Sarat Nilai Hidup, Ini 5 Cerita Rakyat di Sulawesi Selatan

- Kisah Sawerigading dan We Tenriabeng menunjukkan pentingnya menjaga hubungan keluarga untuk menghindari konflik.
- Cerita La Upe mengajarkan bahwa menyusahkan orang lain takkan pernah membawa kebaikan.
- Persatuan dua kerajaan dalam cerita Putri Tadampali dan Putra Mahkota menjadi simbol kerukunan dan saling pengertian.
Makassar, IDN Times - Sama seperti daerah Indonesia lainnya, Sulawesi Selatan (Sulsel) dikenal memiliki kekayaan budaya yang tercermin dalam berbagai cerita rakyat sarat makna. Kisah-kisah tersebut tidak sekadar hiburan, tapi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang relevan hingga kini.
Beberapa cerita rakyat yang terkenal di daerah ini menggambarkan keberanian, kesetiaan, dan pentingnya menjaga keharmonisan dalam kehidupan. Turut pula beberapa kisah yang menampilkan keunikan tradisi serta kepercayaan masyarakat setempat. Berikut ini IDN Times menghimpun beberapa diantaranya untuk pembaca.
1. Sawerigading dan We Tenri Abeng

Kisah ini mengisahkan Sawerigading, seorang pemuda dari Kerajaan Luwu, yang jatuh cinta pada saudara kembarnya sendiri, We Tenriabeng. Menurut ramalan, hubungan cinta mereka akan menimbulkan malapetaka, sehingga keduanya dibesarkan secara terpisah oleh orang tua mereka.
Ketika dewasa, ramalan itu menjadi kenyataan. Sawerigading bertemu dengan We Tenriabeng dan jatuh cinta padanya, bahkan ingin menikahinya. Tapi, orang tua mereka tidak merestui hubungan tersebut. Sebagai jalan keluar, We Tenriabeng menyarankan agar Sawerigading menikahi sepupunya yakni We Cudai yang memiliki paras serupa dengannya.
Sawerigading pun menerima saran tersebut dan memulai perjalanan ke China untuk mencari We Cudai. Sesampainya di sana, ia menemukan bahwa We Cudai memang sangat mirip dengan saudarinya. We Cudai juga terpikat dengan Sawerigading, dan pernikahan mereka menghasilkan seorang anak bernama La Galigo, yang kelak menjadi tokoh legendaris dalam budaya Bugis.
Dari cerita ini, terdapat beberapa pesan moral yang dapat diambil. Pertama, pentingnya menjaga hubungan baik dan silaturahmi antar keluarga demi menghindari konflik. Kedua, tekad dan semangat pantang menyerah selalu menjadi kunci untuk mencapai tujuan dalam hidup.
2. La Upe dan Ibu Tiri

Cerita rakyat ini tentang penderitaan seorang anak bernama La Upe. Setelah ditinggal wafat oleh ibu kandungnya, La Upe tinggal bersama ayahnya yang menikah lagi dengan seorang wanita bernama I Ruga. Sayangnya, I Ruga selalu memperlakukan La Upe dengan buruk, sering memarahi dan memukulnya tanpa alasan yang jelas.
Hidup La Upe mulai berubah setelah ia menyelamatkan seekor ikan ajaib yang memberinya sebuah mantra. Mantra tersebut bisa digunakan untuk mengabulkan permintaan La Upe. Ketika I Ruga memarahinya karena tidak membawa pulang ikan, La Upe mengucapkan mantra itu dan meminta agar I Ruga menempel pada pintu. Akibatnya, tubuh I Ruga benar-benar lengket di pintu rumah.
Saat ayah La Upe pulang, ia terkejut melihat istrinya menempel di pintu. Setelah mendengar penjelasan dari La Upe, ayahnya menasihati I Ruga agar berhenti bersikap kasar. La Upe akhirnya memaafkan ibu tirinya, dan sejak saat itu mereka hidup rukun sebagai sebuah keluarga.
Cerita ini mengandung banyak pesan moral, salah satunya adalah bahwa menyusahkan orang lain takkan pernah membawa kebaikan. Sebaliknya, membantu dan mempermudah urusan sesama akan mendatangkan berkah dari Tuhan.
3. Putri Tadampalik

Alkisah, hiduplah seorang raja bijaksana bernama Datu Luwu yang memimpin rakyatnya dengan adil. Ia memiliki seorang putri cantik bernama Putri Tadampalik yang kecantikannya tersohor hingga ke Kerajaan Bone. Tertarik dengan keindahan parasnya, Raja Bone mengutus para duta kerajaan untuk meminang sang putri bagi Putra Mahkota Bone.
Meski khawatir melanggar adat yang melarang menikah dengan orang di luar suku, Datu Luwu akhirnya menerima pinangan tersebut untuk menghindari konflik. Tapi, sebelum pernikahan berlangsung, Putri Tadampali terkena penyakit misterius yang menyebabkan tubuhnya penuh bintik dan cairan berbau busuk.
Karena dianggap penyakit menular, Datu Luwu terpaksa mengasingkan sang putri ke tempat terpencil demi keselamatan rakyatnya. Dalam perjalanannya, Putri Tadampali tiba di Pulau Wajo, tempat ia secara ajaib disembuhkan oleh kerbau putih yang menjilati tubuhnya. Sebagai bentuk syukur, ia meminta para pengawalnya untuk menjaga kerbau putih tersebut.
Di Pulau Wajo, Putri Tadampali bertemu Putra Mahkota Bone yang tersesat saat berburu. Pertemuan mereka di sebuah gubuk kecil menumbuhkan benih cinta di hati keduanya. Setelah kembali ke Bone, Putra Mahkota terus memikirkan sang putri hingga ia meminta izin kepada ayahnya untuk kembali melamarnya.
Dengan membawa keris pusaka dari Datu Luwu, utusan Kerajaan Bone mengajukan pinangan resmi, yang akhirnya diterima dengan penuh syukur oleh kedua belah pihak. Pernikahan Putri Tadampali dan Putra Mahkota berlangsung dengan meriah di Pulau Wajo, disaksikan keluarga dari Kerajaan Luwu dan Bone.
Persatuan dua kerajaan ini menjadi simbol kerukunan dan saling pengertian. Cerita ini mengajarkan nilai rendah hati, taat pada orang tua, serta keyakinan bahwa kebajikan akan membawa berkah besar di masa depan.
4. La Mellong dan Seratus Orang Buta

Selanjutnya yakni La Mellong, figur cerdik jenaka yang mirip dengan Abu Nawas dalam cerita rakyat Timur Tengah. Suatu hari dipanggil oleh Raja Bone untuk menghadap di istana. Sang raja memberikan tugas yang tampaknya mustahil, yaitu mengumpulkan 100 orang buta dalam semalam dari sebuah kampung.
La Mellong, meskipun terkejut, menerima tugas tersebut dan pulang ke rumah untuk memikirkan cara menyelesaikannya. Sebagai seseorang yang dikenal cerdik dan pintar, ia mulai merancang strategi untuk memenuhi permintaan raja. Malamnya, La Mellong memotong sebatang bambu tanpa membuang daunnya, lalu keesokan harinya ia mengarak bambu tersebut di tengah kampung.
Perbuatannya menarik perhatian penduduk, yang keluar rumah untuk melihat dan bertanya, "Apa yang sedang kau bawa itu, La Mellong?" Setiap orang yang bertanya dianggap memenuhi kriteria "buta" dan langsung dimasukkan dalam hitungan. Akhirnya, La Mellong berhasil mengumpulkan 100 orang dan membawa mereka menghadap raja.
Saat di istana, Raja Bone dengan heran bertanya kepada La Mellong, "Di mana 100 orang buta itu?" La Mellong menjawab sambil menunjuk ke arah para warga yang mengikutinya, "Mereka semua adalah orang yang bertanya kepada saya tentang apa yang saya arak, meskipun jelas terlihat itu hanyalah sebatang bambu." Sang raja, yang awalnya geram, menyadari logika di balik jawaban La Mellong.
Raja Bone akhirnya mengakui kecerdikan La Mellong, meskipun cara berpikirnya tidak biasa. Ia memuji pemuda itu sebagai seseorang yang pintar dan penuh akal. Kisah ini menunjukkan bagaimana kecerdasan dan kreativitas bisa mengatasi tantangan, bahkan dalam situasi yang tampak mustahil sekalipun.
5. Toakala dan Bissu Daeng

Di Maros, Sulawesi Selatan, terdapat legenda tentang Kerajaan Kera yang dipimpin oleh Raja Toakala, seekor kera putih yang dapat berbicara seperti manusia. Suatu hari, Toakala mendengar tentang kecantikan Bissu Daeng, putri dari Kerajaan Pattiro, dan mengutus delegasi untuk melamarnya. Tapi, lamarannya ditolak karena Toakala dianggap tidak pantas menikahi manusia.
Merasa terhina, Toakala menculik Bissu Daeng dan membawanya ke kerajaannya. Tak lama kemudian, seekor ular sanca besar menyelamatkan sang putri dan mengembalikannya ke Pattiro. Marah atas kejadian ini, Toakala memerintahkan pasukannya untuk menyerang Kerajaan Pattiro.
Dalam pertempuran tersebut, pasukan Toakala berhasil dikalahkan. Toakala sendiri tewas dalam pertempuran, dan sebelum menghembuskan napas terakhir, ia mengutuk keturunannya untuk hidup sebagai kera. Legenda ini dipercaya sebagai asal-usul keberadaan kera Macaca maura di Maros.
Cerita ini mengajarkan bahwa kesombongan dan ketidakmampuan menerima penolakan dapat membawa malapetaka. Selain itu, legenda ini juga menjadi penjelasan budaya bagi populasi kera di wilayah Maros, yang hingga kini berkeliaran di kawasan sekitar Air Terjun Bantimurung.
Itu tadi 5 cerita rakyat asal Sulawesi Selatan. Tentu saja masih banyak kisah lain yang terus diwariskan melalui tradisi bertutur lisan secara turun temurun.