UNS Kalahkan USU di Penyisihan Liga Debat Mahasiswa 2025

Makassar, IDN Times - Pertarungan intelektual antara dua perguruan tinggi ternama memanaskan panggung Liga Debat Mahasiswa 2025. Liga Debat Mahasiswa 2025 ini digelar oleh IDN Times dalam rangka perayaan HUT ke-11.
Debat diselenggarakan secara virtual melalui Zoom, Kamis (15/5/2025). Liga Debat Mahasiswa 2025 masih di babak penyisihan. Kali ini, debat mengangkat tema Keberlanjutan Bumi di Tangan Gen Z, Yes or No.
Debat mempertemukan Universitas Sebelas Maret (UNS) sebagai tim pro, dan Universitas Sumatera Utara (USU) sebagai tim kontra. Keduanya tampil solid dengan tiga anggota masing-masing.
UNS diwakili Sekar Khoiri Nismara (Teknik Sipil), Denanda (Pendidikan Kimia), dan Suciwati Santoso (Psikologi). Sementara USU menurunkan Salsabila sebagai ketua tim, bersama Riska Wika Yanti dan Cut Fitrah Ashyfa.
Tiga panelis yang hadir yaitu Arie Rostika Utami, dari Yayasan Indonesia Cerah; Prigi Arisandi, pendiri ECOTON; dan Enda Grimonia selaku Policy Analyst Manager New Energy Nexus. Sementara Yuko Utami, Jurnalis IDN Times, bertindak sebagai moderator.
1. Gen Z dan peran media sosial dalam menghadapi krisis iklim

Dalam pemaparan awal, Sekar Khoiri Nismara dari UNS menyatakan media sosial adalah alat paling efektif untuk menggerakkan kesadaran iklim di kalangan Gen Z. Dia menyebut fenomena tagar #NoViralNoJustice sebagai bukti opini publik dapat mengubah arah kebijakan, terlebih dengan dominasi generasi muda sebagai pengguna internet.
"Melalui media sosial, tercipta pengadilan opini publik yang aksesibel kepada seluruh elemen masyarakat yang akhirnya mendorong penanganan otoritas dan mengantarkan keadilan bagi kasus yang viral," kata Sekar.
Dia juga menekankan mengenai pemberitaan positif, seperti yang diinformasikan IDN Times, dalam membangkitkan harapan di tengah pesimisme generasi muda terhadap masa depan bumi. Pasalnya, saat ini generasi muda cenderung masih apatis terhadap krisis iklim.
"Berdasarkan survei Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia tahun 2024, mayoritas pengguna internet adalah generasi muda yaitu Milenial, Gen Z dan Gen Alpha dan itulah pada akhirnya kami setuju bahwa media sosial menjadi alat yang paling efektif untuk membangun kesadaran iklim di kalangan generasi muda," kata Sekar.
2. USU sebut media sosial bukan alat paling efektif

Namun, argumen itu dibantah oleh Riska Wika Yanti dari USU. Menurutnya, algoritma media sosial justru membuat informasi lingkungan hanya beredar di lingkaran yang sudah peduli.
"Media sosial bukan alat paling efektif karena algoritmanya hanya menyasar atau muncul kepada mereka yang sudah peduli. Kedua, sadar itu lahir dari aksi nyata, bukan dari konten viral di media sosial," katanya.
Menurutnya, ada solusi lain yang dinilai paling efektif dalam menyuarakan krisis iklim yaitu peran dari komunitas aksi nyata dan juga pendidikan formal.
"Komunitas aksi nyata dan juga pendidikan formal akan menjadi yang paling efektif dibandingkan dengan media sosial. Karakterisasi isu iklim yang membutuhkan kontribusi dan kolaborasi nyata," katanya.
Dia mengatakan pendidikan formal akan memberikan dasar ilmiah dan jugapengalaman yang mendalam. Jika dibandingkan dengan media sosial, maka orang seringkali hanya memunculkan keterlibatan slacktivism di mana orang hanya memberikan like di konten tanpa perlu melakukan aksi yang aktif.
"Komunitas aksi nyata dan pendidikan formal tidak akan terganggu oleh algoritma ataupun distraksi digital seperti pada media sosial. Di media sosial, isu iklim bisa saja langsung muncul di antara video viral seperti gosip atau kehidupan artis," katanya.
3. Krisis iklim antara masalah sistemik vs kesadaran individu

Di sesi saling sanggah, Sekar dari UNS menegaskan bahwa tanggung jawab terbesar atas krisis iklim terletak pada sistem, bukan individu. Dia mencontohkan sistem pengelolaan sampah di Indonesia yang tidak mendukung pemilahan dan daur ulang, serta dominasi energi berbasis batu bara yang membatasi pilihan warga.
"Bagaimana tim kontra menuntut sistem energi yang lebih bersih sementara energi yang disediakan oleh pemerintah hanya energi yang berasal dari sumber yang kotor seperti batu bara?" Kata Sekar.
Dia menegaskan bahwa pada kasus krisis iklim, kerusakan yang oleh ulah korporasi yang eksploitatif itu adalah penyebab utamanya dan bukan tindakan individual. Pada akhirnya, sebaik-baiknya hal yang bisa diupayakan individu yaitu bergantung kepada sistem.
"Ketika misalnya tim kontra mempertanyakan bagaimana permasalahan buang sampah pada tempatnya, kami rasa bagaimana tim kontra dapat meminta pertanggungjawaban masyarakat umum sementara pada akhirnya, pemerintah saja jelas-jelas melakukan korupsi pengelolaan sampah, belum lagi pada pembagian atau pemilahan sampah," kata Sekar.
4. UNS menang atas USU

Di sesi penutup, masing-masing tim menekankan kembali posisi mereka. UNS tetap memegang keyakinan bahwa Gen Z memiliki peran besar dalam keberlanjutan bumi, terutama melalui pemanfaatan media sosial sebagai alat perjuangan. Sebaliknya, USU menegaskan bahwa keberlanjutan menuntut aksi, bukan sekadar eksistensi digital.
Setelah penilaian ketat dari ketiga panelis, maka UNS diumumkan sebagai pemenang dengan skor akhir 243. UNS mengungguli USU yang mengumpulkan 239 poin. Dengan kemenangan ini, tim dari UNS berhak melaju ke babak berikutnya.
"UNS yang unggul dalam debat ini dari tim USU. Kami berharap teman-teman USU tetap semangat untuk melatih diri agar bisa berlaga di Liga Debat 2026," kata Prigi Arisandi usai mengumumkan hasil debat tersebut.