Sepak Terjang Sultan Himayatuddin, Sang Pemimpin Gerilya Rakyat Buton

- Sultan Himayatuddin dari Kesultanan Buton dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi pada 8 November 2020.
- Kesultanan Buton memiliki peran penting dalam rivalitas perdagangan rempah-rempah di Nusantara abad ke-18, terutama dengan VOC.
- Sultan Himayatuddin menolak tunduk pada VOC, memimpin perlawanan, dan akhirnya dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi.
Makassar, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh pada 8 November 2020 silam. Salah satunya berasal dari Sulawesi, yakni Sultan Himayatuddin dari Kesultanan Buton.
Masih asing dengan namanya? Dia salah satu figur perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara dalam menentang pemerintahan kolonial Belanda.
Lahir dengan nama La Karambau, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi memimpin Kesultanan Buton sebanyak dua kali tak berturut-turut 1752–1755 (ke-20) dan 1760–1763 (ke-23).
Mungkin kamu bertanya-tanya, seberapa penting Kesultanan yang terletak di Pulau Buton bagi Kompeni di abad ke-18?
1. VOC menggandeng Kesultanan Buton sebagai mitra strategis pada abad ke-16

Ini tidak lepas dari "rivalitas" perdagangan rempah-rempah di belahan timur Nusantara saat itu. Beberapa kesultanan maritim tersebut, antara lain: Gowa-Tallo, Bone, Buton, dan Ternate. VOC membina hubungan diplomatik-ekonomi dengan Buton (serta Bone) dengan anggapan bahwa persekutuan ini akan saling menguntungkan.
Pihak Kompeni menganggap Buton serta Bone adalah dua kekuatan yang sanggup menandingi pengaruh Ternate dan Gowa-Tallo. Buton sendiri harus adu kekuatan dengan Ternate yang terletak di seberang lautan. Sementara itu, VOC punya kepentingan menguasai Ternate yang menjadi sumber rempah-rempah serta Pelabuhan Makassar, bandar strategis yang berada dalam wilayah Gowa-Tallo.
Persekutuan VOC dan Buton mendapat legitimiasi melalui empat kontrak yang diteken oleh kedua belah pihak sejak masa pemerintahan Sultan La Elangi (1578-1615). Namun, kerjasama mereka selalu mengalami naik-turun lantaran sikap sultan yang naik tahta.
2. Konflik antara Buton dan VOC pecah ketika Sultan Himayatuddin memerintah

Eratnya persekutuan Buton - Bone - VOC ini tergambar jelas dalam Perang Makassar (1660-1669). Gowa-Tallo ditaklukkan Belanda, yang mendapat bantuan dari Bone dan Buton. Setelah Sultan Hasanuddin meneken Perjanjian Bongaya, orang-orang Makassar yang menjadi tawanan perang ditempatkan di sebuah pulau kecil tepat di depan kota Baubau. Pulau tersebut kini disebut Pulau Makassar.
Gelagat perlawanan kembali mencuat begitu Sultan Himayatuddin naik tahta. Menurut A.M. Zahari dalam "Sejarah dan Adat FIY Butuni" (1977), percik konflik disulut ketika Buton menolak ganti rugi atas kapal dagang Rust de Kerk yang karam di lepas pantai Baubau.
Namun, Dewan Sara' (setingkat parlemen) takut jika VOC akan datang menyerang Buton. Alhasil Sultan Himayatuddin dicopot dan digantikan oleh Sultan Hamim, tepat sebelum pasukan VOC dibawah komando Onderkoopman Johan Benelius tiba di Buton pada tahun 1753 membawa dua kapal perang ke Baubau.
3. Atas perjuangannya melawan penjajah, Sultan Himayatuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional

Sikap enggan tunduk pada VOC kembali dilanjutkannya ketika kembali menjadi sultan pada 1760. Berulang kali Kompeni mengirim utusan untuk menagih ganti rugi Rust de Kerk dan biaya perang, namun tetap tak dihiraukan. Api perang baru dikobar setelah Sultan Himayatuddin kembali dimakzulkan untuk kali kedua. Ia menyingkir ke hutan lalu menghimpun pasukan perlawanan di pesisir selatan dan timur Pulau Buton.
Berkali-kali pasukan Kompeni coba memadamkan perlawanan, namun selalu berujung kegagalan. Karena memimpin gerilya, Sultan Himayatuddin pun disematkan gelar bahasa Wolio yakniOputa Yi Koo yang berarti "Raja kita yang tinggal di hutan". Sultan Himayatuddin menetap di Siontapina hingga mangkat pada 1776.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 120 TK Tahun 2019, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada Sultan Himayatuddin. Bertindak sebagai wakil dalam seremoni di Istana Negara, Jakarta, tersebut adalah Gubernur Sulawesi Tenggara, yakni Ali Mazi.