Mengenal Maria Menado, Ikon Film Singapura Berdarah Minahasa

- Maria Menado, ratu film horor Malaya dekade 1950-an, lahir di Tondano, Sulawesi Utara
- Transformasi dari peragawati menjadi aktris dan penyanyi membuka jalannya ke industri sinema Singapura
- Pernikahan dengan Sultan Abu Bakar Pahang mengakhiri karier Maria di dunia hiburan
Makassar, IDN Times - "Maria tiga tahun lebih tua dari saya. Penampilannya yang mencolok memiliki kesan liar dan eksotis, yang hampir membuatnya terjebak dalam peran yang sama akibat karakter yang ia perankan di film-film awalnya," tulis jurnalis kondang Hong Kong yang berdarah Inggris, Peter Moss, dalam buku memoarnya yakni Distant Archipelagos: Memories of Malaya (2004).
Maria, yang dipuji secara khusus oleh Peter tersebut, adalah Maria Menado sang ratu film-film horor Malaya dekade 1950-an. Jika mengambil komparasi, Maria bak Suzanna bagi pencinta sinema di Singapura pada masanya. Dengan pesona paras, Maria bahkan sempat ditahbiskan oleh Times Magazine sebagai "wanita tercantik di seantero Malaya" pada 1957.
Maria Manado yang lahir di Sulawesi Utara justru menemukan jalan menuju orbit dunia hiburan ketika merantau ke negeri tetangga. Ini jelas unik, sekaligus menegaskan bahwa hal-hal mujur akan menghampiri mereka yang berani menyeberangi lautan demi hidup yang lebih baik.
1. Sempat tinggal di Makassar dan Jakarta, sebelum akhirnya menetap di Singapura
Maria Menado lahir dengan nama Liesbet Dotulong pada 2 Februari 1932 di Tondano, Sulawesi Utara, dan masih berdarah Minahasa. Dilansir oleh salah satu edisi harian Malaysia yakni The Star pada tahun 2007 silam, masa kecil Liesbet dijalaninya dengan sederhana. Tapi, takdir membawanya ke Makassar setelah kedua orang tuanya meninggal dunia saat ia berusia tujuh tahun.
Di Makassar, Liesbet kemudian tinggal bersama bibi dan pamannya. Tapi, ketiganya memutuskan pindah ke Jakarta pada awal-awal kemerdekaan Indonesia. Alasannya yakni menghindari pertempuran hebat antara tentara NICA Belanda dan pejuang nasionalis yang waktu itu kian menghebat.
Pada usia tujuh belas tahun, Liesbet mulai berkarier sebagai peragawati untuk beberapa majalah dan surat kabar nasional. Dan tahun 1950, ia melakukan perjalanan dari Bandung ke Singapura bersama rombongan yang dipimpin oleh aktris senior saat itu yakni Fifi Young, yang mengadakan peragaan busana kebaya di sana.
2. Kasus perebutan hak asuh Maria Hertogh (tiga dari kiri) jadi inspirasi utama namanya

Lantas dari mana nama Maria Menado ini? Dalam sebuah wawancara dengan Perbadanan Kemajuan Filem Nasional (FINAS) Malaysia pada tahun 2020, Saat tinggal bersama bibi dan pamannya di Malaysia, Liesbet tertarik dengan kerusuhan Maria Hertogh yang sedang terjadi saat itu.
Maria Hertogh adalah seorang gadis Belanda yang dikirim untuk tinggal bersama keluarga Muslim Melayu. Maria kemudian menjadi subjek perebutan hak asuh yang menyita perhatian media massa, dan menyulut kerusuhan SARA di Singapura pada 11 hingga 13 Desember 1950. Liesbet menyebut kontroversi tersebut sangat membekas dalam benaknya, tapi juga sumber inspirasi nama panggungnya.
"Untuk masuk ke dunia film, ternyata sangat susah untuk menyebut nama saya yakni Liesbet. Dan kebetulan Maria Hertogh memiliki masalah di Singapura. Jadi diambillah nama Maria itu, menjadi Maria of Menado, tapi dipendekkan sebagai Maria Menado. Nama itu melekat hingga sekarang," ungkap sosok yang kini berusia 93 tahun itu dalam wawancara tersebut.
3. Selain menjadi aktris, Maria Menado juga dikenal sebagai penyanyi lagu-lagu jazz
Berkat nama Maria Menado, jalannya masuk ke industri sinema Singapura pun terbuka. Tak cuma berakting, Maria juga merintis karier sebagai penyanyi dengan lagu-lagu bercorak jazz. Pada tahun 1951, ia membintangi film pertamanya yang berjudul Penghidupan. Meski berlabel debutan, Maria bersanding dengan aktor gaek P. Ramlee sebagai pemeran utama dalam film garapan studio Malay Film Productions tersebut.
Namun, perannya sebagai vampir dalam film Pontianak yang memberinya ketenaran. Ini terjadi pada 1957, atau enam tahun setelah film pertamanya. Naskah film Pontianak, yang disebut sebagai film horor berbahasa Melayu pertama, digarap bersama mantan suaminya yakni A. Razak Sheikh Mohamed (bercerai pada 1963). Maria menjabarkan mitos-mitos yang pernah ia dengar saat masih tinggal di Indonesia.
Transformasinya dari seorang perempuan anggun menjadi sosok vampir menyeramkan memakan waktu berjam-jam untuk dirias. Maria juga harus bersandar tanpa bergerak agar perubahan itu dapat difilmkan sedikit demi sedikit. Tidak seperti sekarang yang serba CGI, semuanya harus dilakukan secara manual. Tapi pengorbanan tersebut ternyata sukses melambungkan nama Maria Menado ke jagat perfilman Singapura.
4. Namanya melambung sebagai aktris pada akhir dekade 1950-an
Tak disangka, sosok menyeramkan dalam Pontianak terlihat sangat realistis. Beberapa laporan surat kabar menyebut bahwa banyak orang yang pingsan saat menonton film tersebut. Peneliti dari Nanyang Technological University, Benjamin Seide dan Benjamin Slater, pada tahun 2020 menulis bahwa film tersebut ditayangkan selama 41 hari, dari akhir April hingga pertengahan Mei 1957. Ini disebut sesuatu yang luar biasa untuk ukuran sebuah film berbahasa Melayu.
Maria kemudian kembali berakting di dua film sekuel Pontianak, yakni Dendam Pontianak (1957) dan Sumpah Pontianak (1958). Tapi, meski didistribusikan hingga ke Malaysia dan diputar di ratusan bioskop, Pontianak dan Dendam Pontianak kini dikategorikan sebagai lost film sebab salinannya telah hilang atau tidak dapat ditemukan lagi.
Setelah sukses Pontianak, Maria membintangi 15 film dari 1957 hingga 1961. Antara lain Habis Gelap Terbitlah Terang (1959) yang disutradari oleh pelopor perfilman Indonesia yakni Usmar Ismail, Singapore (1960) yang syuting di India, Tun Fatimah (1962) dan Bunga Tanjong (1963). Ia bahkan sempat mendirikan rumah produksi Maria Menado Production (M. M Production), membuat dirinya sebagai wanita produser film Melayu pertama.
5. Berhenti total dari dunia hiburan setelah menikah dengan Sultan Pahang pada 1963

Pada tahun 1963, Menado menikah dengan Sultan Abu Bakar dari Pahang, yang 27 tahun lebih tua darinya. Dalam buku From Fear to Freedom yang ditulis Rilly Ray Rajkumar, disebut bahwa Sultan Pahang mulai sering menonton film-filmnya sejak Pontianak di rilis. Sang sultan disebut sangat mengagumi Maria.
"Karena itu, ia memutuskan untuk mengundangnya untuk tampil di pesta-pesta ulang tahun yang diadakannya di kota kerajaan bernama Pekan, tempat ia tinggal di sebuah istana mewah. Tentu saja, Maria merasa terhormat dan berusaha sebaik mungkin untuk menghibur sultan dan para tamunya. Akhirnya, sultan jatuh cinta padanya dan ia menjadi istri keempatnya," tulis Dr. Rilly.
Pernikahan tersebut praktis mengakhiri karier Maria karena film-filmnya tidak lagi diizinkan untuk diputar di bioskop atau di televisi. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai tiga anak yakni Tengku Norashikin Sultan Abu Bakar, Tengku Idris Sultan Abu Bakar, dan Tengku Baharuddin Sultan Abu Bakar.
Sultan Abu Bakar sendiri wafat pada 5 Mei 1974. Maria kemudian menikah lagi pada 1974 dengan Mohammad Husain Yusof, tapi sang suami meninggal di tahun 2000. Di usia 83 tahun, ia sempat menjadi kameo untuk film komedi Singapura berjudul Our Sister Mambo (2015). Kini, perempuan yang juga dikenal sebagai Liesje Mandagi tersebut menghabiskan masa tuanya di Malaysia, sembari sesekali meladeni wawancara dengan jurnalis.