Jerat Skincare Berbahaya yang Mengancam Kesehatan

- Produk kosmetik ilegal berbahaya bagi kesehatan kulit dan organ dalam
- Dampaknya meliputi gagal ginjal, infeksi pada ginjal, serta gangguan perkembangan janin
- Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan edukasi untuk menekan peredaran skincare ilegal
Makassar, IDN Times - Keinginan untuk memiliki kulit wajah cerah dan mulus sering kali membuat banyak orang tergiur dengan produk-produk kecantikan yang menjanjikan hasil instan. Namun, di balik kilauan kulit yang tampak sempurna, tersimpan ancaman serius bagi kesehatan.
Klaim kulit putih, glowing, dan bebas jerawat dalam hitungan hari, sering kali menjadi daya tarik utama produk skincare yang beredar di media sosial. Dengan harga terjangkau dan testimoni menggiurkan, banyak orang tergoda mencoba tanpa berpikir panjang.
Di balik kilau instan yang dijanjikan, tersembunyi bahaya merkuri dan bahan berbahaya lain yang dapat merusak kulit bahkan mengancam kesehatan organ dalam. Mengapa produk seperti ini masih marak beredar? Seberapa besar risikonya? Dan bagaimana cara melindungi diri dari jerat skincare berbahaya?
1. Terjebak dalam ketergantungan

Dilla (25), seorang mantan pengguna skincare berbahaya, menjadi salah satu korban yang merasakan dampak buruk dari penggunaan produk tanpa izin edar. Dia tak pernah menyangka keputusan untuk menggunakan skincare itu justru berujung kurang baik.
Mimpi memiliki kulit wajah cerah dan glowing membawanya ke dalam pengalaman pahit yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Pada Juli 2023, dia mulai menggunakan sebuah produk skincare yang direkomendasikan temannya. Produk itu diklaim mampu mengatasi jerawat dan memberikan kulit yang bersih dalam waktu singkat.
"Awalnya, saya disarankan teman karena katanya bagus. Waktu itu wajah saya juga breakout. Mukanya juga glowing, jadi saya tertarik mencoba pakai skincare ini," kata Dilla menyebutkan salah satu merek skincare saat diwawancarai IDN Times, Kamis, 6 Maret 2025.
Namun, di balik efek instan yang dia dapatkan, tersimpan bahaya besar. Sejak awal, Dilla sebenarnya menyadari bahwa produk tersebut tidak memiliki izin dari BPOM.
"Saya tahu skincare ini berbahaya karena cari dulu di sosmed dan memang tidak BPOM. Tapi begitulah kalau orang mendengarkan saran teman bilang bagus dan muka temanku itu glowing, jadi saya juga mau. Padahal mamaku sarankan jangan pakai itu karena tidak BPOM tapi saya tergoda mau glowing," katanya sambil terkekeh.
Dalam beberapa minggu pertama, Dilla melihat perubahan drastis. Kulitnya yang sebelumnya berjerawat menjadi mulus dan bersinar. Namun, tanda-tanda bahaya mulai muncul saat dia mencoba berhenti menggunakan produk tersebut.
"Saya sadar skincare ini berbahaya pas saya berhenti. Saya coba satu pod, lalu saya berhenti. Ternyata mukaku muncul jerawat. Jadi saya coba lagi pod kedua, mukaku bersih lagi. Jadi seperti bikin ketergantungan," ungkapnya.
Dilla tetap menggunakan produk itu meskipun sadar akan risikonya. Hingga akhirnya, setelah berbulan-bulan pemakaian, dampak buruknya mulai terasa.
"Mukaku jadi kusam dan jerawatan yang besar-besar. Bahkan ketika saya pakai skincare yang ber-BPOM, itu tidak ada lagi pengaruhnya. Jadi mukaku masih begini, tapi sudah agak mendingan sedikit. Tidak separah waktu awal," katanya.
Proses pemulihan pun tak mudah. Selama enam bulan, Dilla berusaha memperbaiki kondisi kulitnya, tetapi efek skincare berbahaya itu tak langsung hilang. Namun menurutnya, kondisi wajahnya kini agak mendingan tidak seperti dulu.
Dilla berharap pengalamannya bisa menjadi pelajaran bagi orang lain. Dia berpesan kepada masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memilih produk perawatan wajah. Jangan tergoda efek instan karena dampaknya bisa lama dan sulit disembuhkan.
"Lebih baik berhenti dari awal karena ini memang bahaya yang tidak BPOM. Tambah rusak muka dan susah obatnya," katanya.
2. Ancaman merkuri dalam skincare

Kasus seperti Dilla bukanlah hal baru. Menurut dr. Idrianti Idrus, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Cabang Makassar, banyak produk skincare ilegal mengandung zat berbahaya.
Salah satu zat berbahaya yang sering ditemukan dalam skincare ilegal adalah merkuri. Merkuri bisa masuk ke dalam darah dan memengaruhi organ tubuh.
"Merkuri itu adalah sejenis logam sebenarnya. Logam cair. Yang mana sebenarnya itu dibuat untuk tensi, termometer. Itu logam cair yang untuk pabrikan. Walaupun memang terkandung ada di beberapa bahan-bahan yang sering terpapar oleh kita tapi skalanya masih kecil sekali," jelas dr. Idrianti.
Dampak penggunaan skincare bermerkuri tidak hanya terbatas pada kulit. Merkuri bisa masuk ke dalam pembuluh darah dan terakumulasi dalam tubuh, terutama ginjal. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan gagal ginjal atau gangguan kesehatan serius lainnya.
"Jadi ada beberapa kasus orang yang sering memakai pemutih, apalagi yang pemutih badan itu bisa membuat gagal ginjal atau infeksi pada ginjalnya," katanya.
Pada ibu hamil, merkuri juga berisiko mempengaruhi perkembangan janin, bahkan bisa menyebabkan kecacatan atau gangguan mental pada bayi.
"Karena sudah ada keterlibatan logam-logam, zat-zat berbahaya masuk ke dalam tubuh di bayi ketika berproses, ketika terjadi pembuatan organ," kata dr Idrianti.
Penggunaan merkuri dalam kosmetik memang memberikan efek instan, seperti wajah lebih cerah dan bebas jerawat dalam waktu singkat. Namun, efek jangka panjangnya sangat berbahaya. Selain dapat menyebabkan gangguan ginjal juga bisa menyebabkan flek hitam permanen.
"Jadi mukanya yang dulunya aman-aman saja, kinclong dan sebagianya, tiba-tiba fleknya datang seluruh muka. Selain itu ada juga namanya okronosis eksogen atau endogen. Endogen itu biasa ada bercak-bercak, titik-titik hitam di lidah, hati dan sebagainya," jelasnya.
3. Kenali skincare bermerkuri

Dia pun menjelaskan merkuri berbahaya karena produk yang dioleskan di permukaan kulit akan menyerap ke dalam lapisan kulit. Kemudian, merkuri akan bisa masuk ke dalam pembuluh darah. Kulit akan mengambil nutrisi dari luar.
Ketika kulit mengambil nutrisi dari luar, selain nutrisi yang diperoleh dari oksigen, maka terjadi oksidasi yaitu reaksi kimia yang terjadi ketika suatu zat bereaksi dengan oksigen. Selain paru-paru, oksigen juga bisa juga didapatkan dari kulit. Oksigen juga bisa menutrisi ke dalam kulit.
Namun ketika diaplikasikan secara merata di permukaan kulit, maka zat itu akan masuk ke dalam pembuluh darah. Jika digunakan terus-terusan, maka inilah yang akan berbahaya bagi kesehatan.
"Walaupun jumlahnya sedikit tapi kalau konsisten, setiap hari, setiap waktu, setiap jam itu selalu ada di permukaan kulit, itu akan menjadi akumulasi merkuri yang sangat tinggi dalam darah dan nanti akan dimetabolisme di dalam ginjal," katanya.
Dr Idrianti menjelaskan cara mengenali skincare yang mengandung merkuri tidak mudah dan memerlukan uji laboratorium. Namun, ada beberapa tanda yang bisa diperhatikan, setidaknya sebelum memutuskan untuk membeli produk skincare.
"Untuk mengetahui kandungan merkuri itu memang harus cek lab. Tidak bisa dengan kasat mata saja. Jadi biasa yang paling awam baunya sangat menyengat. Ketika baunya sangat menyengat itu akhirnya disamarkan," katanya.
Untuk menutupinya, produsen sering menambahkan parfum yang kuat. Jika menemukan krim atau skincare dengan aroma terlalu wangi atau menyengat, maka sebaiknya waspada.
Jika sudah terlanjur menggunakan produk bermerkuri, dr. Idrianti menyarankan untuk segera menghentikan pemakaian. Selain itu, sebaiknya menerapkan detoksifikasi secara alami.
"Kemudian pola hidup sehat, olahraga supaya bisa mengeluarkan toksinnya melalui keringat. Lalu kalau bisa, langsung berobat ke dokter spesialis kulit dan kelamin karena kami bisa mendeteksi dan bisa melihat potensi apakah ini berbahaya atau tidak," katanya.
4. Produk ilegal masih mudah beredar

Meskipun pemerintah telah mengatur ketat peredaran produk kecantikan, masih banyak produk ilegal yang beredar di pasaran, terutama melalui e-commerce dan media sosial. Hikmawati Ribi, Dosen Hukum Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar, menjelaskan bahwa ada berbagai regulasi yang mengatur keamanan produk kosmetik, termasuk Undang-Undang Kesehatan dan Peraturan BPOM tentang Persyaratan Teknis Kosmetika.
Beberapa peraturan tersebut yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur standar dan keamanan produk kosmetik; UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mewajibkan produsen memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan; Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2023 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika yang mencakup izin edar, daftar bahan yang dilarang, serta proses produksi kosmetik; serta Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1176/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika yang mewajibkan pendaftaran produk sebelum beredar di pasaran.
Namun, meskipun regulasi telah ada, pengawasan masih menghadapi tantangan besar, terutama dengan maraknya peredaran skincare ilegal melalui e-commerce dan media sosial. Padahal konsekuensi hukum bagi individu atau perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan skincare ilegal cukup berat.
Pelaku yang terbukti memproduksi atau mendistribusikan produk berbahaya dapat dikenakan pidana hingga 15 tahun penjara atau denda maksimal Rp1,5 miliar sesuai UU Kesehatan. Selain itu, BPOM dapat mencabut izin usaha dan menyita produk ilegal, serta denda administratif.
"Dari sisi perdata, konsumen yang mengalami kerugian berhak mengajukan tuntutan ganti rugi berdasarkan UU Perlindungan Konsumen," jelas Hikmawati.
Bagi konsumen yang mengalami dampak negatif akibat produk ilegal, ada beberapa langkah hukum yang bisa ditempuh. Langkah tersebut yaitu melaporkan ke BPOM atau kepolisian jika mengalami efek samping akibat produk ilegal, mengajukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen untuk menuntut ganti rugi, serta menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Hikmawati menjelaskan selama ini pengawasan industri skincare berada di bawah naungan BPOM melalui berbagai mekanisme, seperti notifikasi kosmetik, inspeksi berkala, uji laboratorium, serta tindakan hukum terhadap pelanggaran. Namun, menurutnya, efektivitas penegakan hukum masih menghadapi tantangan besar.
Tantangan besarnya, terutama dalam mengawasi distribusi produk ilegal yang banyak beredar melalui e-commerce dan media sosial. Perdagangan online sulit diawasi sepenuhnya. Belum lagi, kesadaran masyarakat atau konsumen tentang bahaya produk ilegal juga masih kurang. Kemudian, pelaku usaha yang mencari celah regulasi, seperti menggunakan jasa reseller tanpa izin resmi.
"Penegakan hukum telah berjalan, tetapi masih terdapat celah dalam pengawasan, terutama terhadap produk yang dijual secara online. BPOM dan kepolisian sering melakukan razia serta tindakan hukum, namun produk ilegal tetap beredar luas karena tingginya permintaan pasar," katanya.
Karena itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, BPOM, kepolisian, serta e-commerce untuk menekan peredaran skincare ilegal. Menurutnya, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap marketplace dan media sosial, serta memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai risiko penggunaan produk ilegal.
"Kolaborasi antara BPOM, kepolisian, dan platform e-commerce untuk memblokir penjualan produk ilegal. Kemudian, mendorong pelaku usaha agar mengurus izin edar BPOM guna menjamin keamanan produk yang dipasarkan," katanya.