Masjid Tua Katangka, Tonggak Sejarah Islam di Sulawesi Selatan

Arsitektur Masjid Tua Katangka juga punya daya tarik sendiri

Makassar, IDN Times - Sulawesi Selatan menyimpan berbagai peninggalan masa lampau yang sangat bernilai. Salah satunya Masjid Al Hilal Katangka atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Tua Katangka.

Rumah ibadah umat Islam ini berlokasi di Jalan Syech Yusuf No 57, Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Letak masjid ini masih satu lokasi dengan kompleks makam raja-raja Gowa. Menariknya, masjid ini disebut yang tertua di Sulawesi Selatan, bahkan menjadi saksi sejarah penyebaran Islam, khususnya di Gowa.

Ketika IDN Times berkunjung ke Masjid Tua Katangka pada Kamis (15/4/2021), masjid itu tampak lengang. Hanya ada beberapa orang di sana yang telihat berbincang-bincang. Selebihnya ada anak-anak yang sedang mengaji.

IDN Times pun sempat berbincang-bincang dengan Harun Daeng Mangella selaku pengurus Masjid Tua Katangka. Dia menjelaskan berbagai hal soal masjid ini, mulai dari sejarah, makna filosofis hingga keaslian bangunan masjid yang masih terjaga.

Seperti apa kisahnya?

Baca Juga: Uniknya Masjid Arab Berusia 112 Tahun di Kawasan Pecinan Makassar

1. Didirikan di masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin

Masjid Tua Katangka, Tonggak Sejarah Islam di Sulawesi SelatanMasjid Tua Katangka di Kabupaten Gowa Sulsel. IDN Times/Asrhawi Muin

Masjid Tua Katangka didirikan pada abad ke-17 di bawah pemerintahan Raja Gowa ke-14 yaitu I Mangngarangi Daeng Manrabbia atau dikenal sebagai Sultan Alauddin. Pada masa itu, Kerajaan Gowa kedatangan rombongan ulama yang berasal dari Yaman. Mereka bermaksud untuk mengajak Raja Gowa masuk Islam. 

"Sebelum rombongan ulama ini sampai ke istana kerajaan, mereka mampir di tempat ini di mana dahulu di tempat ini banyak tumbuh yang namanya pohon katangka," kata Harun.

Karena pada hari itu adalah hari Jumat, maka rombongan ulama itu melaksanakan salat Jumat di tempat tersebut yakni di bawah pohon katangka. Setelah mereka melaksanakan salat Jumat, barulah mereka menuju ke istana kerajaan untuk menawarkan Islam.

Ketika rombongan ulama itu menawarkan Islam, Raja Gowa ke-14 tidak langsung menerima Islam begitu saja. Karena saat itu, rombongan ulama dari Yaman itu menawarkan Islam secara kaffah atau secara keseluruhan.

"Jadi pada saat itu Raja Gowa mengatakan 'kami pikir-pikir dulu dan perlu bermusyawarah dengan anggota dewan adat'," kata Harun.

2. Jadi tempat beribadah sekaligus benteng pertahanan

Masjid Tua Katangka, Tonggak Sejarah Islam di Sulawesi SelatanSalah satu bagian di Masjid Tua Katangka di Kabupaten Gowa Sulsel. IDN Times/Asrhawi Muin

Berselang beberapa tahun kemudian, pedagang dari bangsa lain mulai berdatangan seperti Portugis, Cina, maupun Inggirs. Mereka membawa penyebar agamanya masing-masing.

Pada saat itulah pedagang-pedagang muslim mengutus tiga orang ulama yang berasal dari Minangkabau. Mereka adalah Datuk Fatimah, Datuk Ri Bandang, dan Datuk Di Tiro. Mereka diutus sebab pedagang-pedagang muslim itu beranggapan bahwa Raja Gowa kemungkinan menerima agama selain Islam. 

"Dan yang berhasil mengislamkan Raja Gowa pada saat itu adalah Datuk Ri Bandang yang nama lengkapnya Abdul Makmur Datuk Ri Bandang yang dijuluki sebagai khatib tunggal," kata Harun.

Ketika Islam diterima oleh Raja Gowa ke-14, maka ditunjuklah tempat untuk mendirikan sebuah masjid. Lokasi yang ditunjuk itu adalah tempat di mana para pedagang muslim pertama kali melaksanakan salat Jumat yakni di bawah pohon katangka. 

Pada 1603, Masjid Tua Katangka pun didirikan. Saat itu, masjid ini tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah tapi juga sebagai benteng pertahanan terakhir. Itulah sebabnya dinding masjid ini dibuat sangat tebal.

3 Sarat makna filosofi pada bangunan

Masjid Tua Katangka, Tonggak Sejarah Islam di Sulawesi SelatanEmpat tiang penyangga Masjid Tua Katangka di Kabupaten Gowa Sulsel. IDN Times/Asrhawi Muin

Bukan hanya sejarah pendiriannya, arsitektur Masjid Tua Katangka juga memiliki daya tarik tersendiri. Arsitektur masjid ini dipengaruhi oleh beberapa budaya. Ada pengaruh budaya Cina yang terlihat jelas pada bentuk mimbarnya.

Pada bentuk dinding dan tiang masjid, ada pengaruh budaya Eropa yaitu Portugis. Ukiran yang memakai huruf Arab jelas merupakan pengaruh Timur Tengah. Bentuk keseluruhan masjid merupakan perpaduan antara budaya Jawa dan budaya lokal.

Keunikan lainnya, Masjid Tua Katangka memiliki banyak makan filosofi pada bagian-bagian bangunannya. Tiang besar berjumlah 4 melambangkan sahabat Rasulullah yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

"Jendelanya ada enam melambangkan rukun iman. Pintunya ada lima, jadi ada dua di luar dan tiga di dalam melambangkan rukun Islam. Sementara bentuk atapnya bersusun dua melambangkan dua kalimat syahadat," kata Harun.

Keunikan juga terdapat pada mimbar di mana terdapat ukiran yang menggunakan huruf Arab tetapi dalam bahasa Makassar. Huruf itu terukir di bagian pintu naik mimbar.

"Di situ dikatakan bahwa artinya 'mimbar ini dibuat pada hari Jumat tanggal 2 Muharram 1303 Hijriah yang diukir oleh Karaeng Katangka bersama dengan Tumailalalloloa. Baris paling bawah dikatakan bahwa apabila khatib sudah berada di atas mimbar, maka kita tidak diperkenankan lagi berbicara masalah dunia," jelas Harun.

4. Dua tombak yang mengapit mimbar

Masjid Tua Katangka, Tonggak Sejarah Islam di Sulawesi SelatanDua tombak dengan bendera tauhid mengapit mimbar Masjid Tua Katangka di Kabupaten Gowa Sulsel. IDN Times/Asrhawi Muin

Di dalam bangunan masjid, ada dua buah tombak yang mengapit mimbar di sisi kiri dan kanan. Di awal masuknya Islam di Kerajaan Gowa, posisi tombak sebenarnya tidak seperti itu melainkan dipegang oleh dua orang prajurit di sisi kiri dan kanan. 

"Jadi kedua prajurit ini berfungsi untuk menghalau jemaah yang berkeyakinan keliru. Dahulu itu di awal masuknya Islam di Kerajaan Gowa ini, orang tua kita dahulu masih mencampuradukkan kebiasaan sebelumnya yakni animisme," kata Harun.

Harun menuturkan bahwa saat itu jika ibadah salat Jumat dilaksanakan, maka khatib membawakan khutbah di mana konsep khotbah terbuat dari daun lontar yang memanjang ke bawah. Di penghujung khutbah itu, sebagian jemaah akan berdiri dan berlomba menggingit daun lontar itu.

Di penghujung khotbah tersebut, sebagian jemaah ini berdiri dan berlomba menggigit daun lontar tersebut. Mereka meyakini bahwa barang siapa yang menggigit ujung daun lontar tersebut maka tidak ada ujung senjata tajam yang bisa menembus kulitnya alias kebal. 

"Itu keyakinan orang tua kita sebagian dahulu. Kalau seperti ini dibiarkan, bisa mengganggu jalannya ibadah salat Jumat. Maka untuk itulah, disiapkan dua orang prajurit untuk menghalau orang-orang yang berkeyakinan seperti itu," kata Harun.

Di tombak itu, terdapat masing-masing bendera berwarna hijau dengan huruf Arab berwarna kuning yang nyaris menyerupai bendera Arab. Pemasangan bendera itu disebut menjadi penanda Islam telah menjadi agama resmi Kerajaan Gowa kala itu.

"Masjid ini kan didirikan tahun 1603, di tahun itu juga diperkirakan Raja Gowa memeluk Islam. Jadi dua tahun berikutnya yakni tahun 1605, agama Islam ini resmi menjadi agama kerajaan. Maka dipasanglah bendera Islam atau bendera tauhid," kata Harun.

5. Keaslian bangunan dan arsitektur masih terjaga

Masjid Tua Katangka, Tonggak Sejarah Islam di Sulawesi SelatanBagian dalam bangunan Masjid Tua Katangka di Kabupaten Gowa Sulsel. IDN Times/Asrhawi Muin

Masjid Tua Katangka bisa menampung hingga 240 orang di dalam masjid. Tapi jika dihitung mulai serambi tengah, pendopo depan dan samping, maka bisa menampung 1.000 orang. 
 
Sejak didirikan, masjid ini sudah pernah dipugar sebanyak 6 kali tapi tetap mempertahankan bentuk dan keasliannya. Misalnya, ketika ada bagian bangunan yang rusak, maka akan diganti dengan bahan dan ukuran sama, kecuali pada bagian lantai.

Saat awal berdirinya, lantai masjid ini terbuat dari tanah liat. Tapi masjid ini kini berlantai ubin keramik. Karena sudah tidak ada lagi jenis lantai seperti di awal pembangunannya. 

"Kita ganti yang bentuknya alami seperti tahun 80-an ini hampir sama mirip dengan ini. Tapi kalau yang dari awal itu sudah tidak ada lagi. Jadi ada contohnya saya simpan di bawah lemari," kata Harun.

Meski begitu, keaslian bangunan dan arsitektur masjid ini tetap terjaga. Karena masjid ini dilindungi oleh undang-undang.

"Jadi masjid ini kan sudah dilindungi oleh undang-undang. Jadi sudah di bawah pengawasan Balai Cagar Budaya Provinsi Sulawesi Selatan. Jadi setiap ada renovasi atau pemugaran itu kita harus melapor ke purbakala," kata Harun.  

Baca Juga: 8 Potret Arsitektur Ini Bikin Kamu Pengen ke Makassar Tempo Dulu

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya