Penangkapan 40 Terduga Penipu Online oleh TNI Dinilai Langgar Wewenang

- Penangkapan 40 terduga pelaku penipuan online oleh TNI di Sidrap melanggar batas kewenangan, seharusnya tugas kepolisian.
- Keterlibatan TNI dalam ruang sipil menimbulkan kekhawatiran luas di masyarakat, berbagai laporan tindakan melampaui batas.
- LBH Makassar mengingatkan risiko normalisasi dwifungsi militer dengan masuknya TNI dalam penegakan hukum sipil.
Makassar, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai penangkapan 40 orang terduga pelaku penipuan online atau passobis asal Kabupaten Sidrap, oleh Tim Khusus Gabungan Intelijen Kodam XIV Hasanuddin pada 24 April 2025, melanggar batas kewenangan TNI.
LBH Makassar menegaskan bahwa tindakan ini merupakan pelanggaran hukum, sebab penegakan hukum terhadap warga sipil bukanlah tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI), melainkan kepolisian.
1. Dikhawatirkan TNI kembali masuk ke ruang sipil

Menurut Direktur LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa, TNI hanya berwenang dalam bidang pertahanan negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI, bukan menangani perkara hukum sipil.
"Tidak terdapat dasar hukum dan legitimasi yang sah bagi TNI untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap warga sipil," ucap Azis dalam keterangannya, Senin (28/4/2025).
Keterlibatan TNI dalam ruang-ruang sipil kini menimbulkan kekhawatiran luas di masyarakat. Setelah pengesahan UU TNI terbaru, berbagai laporan muncul mengenai tindakan TNI yang dinilai melampaui batas.
"Seperti pembubaran diskusi mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, intervensi dalam aksi demonstrasi, hingga penangkapan terduga pelaku kriminal. Kita menginginkan penegakan hukum berjalan, namun tetap dalam koridor prosedur hukum yang berlaku," tegas Azis.
2. Risiko normalisasi dwifungsi militer

LBH Makassar menilai, kultur militer yang identik dengan penggunaan kekerasan berisiko mempersempit ruang sipil dan memperbesar kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Masuknya TNI dalam ranah penegakan hukum sipil dikhawatirkan menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer yang telah dihapuskan pascareformasi
"Penangkapan yang dilakukan oleh TNI, sekalipun dengan dalih adanya pelaku kejahatan, tetap harus dilakukan sesuai dengan prosedur sistem peradilan pidana umum," jelasnya.
Aziz mengingatkan bahwa masa lalu mencatat banyak pelanggaran HAM berat yang dilakukan ketika militer berperan ganda di bidang sipil dan militer, seperti tragedi Tanjung Priok, Semanggi I dan II, hingga penghilangan paksa aktivis 1996-1998. Penembakan massa aksi pejuang reformasi, DOM Aceh, dan berbagai tindakan pelanggaran HAM lainnya.
"Penangkapan oleh TNI terhadap warga sipil tanpa dasar hukum jelas adalah bentuk kesewenang-wenangan yang membuka jalan bagi impunitas," jelas Abdul Azis.
3. Desak anggota yang terlibat penangkapan ditindak

LBH Makassar mendesak agar tindakan Kodam XIV Hasanuddin dievaluasi dan semua anggota TNI yang terlibat dalam penangkapan tersebut diberikan sanksi sesuai hukum, guna mencegah pengulangan pelanggaran serupa di masa depan.
"Hal ini dapat dipastikan TNI sulit disentuh hukum meskipun anggotanya melakukan pelanggaran hukum," tandasnya.
Dikatakan, TNI tidak memiliki wewenang untuk terlibat dalam proses tersebut. Pengambilalihan tugas kepolisian oleh pihak Kodam XIV Hasanuddin dalam kasus ini merupakan perbuatan melawan hukum. "Bertentangan dengan undang-undang sehingga semua anggota TNI yang terlibat harus dievaluasi dan disanksi karena bekerja di luar fungsinya," tegas Azis.
4. Tanggapan Kodam XIV Hasanuddin

Menanggapi hal itu, Kapendam XIV/Hasanuddin, Kolonel Arm Gatot Awan Febrianto menegaskan, bahwa operasi penangkapan terhadap 40 terduga pelaku passobis karena mereka dalam melakukan aksinya mencatut nama institusi TNI.
"Sudah kita jelaskan di rilis awal, kalau kita bergerak karena ada yang mencatut nama pejabat. Institusi kita dirusak, dirugikan. Bukan cuma TNI yah, tapi masyarakat juga," ujarnya saat dikonfirmasi IDN Times, Selasa (29/4/2025).
Menurutnya, sudah banyak masyarakat yang jadi korban passobis namun tidak melapor secara resmi, malah lebih memilih mengeluh di media sosial.
"Jadi kita melaksanakan penelusuran. Kita bergeraknya bukan asal-asalan, karena kita dirugikan. Nama pejabat Kodam dicatut untuk menipu," ujarnya.
Terkait alasan tidak melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian saat melakukan penangkapan, Gatot mengaku bahwa kondisi di lapangan memerlukan tindakan yang cepat. Agar pelaku tidak kabur karena lokasinya sudah terdeteksi.
"Sebenarnya faktor kecepatan (bertindak) saja, dengan situasi dan kondisi di lapangan pada waktu itu, butuh kecepatan untuk menangkap pelaku daripada (pelaku) kabur. Itu aja. Intinya kecepatan. Kalau sekian detik telat, kan, sudah beda ceritanya. Entah kabur atau apa, malah tidak terungkap," jelasnya.
Sehingga Gatot menyatakan, apa yang dilakukan TNI semata-mata hanya membantu tugas kepolisian untuk mengungkap kasus kriminal. Bukan untuk mengambil alih tugas polisi.
"Mudah-mudahan bisa memahami semuanya, posisinya TNI kan membantu Polisi. Bukan kita ingin mengambil alih, kan ada di UU TNI tuh, membantu tugas Kepolisian dalam rangka Kamtibmas. Tidak ada salahnya kalau TNI memberantas kejahatan, menangkap dulu baru diserahkan (ke polisi)," tegasnya.