Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Warga Bara-Baraya, Yulianti (kiri) bersama anak dan ibunya. Dok. Kembang Lisu Allo

Intinya sih...

  • Perempuan Bara-Baraya menjadi garda terdepan dalam perlawanan, mengawal demonstrasi dan memastikan kebutuhan aksi terpenuhi.
  • Yulianti (41) turut serta dalam aksi penolakan penggusuran tanah di Bara-Baraya demi memperjuangkan hak atas tempat tinggal dan masa depan anak-anaknya.
  • Ketua RW 01 Kelurahan Bara-Baraya menekankan agar warga tidak terpengaruh oleh tawaran uang puluhan juta sebagai pengganti tanah, karena uang tersebut tidak sebanding dengan harga tanah yang mereka miliki sekarang.

Perlawanan warga Bara-Baraya terhadap ancaman penggusuran tanah terus bergelora hingga detik ini. Sejak tahun 2016, mereka tak henti memperjuangkan hak atas ruang hidup yang direnggut paksa oleh kepentingan segelintir elite. Januari 2025 menjadi saksi keberlanjutan perjuangan ini, di mana warga Bara-Baraya, dengan dukungan mahasiswa, berdiri tegak melawan ketidakadilan yang mengancam keberlangsungan hidup mereka.

Di tengah tekanan yang tiada henti, perempuan Bara-Baraya menjadi simbol perlawanan yang tak bisa diremehkan. Mereka tidak hanya hadir sebagai pendukung, tetapi juga garda terdepan dalam menjaga solidaritas perlawanan.

Dalam aksi-aksi penolakan penggusuran, perempuan Bara-Baraya mengambil peran penting. Mereka mengawal demonstrasi dengan keberanian yang sama besarnya dengan kaum laki-laki. Lebih dari itu, mereka menjadi tulang punggung logistik perjuangan, menyiapkan konsumsi dan memastikan kebutuhan aksi terpenuhi. Setiap langkah mereka adalah pernyataan tegas bahwa tanah dan ruang hidup bukan sekadar benda mati, tetapi sumber kehidupan yang harus dipertahankan. Perempuan Bara-Baraya menunjukkan bahwa perjuangan ini adalah milik semua, melintasi sekat gender.

Salah satu perempuan yang turut serta dalam aksi penolakan penggusuran adalah Yulianti (41). Menurut Yulianti, perempuan juga bisa ikut serta melawan penggusuran tanah di Bara-Baraya.

"Masa perempuan ongkang kaki saja? Perlu kita maju," ujar Yulianti.

Yulianti yang kerap disapa mace itu mengatakan alasan di balik keterlibatannya adalah demi memperjuangkan dan mempertahankan hak atas tempat tinggal dan masa depan anak-anaknya.

"Bagaimana kita tidak ikut, perempuannya toh, karena kita di sini di bawah ini anak-anak kami," ungkap Yulianti.

Sejak ancaman penggusuran tahun 2016, Yulianti mengaku tak pernah lagi merasakan ketenangan.

"Biasanya saya kalau tidur ka jam 11 bangun ka lagi jam 12 jam malam dan tidak tidur ka itu sampai pagi," ungkap Yulianti.

Karena kerap dihantui perasaan cemas, ia pun mengingatkan kepada ibu-ibu lainnya agar tetap waspada dalam menghadapi ancaman penggusuran yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

"Itu ji saya bilang sama teman-teman di sini jangan semua lengah, jangan mau tidur enak," ujarnya.

1. Hidup dalam bayang-bayang penggusuran paksa

Yulianti bersama ibu dan anaknya. Dok. Kembang Lisu Allo

Tak hanya terancam penggusuran, Yulianti juga menjadi korban kebakaran pada 2021 lalu. Mengenang masa itu, Yulianti menceritakan bahwa ia bersama ibu-ibu lainnya kerap meninggalkan anak-anaknya di kamar dan tidur di luar rumah demi menghindari ancaman serupa yang bisa datang kembali.

"Kita ronda-ronda malam. Kita takut malam dan siang diserang. Dulu saya tidak pernah tidur di dalam rumah, cukup anakku yang di dalam. Saya di luar bersama warga dan semua ibu-ibu tidak ada tidur di dalam rumah cukup anaknya saja," terang Yulianti.

Selama kejadian kebakaran tersebut, Yulianti tak pernah mengosongkan rumahnya. Hingga kini, ia tidak pernah lagi meninggalkan rumahnya dalam jangka waktu yang lama.

"Tidak pernah kukosongkan selama kebakaran tidak pernah saya tinggalkan ini rumah," tambahnya.

Yulianti pun menceritakan bahwa ia bersama warga lain kerap dijanjikan uang jaminan pengganti lahan yang mereka tinggali sekarang. Namun, mereka menegaskan tidak akan tergoda dan memilih tetap bertahan.

"Ada saya, eh nda disuruh ya cuman di telepon kosongkan yang di belakang (tanah) diiming-imingi uang Rp50 juta sampai Rp100 juta. Tapi kita bertahan," ujarnya dengan nada tegas.

"Saya bilang mau apa ini 100 toh tidak dapat kasian rumah. Jadi kalau macam saya ini delapan bersaudara dibagi berapa toh? Jadi kita bertahan," tambah Yulianti.

Dalam hal ini, Ketua RW 01 Kelurahan Bara-Baraya, Andarias (51), mengimbau warganya agar tidak terpengaruh oleh tawaran uang puluhan juta sebagai pengganti tanah. Ia menegaskan bahwa uang puluhan juta memiliki nilai yang kecil dan tidak sebanding dengan harga tanah yang mereka miliki sekarang.

"Kita selalu konsolidasi menyakinkan warga agar tidak terpengaruh, misalnya diisukan diganti rugi 50 juta sampai terakhir 100 juta. Tapi kan saya bilang sama orang-orang di sini 100 juta apa sih? Apa sih nilainya dibanding dengan harga tanah sekarang," jelas Andarias.

Lelaki 51 tahun itu pula menekankan kepada warganya untuk tetap bertahan memperjuangkan hak atas tanah yang dimiliki. Meskipun kerap mendapatkan ancaman dan tawaran yang menggiurkan.

"Kita ini berjuang untuk hak kita, kita bukan penyerobot tanah, kita harus mempertahankan ruang hidup ta' bahwa kita ini bukan perampas tanah, penyerobot tanah, kita legal kita punya hak itu!," tekannya.

2. Perempuan paling terdampak ancaman penggusuran

Yulianti saat dipotret di depan rumahnya di Bara-Baraya Makassar. Dok. Kembang Lisu Allo

Sementara itu, Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar, Muhammad Ansar, selaku kuasa hukum warga Bara-Baraya, menjelaskan, kaum perempuan tampak paling progresif dan aktif dalam memperjuangkan tanah Bara-Baraya. Sebagai ibu rumah tangga, mereka peka secara emosional terhadap risiko yang akan terjadi akibat penggusuran.

"Semua berkontribusi, perempuan-perempuan cukup progresif lah tidak didominasi oleh laki-laki. Perjuangan warga itu justru perempuan yang di depan sangat aktif karena mereka yang tahu kalkulasi tentang rumah tangga dari pengaruh itu, mereka mengetahui risiko yang kemudian akan mereka hadapi," jelas Ansar.

3. Kronologi upaya penggusuran di Bara-Baraya

Warga Bara-Baraya, Kamis (23/01/2024). Dok. Kembang Lisu Allo

Sengketa tanah Bara-Baraya ini bermula dari tahun 2016 ketika warga mendapatkan surat somasi atau peringatan pengosongan dari Kodam Wirabuana—kini bernama Kodam Hasanuddin. Mereka mengklaim tanah warga merupakan tanah okupasi asrama TNI-AD.

“Tahun 2016, warga mendapat surat somasi atau surat peringatan dari Kodam Hasanuddin, tetapi faktanya warga membeli dari seseorang bernama Daniah Dg Ngai,” ungkap Ansar.

“Berdasarkan dokumen hukum yang diperoleh, Daniah Dg Ngai merupakan salah satu ahli waris dari seseorang yang bernama Moedhineong Dg Matika,” tambahnya.

Moedhineong Dg Matika diketahui memiliki tiga anak: Daniah Dg Ngai, Nurdin Dg Nombong, dan Dg Ngugi. Nurdin Dg Nombong, salah satu ahli waris, mengklaim bahwa tanah Bara-Baraya disewakan kepada TNI. Namun, kuasa hukum warga mengungkapkan bahwa klaim tersebut keliru, karena tanah itu bukan bagian dari perjanjian sewa, melainkan hasil jual beli.

“Pada 2016, ada salah satu ahli waris yang meminta pengembalian tanah yang pernah berada dalam perjanjian sewa-menyewa antara Nurdin Dg Nombong dan TNI. Faktanya, itu tidak ada hubungannya sama sekali. Tanah tersebut sebenarnya hasil jual beli,” tegas Ansar.

Untuk memperkuat klaim, pada 2016 penggugat memohon penerbitan sertifikat pengganti dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena sertifikat lama diklaim hilang. Sertifikat pengganti ini kemudian digunakan sebagai bukti hukum.

“Klaim alas hak itu adalah sertifikat tahun 1960-an, tetapi sertifikat lama itu hilang. Kemudian pada 2016 penggugat memohon penggantian ke BPN, dan diterbitkan sertifikat pengganti,” ujar Ansar.

Sengketa ini berlanjut ke Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada 2017, di mana warga berhasil memenangkan gugatan. Namun, pihak penggugat tidak terima dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Putusan di tingkat PN telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), dan warga dinyatakan sebagai pemenang.

Meski demikian, upaya perampasan tanah tidak berhenti. Pada 2019, Nurdin Dg Nombong kembali mengajukan gugatan di PN dan sekali lagi kalah. Namun, situasi berubah saat kasus ini berlanjut ke Pengadilan Tinggi, terutama karena proses berlangsung di tengah pandemi COVID-19, yang membatasi akses warga untuk melakukan pengawasan dan aksi demonstrasi.

Pada akhirnya, putusan di Pengadilan Tinggi memenangkan pihak penggugat, memberikan pukulan berat bagi warga yang sebelumnya dinyatakan benar di tingkat pertama.

Selain terkendala pandemi, warga bersama kuasa hukum menduga adanya keterlibatan mafia tanah dalam sengketa yang berujung pada kekalahan mereka di pengadilan tinggi. Andarias pun mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses hukum yang dianggap memihak kepada pemilik modal.

“Kami mensinyalir ini semua kerja-kerja mafia,” ungkap Andarias.

4. Dugaan keterlibatan mafia tanah

Spanduk Tolak Penggusuran Tanah Bara-Baraya, Selasa (23/01/2025). Dok. Kembang Lisu Allo

Warga lainnya, Muh Nur, juga mengatakan bahwa kasus ini diduga kuat berada di bawah kendali para penguasa tanah yang mendukung oknum tertentu.

“Adanya segelintir mafia tanah yang memback up di sana, mafia tanah semakin merajalela,” tegasnya.

Hal ini turut ditegaskan oleh Ansar yang menilai bahwa penerbitan sertifikat tanah yang sebelumnya diceritakan diduga adalah praktik mafia tanah. Menurutnya, dugaan ini tidak sekadar spekulasi tetapi sangat mendasar.

“Kami menduga dalam proses penerbitan sertifikat di situ ada permainan mafia tanah. Sekali lagi kami menduga dan tentu dugaan kami ini mendasar,” ungkap Ansar.

Di sisi lain, menurut informasi yang diterima, pengadilan juga dianggap memihak. Pasalnya, terdapat salah satu hakim yang mengadili perkara Bara-Baraya yang terlibat kasus suap.

“Salah satu hakim yang mengadili perkara Bara-Baraya itu tersandung kasus suap,” kata Ansar.

Ancaman penggusuran dan insiden kebakaran yang pernah terjadi memberikan trauma mendalam bagi warga Bara-Baraya. Ansar berharap agar keadilan dapat berpihak kepada warga, pasalnya mereka telah mendiami Bara-Baraya selama puluhan tahun. Tanah itu bukan sekadar tempat tinggal, melainkan saksi sejarah hidup mereka.

"Harapannya keadilan itu berpihak pada warga, mereka tidak hanya sekadar memperjuangkan ruang hidup, tetapi juga mempertahankan sejarah dan martabat yang telah lama mereka bangun di Bara-Baraya," pungkas Ansar.

Coretan tembok menyuarakan penolakan terhadap penggusuran warga Bara-Baraya, Kamis (23/01/2025). Dok. Kembang Lisu Allo
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team