Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi mudik Lebaran 2025. (IDN Times/Tama Yudha Wiguna).

Makassar, IDN Times - Sejak kecil, Lebaran bagi saya selalu identik dengan hiruk-pikuk Kota Makassar. Tidak ada cerita mudik seperti yang biasa saya saksikan di berita televisi nasional.

Kala itu, yang saya pahami adalah mudik berarti pulang ke kampung orang tua mereka untuk berlebaran. Berlebaran di kampung, nyaris tidak pernah terdengar dari ayah dan ibu. Kami selalu merayakan Idulfitri maupun Iduladha di kota ini.

Kalaupun ke kampung, kami hanya berkunjung seteleh perayaan Salat Id. Semacam hanya silaturahmi, bukan untuk Salat Id di kampung.

Di Makassar, jalanan kota mulai lenggang di hari-hari menjelang Idulfitri. Mungkin ini efek dari orang-orang yang mudik ke kampung halamannya.

Dulu, Pasar Sentral dipadati orang-orang yang berburu baju baru. Di rumah, ibu sibuk membuat kue kering. Di malam lebaran, ibu akan sibuk menyiapkan berbagai hidangan khas lebaran mulai dari ketupat, buras, kari ayam hingga ayam lengkuas.

Momen malam takbiran adalah momen yang selalu saya tunggu. Suara bedug bertalu-talu, takbir menggema dari masjid-masjid di sekitar rumah kami di Makassar. Rasanya vibes itu sudah berkurang di era sekarang.

Pagi Lebaran, kami bergegas ke lapangan atau masjid  untuk salat Id, berdesakan dengan ribuan orang lainnya. Setelahnya, ritual keliling kompleks pun dimulai. Kami bersalaman dengan tetangga dan mencium tangan orang-orang yang lebih tua.

Meskipun Makassar adalah rumah, ada saat-saat di mana saya membayangkan seperti apa rasanya Lebaran di kampung. Saya ingat beberapa kali kami ke kampung usai lebaran di Makassar. Kami melalui perjalanan panjang yang melelahkan dengan mobil.

Sepanjang hidup, hanya dua kali saya merasakan lebaran di kampung. Tahun 2013 ketika saya masih kuliah dan tahun 2022 itupun sekalian untuk berziarah ke makam ayah dan ibu.

Di kampung, Lebaran terasa lebih sederhana. Tidak ada suara petasan yang terdengar dari rumah-rumah panggung.

Meski begitu, saya tetap bahagia dengan Lebaran di Makassar. Karena di sinilah saya tumbuh, di antara gedung-gedung yang ramai, di jalanan yang selalu penuh kehidupan. Kampung mungkin jauh, tapi Lebaran tetap terasa hangat karena keluarga selalu ada.

Editorial Team