Kota Musik, Pembangunan Berkelanjutan dan ASEAN Music Cities Forum

- Kota musik bukan hanya tentang pertunjukan, tapi juga bagaimana menjadikan musik sebagai elemen penting dalam pembangunan kota yang berkelanjutan.
- ASEAN Music Cities Forum 2024 membahas konsep kota musik dari empat kota di Asia Tenggara, dengan fokus pada pengembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
- Kota-kota musik di Asia Tenggara memanfaatkan potensi kebudayaan dan kreativitas untuk instrumen pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan konsep Triple Bottom Line.
Kota Musik, Pembangunan Berkelanjutan dan Pelajaran dari ASEAN Music Cities Forum 2024
Mendengar istilah kota musik, saya yakin mayoritas kita akan membayangkan tentang kota yang dipenuhi dengan segala hal yang berkaitan dengan musik khususnya pertunjukan musik. Mulai dari jalanan hingga ke gedung-gedung pertunjukan yang megah. Dan anggapan itu tentu tak salah. Produksi panggung musik sebagai ruang presentasi dan apresiasi karya menjadi salah satu prioritas kegiatan yang didorong oleh semua kota musik di dunia. Bahkan kota musik seperti Adelaide di Australia atau Hamamatsu di Jepang, memiliki agenda festival musik di sepanjang tahun. Namun kota musik tidak hanya tentang pertunjukan musik. Sebaliknya, konsep kota musik adalah bagaimana menjadikan musik sebagai elemen penting dan terintegrasi dengan konsep pembangunan kota yang berkelanjutan. Tidak hanya sebagai pelengkap apalagi pemanis kebijakan kota.
Secara substantif, konsep tentang kota musik tersebut juga disampaikan oleh empat focal point dari empat kota musik di Asia Tenggara dalam sesi ASEAN Music Cities Forum 2024, yang merupakan rangkaian dari kegiatan Amboina International Music Festival (AIMF) 2024. AIMF sendiri digelar oleh Ambon Music Office berkolaborasi dengan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku selama dua hari (30-31 Oktober 2024), sebagai perayaan menandai lima tahun dinobatkannya Ambon sebagai Kota Musik UNESCO.
Adapun empat kota musik di Asia Tenggara yaitu: Ambon (Indonesia), Ipoh (Malaysia), Suphanburi (Thailand), dan Da Lat (Vietnam). Tiga kota selain Ambon, dinobatkan menjadi kota musik global dan bergabung dalam Jejaring Kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative Cities Network) pada tahun 2023. Dalam forum kota musik ASEAN ini juga hadir focal point dari kota kreatif kerajinan tangan dan kesenian rakyat (Craft and Folk Art) Jinju, Korea Selatan. Masing-masing focal point memaparkan tentang berbagai hal dalam pengembangan kota musik di masing-masing kota.
Musik dan Pembangunan Berkelanjutan

Dalam paparan masing-masing focal point, saya menangkap bagaimana kota-kota musik di Asia Tenggara ini memanfaatkan dengan baik potensi kebudayaan dan kreativitas, khususnya musik, agar dapat dipergunakan sebagai instrumen pembangunan tidak hanya dalam pilar ekonomi saja, namun juga dalam pilar sosial masyarakat dan lingkungan. Sesuai dengan konsep Triple Bottom Line dalam pembangunan berkelanjutan.
Di Kota Suphanburi, kota musik ditempatkan sebagai elemen penting dalam pengembangan konsep city of happiness. Dengan konsep seperti ini, Kota Suphanburi dan kota-kota lainnya mengembangkan dan mengarahkan tata kelola kota musik untuk pencapaian ekonomi melalui berbagai aktivitas ekonomi kreatif yang terkait dengan musik atau lintas sektor kreatif. Pada pilar sosial, berbagai inisiatif yang menyasar sektor pendidikan hingga kesehatan didekati dengan menggunakan musik sebagai instrumennya. Di Kota Suphanburi, dikembangkan musik terapi khususnya untuk manula dan anak-anak berkebutuhan khusus. Di Ambon, sejak 2021 dikembangkan kurikulum muatan lokal musik. Di Ipoh, dikembangkan berbagai pusan dan inkubasi kreatif lintas sektor kreatif yang memungkin terjadinya pertukaran pengetahuan dan peningkatan keterampilan para pegiat sektor kreatif. Pada pilar lingkungan, Kota Ambon mengembangkan program Hutan Musik Sound of Green yang memadukan program-program wisata musik dan reservasi hutan berbasis partisipasi masyarakat.
Melalui program-program ini, kota-kota musik ini berharap dapat berkontribusi terhadap pencapaian target pembangunan berkelanjutan terkait pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas dan akses pendidikan yang adil dan inklusif, peningkatan kesehatan masyarakat hingga berbagai target yang terkait dengan peningkatan kualitas lingkungan sesuai dengan misi UNESCO ketika menginisiasi inisiatif Jejaring Kota Kreatif Global pada 2004.
Tetap Bergiat dan Berbagi Pengetahuan

Saat mendengarkan dan melihat presentasi para focal point kota musik Asia Tenggara, satu hal yang terlintas. Bahwa inisiatif-inisiatif yang dikembangkan di masing-masing kota sebenarnya beberapa hal sudah atau sedang dilakukan di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Makassar. Sejak 2010, berbagai ruang diseminasi pengetahuan yang menjadikan musik sebagai instrumennya, telah dimulai meski agak tertatih. Program-program musik yang berkelindan dengan isu lingkungan juga pernah dilakukan. Dan yang paling banyak tentu terkait peningkatan ekonomi kreatif melalui industri pertunjukan musik, merchandise dan yang berkelindan dengannya. Namun, inisiatif-inisiatif tersebut saya pikir belum terkoneksi dan terintegrasi dengan skema pembangunan kota. Akhirnya, sektor musik hanya dilirik jika terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Sementara yang terkait dengan produksi pengetahuan dan isu sosial lingkungan tidak jadi fokus perhatian.
Tentu tak perlu menunggu hingga kota kita berpredikat kota musik untuk menjadikan musik dan berbagai objek kebudayaan lainnya sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan. Kita bisa memulainya dengan belajar dari kota-kota yang relatif berhasil melakukan hal tersebut sambil tetap bergiat, berkomunitas, dan memproduksi ruang berbagi pengetahuan untuk mendorong agar kebudayaan menjadi instrumen dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Selain itu, kita dapat terus mendorong agar pemerintah dapat mewujudkan komitmen politik kebudayaan yang berkelanjutan sesuai amanat Undang Undang Pemajuan Kebudayaan.