Jenderal M. Jusuf di Tengah Pusaran Kontroversi Supersemar 1966

Naskah versi mana yang benar-benar otentik?

Makassar, IDN Times - Dalam bab "Menunggu Memoar M. Jusuf" buku Misteri Supersemar (2006, Media Kita), diceritakan bahwa beberapa pemimpin redaksi surat kabar pada awal 2000-an membuka sayembara untuk para wartawan: siapa pun yang berhasil mewawancarai Jenderal (Purn.) M. Jusuf dengan topik utama Supersemar, gajinya bakal dinaikkan tiga kali lipat.

Para jurnalis pun beramai-ramai mendatangi kediaman Menteri Pertahanan dan Keamanan di Kabinet Pembangunan III milik Orde Baru (1978-1983) di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Namun, semuanya pulang dengan tangan hampa.

Sayembara prestisius tersebut seolah menjadi bumbu dari misteri Surat Perintah Sebelas Maret 1966. Misteri yang belum terungkap selama lima dekade, misteri tentang sepucuk surat yang membawa Indonesia ke dalam kubangan rezim otoriter.

Lantas, kenapa harus M. Jusuf? Apa peran petinggi militer kelahiran Kajuara, Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1928 tersebut dalam tahap awal peralihan kekuasaan dari Soekarno ke tangan Soeharto?

1. Lahir di Bone pada 23 Juni 1928, M. Jusuf adalah salah satu figur sentral di Orde Lama dan Orde Baru

Jenderal M. Jusuf di Tengah Pusaran Kontroversi Supersemar 1966Dok. Istimewa

Pemilik nama lengkap Andi Muhammad Jusuf Amir tersebut bisa dibilang sebagai salah satu figur militer berpengaruh pada Orde Lama. Selain menjadi perwira dalam operasi pemberantasan gerakan Permesta di tahun 1957, ia pernah menjadi Panglima KODAM XIV/Hasanuddin pada Oktober 1959.

Kariernya meroket, hingga akhirnya didapuk Soekarno sebagai Menteri Perindustrian urusan Perindustrian Ringan di Kabinet Dwikora I pada 27 Agustus 1964. Di tahun-tahun terakhir pemerintahannya, si Pemimpin Besar Revolusi memang acap kali menunjuk figur militer untuk mengisi pos kementerian sipil.

Kursi Menperin diduduki M Jusuf hingga 1967. Desakan rakyat lewat Tritura, hiperinflasi dan situasi pasca G30S membuat Soekarno kerap melakukan reshuffle kabinet. Namun M. Jusuf tetap bergeming dari posisi Menperin kendati acap kali bertukar departemen. Siapa sangka, ia menjadi saksi hidup salah satu peristiwa penting sejarah ketika menjabat sebagai Menteri Perindustrian.

2. Supersemar disebut-sebut sebagai tahap awal peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto

Jenderal M. Jusuf di Tengah Pusaran Kontroversi Supersemar 1966Wikimedia Commons/Sekretariat Negara

Alkisah pada Jumat pagi tanggal 11 Maret 1966, M. Jusuf bersama Menteri Urusan Veteran Mayjen Basoeki Rachmat dan Pangdam KODAM V/Jaya Amir Machmud menyusul Soekarno ke Bogor. Rapat Kabinet 100 Menteri di Istana Presiden terpaksa dibubarkan sebab beredarnya laporan keberadaan pasukan liar di sekitar istana.

Namun sebelum ke Istana Bogor, ketiganya lebih dahulu menghampiri kediaman Letjen Soeharto. Saat itu, Soeharto sudah menjadi lawan politik terkuat sang presiden. Menurut Amir Machmud dalam buku H. Amirmachmud Menjawab (1987, CV Haji Masagung), Soeharto meminta ketiganya memberitahu Soekarno bahwa opsi pemulihan keamanan tak bisa ditawar-tawar lagi.

Tiba di Istana Bogor, mereka kemudian menghadap Soekarno membahas situasi politik dan keamanan terkini. Diskusi pun tiba pada kesimpulan bahwa Mayjen Soeharto akan diberi "sedikit wewenang" untuk memulihkan keadaan, semacam mandat. Surat Perintah pun disusun dan diteken sebelum malam, untuk kemudian diserahkan kepada sang pimpinan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Kronologi perumusan Supersemar inilah yang diulang-ulang dalam buku teks pelajaran sejarah. Padahal beberapa teori mengemuka perihal cara Soekarno, yang diangkat sebagai Presiden Seumur Hidup lewat TAP MPRS Nomor III tahun 1963, akhirnya mau melepas sebagian wewenangnya.

Baca Juga: Westerling 73 Tahun Lalu: Antara Horor, Bias Sejarah dan Trauma

3. Sejumlah klaim meragukan Supersemar mulai mencuat sejak dekade 1980-an

Jenderal M. Jusuf di Tengah Pusaran Kontroversi Supersemar 1966IPPHOS/Repro. 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 2 (Sekretariat Negara Republik Indonesia)

Salah satunya datang dari pengakuan pengawal Soekarno, yakni Soekardjo Wilardjito. Dalam buku Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden (2008, Galangpress), Wilardjito menyebut bahwa ada empat orang alih-alih tiga yang menghadap Soekarno. Orang keempat adalah Letjen Maraden Panggabean selaku wakil Panglima Angkatan Darat.

Soekardjo mengingat bahwa Soekarno sempat membaca isi sebuah map berwarna merah jambu, lalu naik pitam lantaran diktum (keputusan) dalam lembar yang dibacanya adalah diktum militer, bukannya diktum kepresidenan. "Surat itu tidak terdapat lambang Garuda Pancasila, dan Kop surat tersebut bukan berbunyi Presiden Republik Indonesia, melainkan kop di kiri atas, Markas Besar Angkatan Darat," ungkap Wilardjito.

Wilardjito mengaku masih ingat rentetan kejadiannya. Mayjen Basoeki Rachmat disebutnya tetap meminta Soekarno untuk menandatangani surat tersebut dengan alasan waktu untuk mengubah sudah sempit. Yang terjadi selanjutnya terdengar sensasional, Letjen Panggabean disebut menodongkan pistol FN 46 ke arah presiden.

Refleks, Wilardjito mengaku turut mencabut pistol. Namun, Soekarno menahan konfrontasi dan memilih menandatangani naskah surat tersebut, dengan harapannya mandatnya dikembalikan jika keadaan kembali pulih seperti sedia kala.

Baca Juga: Amanna Gappa, Peraturan Kuno yang Menjadi Konsep Konvensi Laut Sedunia

4. Salah satu versi Supersemar menyebut bahwa Soeharto harus melaporkan setiap langkah upaya pemulihan ketertiban kepada Soekarno

Jenderal M. Jusuf di Tengah Pusaran Kontroversi Supersemar 1966Wikimedia Commons

Kendati demikian, sejarawan Asvi Marwan Adam ragu dengan klaim Wilardjito. Dalam halaman 117 buku Membongkar Manipulasi Sejarah (2009, Penerbit Buku Kompas), ia menulis bahwa pertemuan ketiga petinggi militer di Istana Bogor berjalan alot lantaran baru berakhir pada pukul 20.30 WIB. Artinya, adu argumen dengan Soekarno perihal naskah Supersemar tak langsung selesai dengan satu todongan pistol saja.

Sebagai tambahan, Wilardjito kemudian ditangkap oleh militer dan dijebloskan ke penjara lantaran tuduhan berhubungan dengan Cakrabirawa. Wilardjito menjadi tapol dari 1966 hingga akhirnya bebas pada Desember 1977 (Kontroversi Supersemar, 2007, MedPress, hal. 45).

Bagaimana dengan M. Jusuf? Di sini muncul klaim kedua. Wilardjito menyebut bahwa dia datang menghadap Soekarno sembari membawa map merah muda, yang disinyalir berisi draf Supersemar. Klaim tersebut memang saling bertolak belakang dengan proses perumusan Surat Perintah sakti tersebut. Alih-alih disusun secara alot selama berjam-jam, ada tudingan bahwa Supersemar sudah disiapkan secara rinci.

Kontroversi tak sampai di penyusunannya, Supersemar bahkan terdapat dua versi. Sama-sama bertandatangan Soekarno, namun berbeda isi. Versi pertama (Pusat Penerangan TNI AD) adalah mandat memulihkan ketertiban dan wibawa presiden. Kedua (Sekretariat Negara), menempatkan presiden sebagai "komando" pemulihan ketertiban, di mana setiap perkembangan harus dilaporkan kepada Soekarno.

5. Lantas, di mana naskah asli dan otentik Supersemar yang sudah mengundang tanya publik selama lima dekade lamanya?

Jenderal M. Jusuf di Tengah Pusaran Kontroversi Supersemar 1966Presiden ke-2 RI Soeharto. (Dok. Arsip Nasional RI)

Saat Orde Baru tumbang pada 1998, bahasan tentang Supersemar kembali mencuat. M. Jusuf menjadi satu-satunya saksi kunci yang masih hidup, lantaran dua lainnya yakni Basoeki Rachmat dan Amir Machmud sudah lebih dahulu mangkat, masing-masing pada 1967 dan 1995. Publik berharap ia bisa memberi pencerahan di tengah debat dan hal-hal simpang siur lainnya.

M. Jusuf pun berjanji akan menceritakan fakta-fakta soal Supersemar versinya dalam memoar yang terbit setelah ia mangkat. Buku Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit (Kata Hasta Pustaka) terbit tahun 2006, kurang dari dua tahun setelah ia mengembuskan napas terakhir pada 4 September 2004 di Kota Makassar.

Namun buku tersebut malah menyorongkan hal mengejutkan lainnya: naskah Supersemar ternyata ada dua lembar! Bukan secarik (dengan dua versi) yang menjadi sumber debat kusir selama empat dekade lamanya. Supersemar di buku memoar mendiang M. Jusuf adalah hasil ketikan mesin tik, namun isinya identik dengan versi Puspen TNI AD.

Tak ada fakta baru terkuak, namun apa yang disodorkan M. Jusuf dalam memoarnya justru membuat perdebatan Supersemar seolah kian kusut. Jumlah versi yang beredar pun bertambah menjadi empat, di mana tiga di antaranya disimpan oleh badan Arsip Nasional Republik Indonesia.

Yang menjadi pertanyaan sebenarnya cukup sederhana: mana naskah asli yang ditandatangani oleh Soekarno setelah berdebat alot dengan M. Jusuf dkk pada Jumat malam tanggal 11 Maret 1966? Dan versi mana yang benar? Sampai kapan ia hilang tak tahu rimbanya?

Baca Juga: Arief Rate: Memperjuangkan, Lalu Dikhianati Republik Sendiri

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya