Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

WHO Ingatkan Bahaya Asap Rokok Bisa Picu Stunting pada Anak

National Professional Officer of Social Determinants and Health Promotion di WHO Indonesia, Dr. Fransiska Mardiananingsih. IDN Times/Asrhawi Muin
National Professional Officer of Social Determinants and Health Promotion di WHO Indonesia, Dr. Fransiska Mardiananingsih. IDN Times/Asrhawi Muin

Makassar, IDN Times - Paparan asap rokok pada ibu dan anak masih menjadi pemandangan umum di Indonesia. Padahal hal ini sangat berbahaya sebab asap rokok dapat memicu stunting atau gagal tumbuh pada anak. 

Hal ini disampaikan National Professional Officer of Social Determinants and Health Promotion di WHO Indonesia, Dr. Fransiska Mardiananingsih, di sela pameran multimedia di Rumata' Artspace, Makassar, Jumat (25/8/2023). Asap rokok, kata dia, bukan hanya berbahaya bagi si perokok itu melainkan berbahaya juga pada orang sekitar yang tidak merokok.

"Bahkan orang yang tidak merokok kalau itu perempuan apalagi yang hamil itu akan mempengaruhi pertumbuhan janin," kata Fransiska.

1. Anak berisiko terlambat tumbuh kembang

ilustrasi rokok (IDN Times/Arief Rahmat)
ilustrasi rokok (IDN Times/Arief Rahmat)

Fransiska menjelaskan janin yang sering terpapar asap rokok sangat berisiko mengalami keterlambatan pertumbuhan. Begitu pun ketika dia lahir bisa berisiko gagal tumbuh kembang atau stunting.

Kekhawatiran terbesar sebenarnya karena stunting memiliki efek jangka panjang. Bukan hanya pada si anak itu sendiri melainkan efek pada kesempatan si anak untuk belajar.

"Biasanya bukan hanya pendek saja tapi ada kesulitan belajar sehingga prestasi belajarnya kurang," katanya.

2. Memiliki efek jangka panjang

Ilustrasi penimbangan berat badan bayi di Posyandu. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)
Ilustrasi penimbangan berat badan bayi di Posyandu. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Jika seorang anak mengalami stunting maka peluang untuk belajar menjadi berkurang. Demikian pula ketika si anak tidak belajar atau menempuh pendidikan hingga dewasa maka kesempatan bekerja akan berkurang.

Hal ini, kata Fransiska, menunjukkan bahwa stunting menciptakan siklus kemiskinan. Untuk itu, mata rantai ini harus diputus mulai dari sekarang agar tidak terjadi efek yang semakin panjang di masa depan.

"Miskin lebih rentan lagi terhadap sakit. Siklus antara sakit, miskin sebenarnya harus bisa diputus antara lain kalau bisa memutus rangkaian dari dampak tersebut," kata Fransiska.

3. Kesehatan masyarakat harus dilihat secara komprehensif

Ilustrasi kegiatan di Posyandu. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Ilustrasi kegiatan di Posyandu. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Lebih lanjut, Fransiska mengatakan bahwa kesehatan masyarakat harus dilihat secara komprehensif. Maksudnya, bukan hanya melihat penyakitnya melainkan faktor-faktor risikonya.

"Kalau seperti contohnya tadi kita kan tahu ya misalnya di Makassar ini stunting masih jadi masalah. Mungkin Makassar tidak setinggi tempat-tempat lain di Sulawesi Selatan," katanya.

Di perkotaan, kata dia, masalah kesehatan juga meningkat. Salah satunya yakni penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes dan obesitas yang banyak terjadi di lingkungan sekitar. 

"Faktor risikonya makanan yang tidak sehat. Sekarang bukan masalah orangnya tidak mau makan sehat. Mungkin dia tidak mampu membeli makanan yang sehat," kata Fransiska.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
Ashrawi Muin
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us