Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Rojali-Rohana dan Masa Depan Mal di Era Belanja Online

Trans Studio Mall Makassar 2.jpeg
Pengunjung Trans Studio Mall Makassar, Sabtu (23/8/2025). IDN Times/Ashrawi Muin
Intinya sih...
  • Fenomena Rojali-Rohana di Indonesia
  • Respons manajemen mal dan tenant
  • Pergeseran pola konsumsi
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Makassar, IDN Times - Deru musik pop Korea membahana dari atrium Trans Studio Mall (TSM) Makassar. Layar LED menampilkan idol grup lokal yang sedang menari, lampu sorot menyalakan warna-warni merah jambu dan biru elektrik. Ratusan anak muda berkumpul di tengah, sebagian berdiri di kursi, sebagian lagi menodongkan kamera ponsel untuk merekam setiap detik. Dari kejauhan, suasana itu seperti festival mini yang semarak, bising, dan penuh tawa.

Namun saat acara usai, keramaian perlahan bubar. Anak-anak muda itu berfoto sebentar di dinding mural Instagrammable, lalu melangkah ke pintu keluar. Tenant-tenant yang berjajar di sekeliling atrium, mulai dari butik pakaian, toko kosmetik, hingga elektronik nyaris tidak mendapat satu pun pembeli.

Mereka datang ramai-ramai, nonton acara, foto-foto, lalu pulang. Itu sekarang disebut Rojali dan Rohana. Rojali adalah singkatan dari rombongan jarang beli sedangkan Rohana berarti rombongan hanya nanya.

Dua istilah yang awalnya beredar sebagai guyonan netizen itu kini menjelma fenomena nyata. Bukan sekadar kebiasaan iseng anak muda, melainkan gejala sosial ekonomi yang merambat di hampir semua kota besar di Indonesia.

Di Kota Medan, Manajemen Delipark Mall mengakui bahwa Rojali dan Rohana bukan sesuatu yang harus ditakuti, tapi menjadi pemacu pusat perbelanjaan untuk lebih kreatif dalam upaya memenuhi kebutuhan pengunjungnya serta secara aktif berkolaborasi dengan tenant dalam membuat promo dan event program yang menarik.

Public Relations and Promotion Officer Delipark Medan, Vanessa Pascalya mengatakan traffic dan penjualan bersinergi, promosi yang aktif, tenant yang lengkap serta event yang menarik tentunya akan menumbuhkan ketertarikan pengunjung dalam berbelanja dan datang ke pusat perbelanjaan.

"Strategi mal dalam mengubah pengunjung Rojali dan Rohana menjadi pembeli yaitu pusat perbelanjaan haruslah memiliki ciri khas, dapat membaca kebutuhan pengunjung dan memenuhi kebutuhan tersebut, tentunya kolaborasi aktif tenant dalam memberikan promo, progam belanja dari mall serta event yang menarik akan menjadi daya tarik tersendiri," katanya pada IDN Times.

1. Fenomena Rojali-Rohana di Indonesia

Trans Studio Mall Makassar.jpeg
Pengunjung Trans Studio Mall Makassar, Sabtu (23/8/2025). IDN Times/Ashrawi Muin

Di Bali, generasi muda menganggap mal lebih dari sekadar pusat belanja. Ia menjelma ruang rekreasi alternatif pengganti taman kota yang teduh, nyaman, dan tentu saja berpendingin udara. Sementara di NTB, muncul istilah baru: Rohalus, singkatan dari rombongan hanya lihat-lihat untuk seru-seruan. Bagi anak-anak muda Lombok, sekadar nongkrong di mal, mencicipi jajanan, atau selfie di spot cantik sudah cukup jadi hiburan.

Sama halnya di Lampung, generasi Z bahkan menyikapinya dengan santai. Mereka memandang mal sebagai ruang sosial, tempat bertemu kawan, bukan sekadar lokasi transaksi ekonomi.

Potret rojali dan rohana di daerah tidak bisa dibaca tunggal. Ia serentak menghadirkan wajah-wajah optimisme, simbol kemajuan, sekaligus kritik terhadap ketidakadilan ekonomi. Mal menjadi ruang di mana semua itu bertemu, tumpang tindih, dan membentuk narasi baru tentang kota dan masyarakatnya.

Terbukanya pasar, tidak melulu membuat anak muda memandang bahwa pergi ke mal untuk berbelanja. Mereka lebih selektif dalam membeli sesuatu yang bersifat impulsif.

Febri, seorang anak muda di Kota Palembang menuturkan, bahwa dirinya rutin mengunjungi mall untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial seperti kumpul bersama teman atau sekedar mencari hiburan lain.

"Saya cukup rutin ke mall, tapi hanya untuk keperluan hiburan seperti makan, nonton bioskop atau sekedar jalan-jalan," ungkapnya.

2. Respons manajemen mal dan tenant

Trans Studio Mall Makassar 3.jpeg
Pengunjung Trans Studio Mall Makassar, Sabtu (23/8/2025). IDN Times/Ashrawi Muin

Marketing Communication Trans Studio Mal (TSM) Bandung, Putri Pratiwi merespons positif. Ia mengatakan, kemunculan Rojali dan Rohana merupakan hal yang wajar, dan bukan berarti menjadi persoalan yang buruk terhadap pusat perbelanjaan modern.

Menurutnya, kemunculan Rojali dan Rohana ini tetap ada sisi positif yang bisa diambil yaitu, turut membuat jumlah kunjungan meningkat. "Fenomena ini wajar muncul sebagai bagian dari dinamika perilaku pengunjung. Mereka menambah keramaian sekaligus memperkaya atmosfer mal," ujar Putri kepada IDN Times, Jumat (22/8/2025).

Banyak sisi baik yang bisa diambil dari munculnya fenomena Rojali dan Rohana ini. Termasuk para tenan di dalam mal yang nantinya bisa dikonversikan sebagai transaksi.

"Karena tetap berkontribusi pada peningkatan traffic dan memberi peluang bagi mal maupun tenant untuk mengonversinya menjadi transaksi," katanya.

TSM sendiri berada di dekat pusat Kota Bandung, pengunjung yang datang dari berbagai kalangan, termasuk Gen Z. Meski begitu, Putri menegaskan, pihaknya tidak mempermasalahkan mengenai adanya Rojali dan Rohana.

"Gen Z datang dengan motivasi beragam: rekreasi, hiburan, sekaligus content creation. Bagi TSM, ini peluang besar untuk menciptakan program yang bisa menghubungkan gaya hidup digital mereka dengan transaksi nyata di tenant," kata dia.

Sementara Public Relations Executive TSM Makassar, Rizky Maulidiana Haris mengatakan, jumlah pengunjung dalam dua hingga tiga tahun terakhir cenderung stabil dan menunjukkan tren positif. 

Katanya, mal kini tidak lagi dipandang sebatas ruang belanja. Pihaknya melihat memang ada pergeseran fungsi mal, tidak hanya sebagai pusat perbelanjaan tetapi juga sebagai destinasi gaya hidup, hiburan, dan rekreasi sosial.  

"Hal ini justru memperluas peran mal sebagai ruang publik modern yang bisa memenuhi kebutuhan belanja sekaligus pengalaman bersosialisasi," kata Rizky kepada IDN Times.

3. Pandangan pengunjung Gen-Z

Trans Studio Mall Makassar 4.jpeg
Pengunjung Trans Studio Mall Makassar, Sabtu (23/8/2025). IDN Times/Ashrawi Muin

Fenomena Rojali dan Rohana awalnya hadir sebagai istilah ringan di media sosial. Istilah ini lahir dari kebiasaan masyarakat yang datang ke pusat perbelanjaan hanya untuk jalan-jalan, melihat-lihat, atau sekadar mencari suasana berbeda tanpa niat belanja serius. Awalnya, istilah itu dilekatkan pada kelompok anak muda yang menjadikan mal sebagai ruang berkumpul, nongkrong, atau konten untuk media sosial. Namun, lama-kelamaan, istilah ini melebar. Generasi keluarga, pasangan muda, bahkan komunitas tertentu pun mulai terasosiasi dengan perilaku serupa.

Tak pelak, istilah rojali dan rohana pun memantik perdebatan. Apakah ia sekadar label yang menyudutkan pengunjung mal yang tak berbelanja? Ataukah ia cermin dari realitas baru tentang bagaimana ruang kota dipakai warganya? Di Bali, misalnya, muncul kritik terhadap istilah ini yang dianggap memberi stigma. Bagi sebagian orang, aktivitas jalan-jalan di mal tidak selalu harus berujung belanja. Ada yang sekadar mencari hiburan, tempat aman untuk membawa anak, atau ruang netral untuk bertemu teman. Mal, pada akhirnya, bukan lagi semata-mata mesin ekonomi, melainkan bagian dari lanskap sosial masyarakat urban Indonesia.

Bagi Fita, anak muda di Bali, istilah rojali-rocita akan cukup mengganggu jika terus-menerus diulang. Sebab, tak ada yang salah dari melihat-lihat tanpa berbelanja di mal. Istilah rojali-rocita seolah menyudutkan pengunjung mal yang tidak berbelanja karena daya beli masyarakat sedang melemah.

“Kayaknya gak ada salahnya sih kita cuma cuci mata yang mungkin kayak little bit annoying (sedikit mengganggu), kalau misalkan ditekan-tekan (produknya), terus kayak itu (istilah rojali-rocita),” papar Fita.

4. Pergeseran pola konsumsi

Trans Studio Mall Makassar 5.jpeg
Pengunjung Trans Studio Mall Makassar, Sabtu (23/8/2025). IDN Times/Ashrawi Muin

Dari kacamata akademisi, fenomena ini mencerminkan pergeseran pola konsumsi masyarakat. Pengamat Ekonomi Keuangan dan Perbankan di Makassar, Sutardjo Tui, menilai mal kini berfungsi sebagai ruang perbandingan harga dan kualitas. Konsumen memanfaatkannya untuk melihat langsung produk sebelum akhirnya bertransaksi secara online.

"Rojali dan rohana itu sebenarnya bukan jalan-jalan saja, mereka pergi makan di mal. Jadi yang maju itu makanannya. Tapi untuk yang lain-lain, dia hanya membandingkan, dia lihat, kalau barang ini berapa harganya. Kalau dia suka, dia tidak beli, cuma dia pesan lewat online," kata Sutardjo saat dihubungi IDN Times, Minggu (24/8/2025).

Sutardjo menilai kondisi ini tidak menggambarkan penurunan daya beli. Sebaliknya, pola konsumsi hanya bergeser ke platform digital atau e-commerce.  "Tidak. Ini cuma bergeser. Konsumen kini lebih banyak membeli secara online, tetapi tetap perlu melihat merek dan kualitas produk terlebih dahulu di mal sebagai pembanding. Oleh karena itu, transaksi non tunai meningkat di Sulsel. Pertumbuhannya bagus," jelasnya.

Bank Indonesia (BI) mencatat, jumlah transaksi pada platform niaga elektronik atau e-commerce terus mengalami pertumbuhan dengan nilai mencapai Rp44,4 triliun atau tumbuh 2,32 persen (year-on-year/yoy) pada Juli 2025.

“Nominal transaksi e-commerce ini juga tumbuh, secara month-to-month (mtm) itu 6,41 persen, secara yoy itu 2,32 persen atau sebesar Rp44,4 triliun,” kata Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Agustus 2025 secara daring di Jakarta, Rabu (20/8/2025) dikutip ANTARA. Filianingsih juga menyebut, nilai rata-rata transaksi berkisar Rp95 ribu per transaksi.

Selain nilai nominal, volume transaksi juga disebut mengalami peningkatan, yakni tumbuh 6,64 persen (mtm) dan 16,89 persen (yoy) atau sebesar 466,93 juta transaksi. Kemudian secara umum, kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital pada Juli 2025 tetap baik didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar dan andal.

Dari sisi transaksi, pembayaran digital meningkat di seluruh komponen sehingga tumbuh 45,30 persen (yoy) dan mencapai 4,44 miliar transaksi.

Kemudian, pertumbuhan jumlah pengguna dan merchant juga memengaruhi peningkatan volume transaksi aplikasi mobile dan internet meningkat masing-masing sebesar 26,07 persen (yoy) dan 12,68 persen (yoy), termasuk volume transaksi pembayaran digital melalui QRIS yang tumbuh tinggi 162,77 persen (yoy).

Dari sisi infrastruktur, volume transaksi ritel yang diproses melalui BI-FAST tumbuh 37,56 persen (yoy) sehingga mencapai 414,62 juta transaksi, dengan nilai mencapai Rp1.016,48 triliun di sepanjang Juli 2025.

Volume transaksi nilai besar yang diproses melalui BI-RTGS tercatat sebanyak 959,32 ribu transaksi dengan nilai sebesar Rp19.791,94 triliun di sepanjang Juli 2025.

Pergeseran pola konsumsi dan metode belanja di kalangan anak muda, dikemukakan Buniamin (30) di Kota Mataram. Ia mengaku sering ke pusat perbelanjaan modern. Saat ini, ada tiga pusat pembelanjaan modern yang cukup besar di Kota Mataram yaitu Mataram Mall, Lombok Epicentrum Mall dan Transmart Mataram.

Namun begitu, ia menilai harga pakaian di mal lebih mahal daripada di toko. Sehingga, dia lebih memilih membeli pakaian dari toko online. "Rata-rata ke mal untuk kulineran dan nonton bioskop. Kalau pakaian banyak olshop (online shop). Kita lebih banyak beli lewat online," tuturnya.

Ekonom Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Abdul Bashir, juga menambahkan, "Perilaku konsumen urban cenderung berkunjung tanpa banyak bertransaksi di mal dianggap sebagai shifting consumption ke sektor lain di luar Mal, atau lebih tepatnya, pergeseran dalam alokasi pengeluaran di dalam ekosistem Mal itu sendiri," ungkap Abdul Bashir kepada IDN Times, Jumat (22/8/2025).

Infografis pertumbuhan transaksi e-commerse di Indonesia. IDN Times/Aditya Prataman
Infografis pertumbuhan transaksi e-commerse di Indonesia. IDN Times/Aditya Prataman

5. Mal sebagai ruang sosial

IMG-20250701-WA0120.jpg
Jetour perkenalkan dua varian SUV di Centre Point Mal Medan (dok.Jetour)

Kehadiran Rojali dan Rohana adalah tanda bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah tetap membutuhkan ruang untuk rekreasi, meski tidak selalu punya daya beli. Jika ditarik lebih jauh, fenomena Rojali dan Rohana bukan sekadar cerita tentang belanja atau tidak belanja. Ia menyentuh ranah sosial budaya.

Di Bali, misalnya, anak muda Tabanan mengaku ke mal bukan untuk belanja, melainkan kulineran. Mal menjadi tempat aman, bersih, dan nyaman untuk bertemu teman. Di Denpasar, mal bahkan dianggap sebagai ruang rekreasi alternatif, terutama ketika akses ke taman kota masih terbatas. Di Kota Denpasar sendiri setidaknya keberadaan mal menjadi pilihan anak-anak untuk rekreasi, dan orangtua untuk berbelanja. Seperti diungkap oleh ibu rumah tangga di Kecamatan Denpasar Utara, Radha (30). Ia mempertimbangkan pilihan mal untuk membawa anak-anaknya keluar.

"Kalau punya anak mending ke mal aja, lebih aman aja dibandingkan public area lainnya di Denpasar," terangnya.

Pelajar perempuan di Kota Denpasar, Shabilla (14), menganggap mal sebagai tempat rekreasi. Sekali berkunjung ke mal, ia akan menghabiskan waktu lebih dari dua jam. Satu mal favoritnya di Denpasar adalah Living World. Ia berbelanja baju, tas, makanan, hingga bemain di mal tersebut. Adik laki-lakinya juga begitu. Ozora (12), juga suka pergi ke mal hanya untuk bermain di Times Zone.

Radha biasanya memilih pergi ke mal Living World sambil membawa kedua anaknya setiap Minggu. Selain itu, juga untuk berbelanja. Keberadaan mal baginya menjadi tempat pilihan keluarga yang berdomisili di perkotaan. Karena selain mudah diakses, tempatnya terjaga dan bersih. Menurutnya, mal pasti menghadirkan berbagai macam tenant baju, food and beverage. Sehingga memudahkan untuk mencari kebutuhan di satu lokasi.

"Cukup sering mungkin seminggu sekali untuk pergi makan di mal dan bermain di permainan anak," ungkapnya.

Mal juga menjadi alasan ia membawa kedua anaknya pergi karena lebih memadai kids zone-nya dibandingkan area publik di Kota Denpasar. Namun ketika keluar bersama suaminya tanpa membawa anak-anak, Radha cenderung memilih alam terbuka dan pantai.

6. Potensi besar kelompok Rojali-Rohana

Manajemen Mal Ciputra Semarang mengajak anak-anak Panti Asuhan Rahmatillah Al Islamy dari Kabupaten Semarang berbelanja gratis kebutuhan Lebaran, Rabu (26/3/2025). (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)
Manajemen Mal Ciputra Semarang mengajak anak-anak Panti Asuhan Rahmatillah Al Islamy dari Kabupaten Semarang berbelanja gratis kebutuhan Lebaran, Rabu (26/3/2025). (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Jawa Timur (APPBI Jatim) Sutandi Purnomosidi mengatakan, orang-orang yang datang ke mal tanpa membeli sebagai Rojali dan Rohana. Ia mengistilahkan mereka sebagai potential buyer.

Orang-orang yang hanya sekedar jalan-jalan di mal tanpa membeli apapun itu sudah ada sejak lama. “Saya katakan bukan rohana atau rojali, sebenarnya dari dulu orang jalan-jalan ke mall atau window shopping itu banyak,” ujar Sutandi, Jumat (22/8/2025).

Bagi Direktur Marketing Pakuwon Group ini, orang jalan-jalan ke mal untuk menghabiskan waktu tanpa membeli apapun adalah hal yang wajar. Walaupun tidak membeli, mendatangkan pengunjung ke mal adalah salah satu upayanya untuk meningkatkan penjualan di setiap toko.

“Di Surabaya kita terus berupaya orang mau datang ke mal untuk mau spending ya atau jalan-jalan juga nggak apa-apa,” ungkapnya.

Meski sering dipandang negatif, istilah Rojali dan Rohana sebenarnya menyingkap realitas kelas sosial. Mereka yang kerap diasosiasikan dengan datang hanya untuk menikmati fasilitas mal tanpa mengeluarkan banyak uang, menghadirkan dinamika baru: demokratisasi ruang mal. Tak lagi eksklusif untuk kalangan menengah ke atas, mal kini menjadi milik semua kalangan.

Fenomena Rojali dan Rohana mungkin lahir sebagai guyonan, tetapi dampaknya jauh lebih serius. Ia membuka perbincangan tentang arah masa depan pusat perbelanjaan di Indonesia.

Apakah mal akan kehilangan fungsi ekonominya karena belanja beralih ke platform online? Atau justru menemukan fungsi baru sebagai ruang sosial, tempat orang membangun interaksi, identitas, dan komunitas?

Jawabannya mungkin ada di tengah-tengah. Belanja online memang tak terbendung, tetapi mal tidak akan mati. Mal akan berevolusi, menjadi hibrida antara ruang belanja dan ruang sosial. Di situlah Rojali, Rohana, bahkan Rocita atau Rohalus menemukan tempatnya. Mereka adalah generasi yang mendefinisikan ulang makna mal di era digital.

Pada akhirnya, kita bisa melihat Rojali dan Rohana bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai tanda zaman. Sebuah simbol bahwa cara kita berinteraksi dengan ruang konsumsi telah berubah. Dari sekadar transaksi, menjadi pengalaman. Dari membeli barang, menjadi membeli suasana. Dan dari sekadar nongkrong, mungkin suatu saat akan kembali lagi ke belanja dengan cara yang lebih sadar, lebih selektif, dan lebih sesuai dengan identitas diri.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irwan Idris
EditorIrwan Idris
Follow Us