Viral Pro-Kontra Revisi UU TNI, Ini Tanggapan Anggota DPR Deng Ical

- Revisi UU TNI jadi perbincangan karena potensi kembalinya dwifungsi TNI
- Usulan revisi sudah muncul sejak 2010, namun baru mendapat perhatian serius
- Polemik terkait kewenangan TNI masuk ke kementerian sipil yang bisa mengganggu supremasi sipil
Makassar, IDN Times - Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Anggota Komisi I DPR RI, Syamsu Rizal, menyebut viralnya revisi ini wajar karena menyangkut isu demokrasi dan potensi kembalinya dwi fungsi TNI.
"Kalau undang-undang TNI ini revisinya kan pantas viral karena menggugah rasa demokrasinya orang. Karena dianggap ada potensi untuk kembalinya dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI," ujar Syamsu Rizal saat ditemui di Debar Kopi Jl Ratulangi Makassar, Minggu (16/3/2025).
1. Sebut revisi UU TNI muncul sejak 2010

Pria yang akrab disapa Deng Ical ini juga menegaskan bahwa revisi ini sebenarnya sudah menjadi keharusan mengingat UU TNI yang berlaku saat ini sudah berusia 20 tahun. Usulan revisi juga telah muncul sejak 2010, tetapi baru sekarang mendapat perhatian serius.
"Jadi sebenarnya sudah patut dipertanyakan kenapa 14 tahun ini belum selesai," tambahnya.
2. Isu supremasi sipil dan penempatan TNI di kementerian sipil

Namun menurutnya, beberapa pasal dalam revisi UU TNI dinilai berpotensi menimbulkan polemik, khususnya terkait kewenangan TNI masuk ke berbagai kementerian sipil. Isu ini menjadi perhatian karena dinilai bisa mengganggu supremasi sipil.
"Yang paling krusial itu adalah karena dianggap TNI berpotensi bisa masuk di beberapa kementerian sipil yang selama ini dianggap bisa mengganggu supremasi sipil," kata Deng Ical.
Setelah melalui diskusi dengan berbagai NGO, jumlah kementerian yang dapat dimasuki oleh TNI dikurangi dari usulan awal lebih dari 20 menjadi sekitar 15 kementerian. Sebelumnya, UU TNI telah mengakomodasi 10 kementerian yang bisa ditempati prajurit aktif.
Beberapa tambahan dalam revisi ini mencakup Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Pengelola Wilayah Perbatasan, serta Kementerian Kelautan yang memiliki hubungan erat dengan aspek pertahanan.
3. Isu pembahasan di hotel dan hubungan dengan presiden terpilih

Terkait kesan tertutup dalam pembahasan revisi ini karena dilakukan di hotel, Deng Ical menegaskan bahwa hal tersebut bukan sesuatu yang luar biasa. Menurutnya, banyak pembahasan undang-undang dilakukan di luar gedung DPR, termasuk melalui mekanisme konsinyering.
"Saya tidak tahu ya, tetapi kalau soal hotelnya, sebenarnya tidak masalah karena banyak sekali yang di hotel. Kemarin itu di hotel untuk Panja ini bikin lagi panitia konsinyering. Jadi ini proses konsinyering," jelasnya.
Ia juga membantah anggapan bahwa revisi ini terkait dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden yang memiliki latar belakang militer.
"Saya enggak tahu ya, kalau ada hubungannya, tapi menurut saya tidak ada karena ini carryover (sisa) dari periode sebelumnya, dan sudah tiga periode revisi ini terus berlanjut," pungkasnya.
4. Revisi UU TNI dinilai sebagai pengkhianatan semangat reformasi

Pembahasan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang dikebut oleh DPR mendapat penolakan keras dari 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG).
Koalisi menilai revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.
Koalisi memandang DPR dan Pemerintah sedang mengkhianati kewajiban Indonesia dalam menjalankan komitmennya di berbagai mekanisme HAM Internasional. Selain itu, revisi UU TNI ini tidak hanya merusak agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pembangkang terhadap komitmen HAM internasional.
"Revisi UU TNI ini adalah pengkhianatan terhadap Reformasi 1998. Kembalinya dwifungsi TNI hanya akan memuluskan jalan bagi militerisme dan impunitas, seperti yang terjadi di masa Soeharto," tegas HRWG dalam keterangannya, Minggu (16/3/2025).