan.
Perjalanan menyusuri sungai dari titik awal di Dermaga 1 menuju Kampung Berua atau Dermaga 3 berjarak sekitar tiga kilometer. Makan waktu 40 menit. Bagi masyarakat urban yang terbiasa hidup dalam ritme cepat, ini adalah sebuah terapi.
“Orang beda-beda, ada yang mau menikmati perjalanan, ada yang mau asal sampai. Tapi yang namanya alam, tentu orang ingin menghayati pengalamannya,” kata Sunardi,
Dalam mode senyap, indera pendengaran mereka menjadi lebih tajam. Desau angin yang menyapu pucuk daun nipah terdengar seperti bisikan. Kecipak air saat ikan melompat terdengar jernih.
Sunardi tahu betul betapa mahalnya keheningan ini secara ekologis. Ia menunjuk ke arah rimbun bakau. Di sana, seringkali terlihat burung belibis, atau warga lokal menyebutnya cawiwi, serta burung raja udang dengan bulu biru metaliknya yang mencolok.
“Kalau dengan suara bising mesin, burungnya pasti terbang. Tapi kalau naik perahu listrik, kita bisa mendekat. Bahkan sangat mudah mengambil gambarnya, foto-foto dari dekat,” jelas Sunardi.
Upaya PLN Membantu Wujudkan Wisata Berkelanjutan

Kesenyapan ini tidak datang dalam semalam. Ia adalah buah dari sebuah "perjodohan" teknologi yang dimulai sejak tahun 2018. Saat itu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) datang membawa gagasan yang terdengar utopis bagi warga desa: bagaimana jika perahu-perahu ini tidak lagi minum bensin?
Sunardi adalah salah satu dari seratusan pengemudi yang berani mengambil risiko menjadi kelinci percobaan, atau dalam bahasa birokrasinya: pilot project.
"Kurang lebih enam tahun kita lakukan penelitian sama-sama dengan PLN," tuturnya. Niatnya mulia, namun jalannya terjal. "Kita akan menjaga ekosistem."
Awalnya, transisi ini penuh kendala. Teknologi baterai belum seefisien sekarang. Sunardi mengenang masa-masa awal eksperimen itu dengan sedikit meringis.
"Dulu pertama kita pakai aki mobil. Mesin kapalnya kan berkapasitas daya 48 volt. Kalau pakai aki mobil, butuh empat diparalel. Jadi setengah mati karena berat. Itu yang pertama direvisi."
Bayangkan sebuah perahu kayu ramping yang harus dibebani empat aki mobil yang berat dan memakan tempat. Itu bukan solusi yang praktis. Namun, kegagalan adalah guru yang sabar. Riset terus berjalan. Teknisi memutar otak. Kini, beban itu hilang. Satu paket baterai seukuran satu aki sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan daya. Perahu kembali ringan, lincah, namun bertenaga.
Andy Mulya, Team Leader Sales Retail PLN Unit Layanan Pelanggan (ULP) Maros, melihat ini sebagai sebuah misi peradaban, bukan sekadar jualan listrik. Dalam satu tahun, Rammang-Rammang bisa diserbu 50 ribu manusia. Jika 50 ribu orang itu datang dengan deru mesin dan asap, tamatlah riwayat ketenangan karst ini.
“Kami ingin bantu masyarakat, dan sekaligus mendukung pariwisata bebas polusi,” kata Andy. “Setelah wisatawan coba perahu listrik, mereka bilang jauh lebih nyaman. Tidak berisik, tidak bau. Kalau semua pakai listrik, bayangkan betapa tenangnya sungai ini.”
Dari satu perahu uji coba, kini armada jolloro listrik di Rammang-Rammang bertambah menjadi tujuh unit. Lima di antaranya adalah bantuan dari Pemerintah Kabupaten Maros yang mulai tergerak melihat keberhasilan inisiatif PLN.
"Kami berkolaborasi dengan pemerintahan ingin mewujudkan yang namanya wisata bebas polusi," jelas Andy dengan nada optimistis. "Kan ini yang dilalui garis start sampai finish begitu indah. Pohon-pohon, burung-burung, semua pemandangan. Kalau semua pakai listrik, kita bisa menuju zero emisi."
Dampak Ekonomi di Balik Misi Green Tourism

Di balik narasi besar tentang "Zero Emission" dan "Green Tourism", ada kenyataan dapur yang harus tetap mengebul bagi para pengemudi perahu. Idealisme lingkungan seringkali rontok ketika berhadapan dengan perut. Namun di Rammang-Rammang, kalkulator Sunardi menunjukkan angka yang menggembirakan.
Peralihan ke energi listrik bukan hanya menyelamatkan telinga wisatawan, tapi juga menyelamatkan dompet Sunardi.
Mari kita hitung. Untuk satu kali perjalanan pergi-pulang menyusuri lorong karst itu, motor listrik berdaya 3 kilowatt miliknya hanya menyedot daya sebesar 2 kWh.
"Kurang lebih Rp3 ribu satu kali charger penuh baterai. Itu cukup untuk pulang-balik," ungkap Sunardi.
Tiga ribu perak. Bandingkan dengan kebiasan lama saat masih menggunakan mesin konvensional. Butuh setidaknya satu liter bensin untuk rute yang sama. Di desa yang jauh dari SPBU, bensin adalah barang mewah yang harus dibeli di pengecer.
"Kalau konvensional, kita pakai eceran Rp20 ribu satu botol, biasa kita pakai satu kali sudah habis," keluh Sunardi, mengingat masa-masa boros itu. Belum lagi fluktuasi harga bensin yang kadang mencekik saat pasokan langka.
Selisihnya mencoloj. Dari Rp20.000 menjadi Rp3.000. Penghematan itu adalah selisih laba bersih yang bisa dibawa pulang ke rumah.
"Kalau saya beli Rp50 ribu token listrik, bisa saya pakai satu bulan buat isi baterai perahu," lanjutnya. "Uang yang diirit bisa dipakai untuk kebutuhan lain."
Hitungan keuntungan itu belum berhenti di bahan bakar. Mesin listrik adalah mesin yang "tahan banting" dan minim manja. Tidak ada karburator yang tersumbat, tidak ada busi yang mati, tidak ada oli yang harus diganti rutin secara berkala. Sunardi tak perlu lagi berlumuran minyak hitam.
"Perawatan hanya baterai yang perlu diganti karena usia pemakaian, setelah kira-kira empat atau lima tahun," tambahnya.
Infrastruktur pendukung pun sudah disiapkan. Di dermaga, PLN telah membangun Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) dengan daya 7.700 Volt Ampere (VA). Stasiun ini bahkan ditenagai oleh panel surya, menyempurnakan siklus energi bersih di kawasan itu.
"Kurang lebih tiga jam," jawab Sunardi saat ditanya durasi pengisian daya. Waktu tiga jam itu bisa ia gunakan untuk beristirahat, mengobrol dengan sesama pengemudi, atau sekadar menikmati kopi, sementara perahunya "makan" energi matahari yang disimpan dalam jaringan listrik.
Tentu saja, tidak ada teknologi yang sempurna tanpa celah. Iwan Dento, aktivis lingkungan yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menjaga Rammang-Rammang dari ancaman tambang marmer dan eksploitasi, memandang fenomena ini dengan kacamata realistis.
Ia mengakui, kehadiran jolloro listrik adalah angin segar. Ini adalah langkah maju dalam memuliakan alam.
"Secara ekologi, pasti jauh lebih baik. Pertama dari suara, kemudian dari penggunaan bahan bakar," ujar Dento.
Namun, ia juga mengingatkan tentang tantangan di lapangan. Wisatawan tidak semuanya seperti Feri yang kontemplatif. Ada kalanya tamu datang dengan jadwal padat, mengejar waktu, ingin serba cepat. Di sinilah keterbatasan teknologi ini diuji.
"Cuma kecepatannya juga terbatas. Kemudian kapasitasnya juga. Misalnya ada tamu yang cenderung buru-buru, di situ tantangannya,” kata Dento.
Tetapi mungkin, justru di situlah poin utamanya. Rammang-Rammang mengajarkan manusia untuk melambat. Senyapnya Sungai Pute adalah cara alam memaksa manusia untuk berhenti berlari dan mulai memperhatikan.
"Jadi kedatangan di Rammang-Rammang bukan sekadar menikmati wisatanya, tapi mendapatkan informasi yang bisa dibawa pulang. Apa itu Rammang-Rammang, bagaimana sejarah dan fungsi karst," ucap Sunardi.
Listrik telah memberi Sunardi kesempatan untuk bercerita kepada pengunjung tanpa harus berteriak melawan deru mesin. Listrik telah memberinya ruang untuk mendengar pertanyaan para tamu, membangun percakapan tentang peradaban purba yang jadi latar.
Geopark Maros-Pangkep bukan sekadar deretan batu mati. Ia adalah rumah bagi 1.437 spesies flora dan fauna. Ia adalah rumah bagi 153 spesies endemik yang tak ada di tempat lain di muka bumi. Dan yang paling penting, ia adalah rumah bagi 52 spesies yang dilindungi dan terancam punah.
Ketika Feri dan rombongannya melangkah turun dari perahu, menjejakkan kaki di tanah yang sama yang pernah dipijak manusia prasejarah puluhan ribu tahun lalu, mereka tidak meninggalkan jejak karbon. Mereka tidak meninggalkan asap. Mereka hanya membawa pulang kenangan dan foto-foto indah yang diambil dari jarak dekat tanpa mengganggu satwa.
Di Rammang-Rammang, revolusi energi tidak meledak dengan suara gempita. Ia hadir dengan hening dan memberi harapan baru bagi kelangsungan hidup semesta. Di sini, di antara pilar-pilar batu yang menjulang ke langit, manusia belajar untuk bertamu dengan sopan di rumah alam



















