Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

10 Film Terburuk Abad ke-21 yang Gagal Total, Sudah Nonton? 

cuplikan film Birdemic 2: The Resurrection (dok. Moviehead Pictures, Chill/Birdemic 2: The Resurrection)

Abad ke-21 telah menyaksikan munculnya beberapa film yang paling inovatif dan menakjubkan dalam sejarah perfilman. Namun sayangnya, abad ini juga menghasilkan banyak film yang gagal total. Kegagalan ini beragam mulai dari produksi anggaran besar yang salah arah hingga proyek indie yang aneh serta sekuel-sekuel yang disusun dengan buruk dan menyia-nyiakan potensi yang dimilikinya.

Sepuluh film berikut ini mewakili titik terendah dalam pembuatan film abad ke-21 sejauh ini. Mereka termasuk film kultus dan upaya yang salah arah untuk mengadaptasi waralaba yang dicintai. Beberapa di antaranya begitu buruk sehingga menjadi unik sendiri sementara yang lain benar-benar tidak dapat ditonton. Yuk, langsung simak daftarnya!

1. The Room (2003)

cuplikan film The Room (dok. Chloe Productions TPW Films/The Room)

"Kau menghancurkanku, Lisa!" adalah salah satu dialog ikonik dari film The Room, sebuah film yang begitu buruk sehingga justru menjadi menghibur. Film ini menampilkan Tommy Wiseau yang merangkap sebagai bintang, sutradara, penulis, dan produser, sebagai Johnny seorang bankir sukses yang hidupnya hancur ketika ia menemukan bahwa tunangannya, Lisa (Juliette Danielle) berselingkuh dengan sahabatnya, Mark (Greg Sestero). Dari sinilah film ini dengan cepat berubah menjadi kekacauan yang lucu dan tidak disengaja, dipenuhi dengan dialog yang absurd, akting yang buruk, dan pilihan pengeditan yang aneh (seperti adegan cinta yang panjang dan canggung dengan iringan lagu "You're My Rose" oleh Kitra Williams & Reflection).

Yang membuat The Room begitu berkesan adalah ketulusannya. Wiseau jelas mencurahkan segenap hati dan jiwanya ke dalam proyek ini meskipun hasilnya adalah sebuah kekacauan yang tidak teratur dan penuh dengan kejanggalan. Nilai produksi film yang rendah, termasuk pengambilan gambar yang tidak fokus, kesalahan kontinuitas, dan akting yang kaku justru menambah pesona unik film ini. Karena alasan inilah, The Room menjadi tontonan ironis yang menyenangkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan untuk sebagian besar film lain dalam daftar ini.

2. Dragonball Evolution (2009)

cuplikan film Dragonball Evolution (dok. 20th Century Fox/Dragonball Evolution)

Berbeda dengan The Room yang memiliki nilai hibur tersendiri, Dragonball Evolution justru sama sekali tidak menawarkan apapun. Film ini merupakan upaya untuk mengadaptasi anime populer Dragon Ball ke dalam format live-action, namun hasilnya adalah kegagalan besar yang mengecewakan baik para penggemar maupun penonton awam.

Film ini mengisahkan perjalanan Goku (Justin Chatwin) dalam mencari tujuh Bola Naga untuk menghentikan Lord Piccolo (James Marsters) yang jahat dari menghancurkan Bumi. Meskipun diadaptasi dari materi sumber yang kaya, film ini gagal menangkap esensi dari anime aslinya.

Dragonball Evolution hanyalah sebuah film aksi generik dan hambar yang menghilangkan semua elemen yang membuat Dragon Ball Z istimewa. Film ini mengubah cerita aslinya secara drastis, mengamerikanisasi hampir semua aspek dan memberikannya sentuhan Hollywood yang klise. Perubahan ini tidak berhasil dan justru terasa seperti penghinaan terhadap karya aslinya. Sang pencipta manga, Akira Toriyama, bahkan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap film ini dengan mengatakan, "Saya tidak bisa menyebutnya [itu] Dragon Ball".

3. Meet the Spartans (2008)

cuplikan film Meet the Spartans (dok. 20th Century Fox/Meet the Spartans)

Dekade 2000-an menyaksikan serangkaian film parodi yang sukses seperti Scary Movie, Epic Movie, dan Disaster Movie meskipun kualitasnya semakin menurun seiring berjalannya waktu. Titik terendah dari genre ini adalah Meet the Spartans, sebuah film parodi yang gagal total dari film 300 karya Zack Snyder. Tanpa plot yang jelas film ini hanyalah kumpulan lelucon garing, humor remaja, dan referensi budaya pop yang malas. Ada adegan "Yo Mama" battle, nomor musik, dan karakter yang memainkan Grand Theft Auto.

Lelucon-lelucon dalam film ini cepat menjadi repetitif seperti adegan parade selebriti yang dilemparkan ke dalam Lubang Kematian, sehingga film ini terasa panjang meskipun durasinya hanya 84 menit. Referensi ke film, acara TV, dan musisi juga menjadi usang dengan sangat cepat bahkan beberapa di antaranya mungkin sudah usang saat film ini pertama kali dirilis. Akibatnya, Meet the Spartans sudah terasa seperti peninggalan masa lalu hanya beberapa tahun setelah perilisannya.

4. Battlefield Earth (2000)

cuplikan film Battlefield Earth (dok. Warner Bros. Pictures/Battlefield Earth)

"Saat kamu masih belajar mengeja namamu, aku sudah dilatih untuk menaklukkan galaksi!" Kalimat ini merupakan dialog yang dikutip dari film sci-fi yang berjudul Battlefield Earth. Film ini diadaptasi dari novel karya pendiri Scientology, L. Ron Hubbard, dan dibintangi oleh John Travolta sebagai Terl seorang alien jahat yang memperbudak umat manusia pada tahun 3000. Cerita film ini mengikuti Johnny (Barry Pepper), seorang manusia yang memimpin pemberontakan melawan Terl dan rekan-rekan Psychlos-nya.

Meskipun memiliki cakupan cerita yang ambisius, Battlefield Earth merupakan kegagalan total dalam semua aspek. Efek khususnya yang buruk, plot yang tidak masuk akal, dan aksi yang berlebihan membuat film ini terasa lebih seperti pilot TV murah daripada blockbuster besar. Travolta yang sangat berinvestasi dalam proyek ini juga memberikan penampilan yang aneh dan karton yang telah menjadi legendaris karena semua alasan yang salah.

Secara keseluruhan, Battlefield Earth dapat dikatakan sebagai anti-masterpiece sci-fi terbesar, kebalikan dari 2001: A Space Odyssey. Film ini menjadi bukti bahwa tidak semua proyek ambisius dapat menghasilkan hasil yang baik bahkan jika dibuat oleh penulis yang berpengaruh dan dibintangi oleh aktor terkenal.

5. Son of the Mask (2005)

cuplikan film Son of the Mask (dok. New Line Cinema/Son of the Mask)

Film The Mask yang pertama dibintangi oleh Jim Carrey memang konyol namun sangat menghibur berkat penampilan Carrey yang energik. Sayangnya, sekuelnya, Son of the Mask justru sangat mengecewakan. Ketidakhadiran Carrey sangat terasa di film ini. Jamie Kennedy menggantikan Carrey sebagai Tim seorang kartunis yang menemukan topeng ajaib yang dapat mengubahnya menjadi sosok yang lucu dan mampu memanipulasi realitas. Ketika bayi laki-laki Tim lahir dengan kekuatan topeng tersebut, kekacauan pun terjadi saat ayah dan anak ini menggunakan topeng untuk melakukan berbagai kejenakaan aneh.

Potensi yang dimiliki oleh premis film ini dengan cepat dirusak oleh humor slapstick yang kasar dan efek CGI yang buruk. Selain itu, meskipun dipasarkan sebagai film keluarga, beberapa adegan di dalamnya terlalu dewasa untuk anak-anak. Film ini sama sekali tidak lucu dan cepat membosankan. Tidak mengherankan, Son of the Mask menjadi bom box office hanya meraup 59,9 juta dolar atau setara Rp944 miliar dibandingkan dengan anggaran setidaknya 84 juta dolar atau sekitar Rp1,3 triliun.

6. United Passions (2014)

cuplikan film United Passions (dok. TF1 International/United Passions)

United Passions adalah film yang mendramatisasi sejarah FIFA, badan pengatur sepak bola internasional. Dibintangi oleh Gérard Depardieu, Sam Neill, dan Tim Roth, film ini mengisahkan penciptaan dan perkembangan FIFA namun dengan sengaja mengabaikan berbagai skandal korupsi yang telah mencoreng organisasi tersebut. Film ini pada dasarnya adalah sebuah propaganda yang disampaikan dengan cara yang sangat membosankan. Bahkan, ada film propaganda Kim Jong Un yang memiliki nilai produksi yang lebih baik.

Sebagian besar penonton dapat melihat dengan jelas maksud di balik film ini, dan United Passions pun banyak diejek karena alur cerita yang buruk dan pengabaian fakta yang mencolok. Film ini mendapatkan skor 1/100 di Metacritic dan rating 0% di Rotten Tomatoes. Selain itu, film ini juga mengalami kegagalan di box office, hanya meraup Rp2 miliar dengan anggaran sebesar Rp504 miliar. Beberapa pemain dan kru film ini kemudian mengakui bahwa film tersebut memang sangat buruk. Tim Roth, misalnya, mengatakan, "Saya minta maaf saya tidak mempertanyakan sutradara, saya tidak mempertanyakan naskahnya". Ia dan bintang-bintang lainnya kemungkinan besar tertarik untuk membintangi film ini karena imbalan yang besar.

7. Birdemic 2: The Resurrection (2013)

cuplikan film Birdemic 2: The Resurrection (dok. Moviehead Pictures, Chill/Birdemic 2: The Resurrection)

Birdemic 2: The Resurrection adalah sekuel dari film kultus klasik Birdemic: Shock and Terror. Film pertama memang mengerikan, namun menghibur untuk ditonton karena menyajikan campuran efek visual yang buruk dan akting kaku dengan cara yang kocak. Film ini seperti The Birds karya Alfred Hitchcock tetapi disutradarai oleh Tommy Wiseau. Namun, sekuelnya justru lebih buruk karena terlalu sadar diri. Sutradara James Nguyen tampaknya sengaja mencoba meniru daya tarik "begitu buruk sehingga menjadi bagus" dari film pertama sehingga hasilnya terasa dibuat-buat dan terlalu berusaha.

Film ini pada dasarnya mengulangi formula film pertama, berfokus pada sekelompok pembuat film di Hollywood yang diserang oleh kawanan burung CGI. Namun, setiap lelucon di film ini terasa kurang lucu dan Birdemic 2 gagal menyajikan kekacauan yang sama seperti pendahulunya. Film ini terasa setengah matang dan membosankan sehingga lebih baik dilewatkan saja.

8. Zombie Nation (2004)

cuplikan film Zombie Nation (dok. Ulli Lommel, Nola Roeper/Zombie Nation)

Zombie Nation adalah film horor beranggaran rendah yang mengisahkan seorang polisi korup (Gunter Ziegler) yang membunuh para wanita dan mengubur mayat mereka. Namun, para korban tersebut bangkit dari kematian sebagai mayat hidup yang haus balas dendam. Premis film ini mungkin terdengar seperti film horor biasa tetapi eksekusinya sangat buruk dan tidak jelas sehingga sulit untuk memahami apa yang ingin disampaikan oleh para pembuat film. Akting yang buruk, efek khusus yang amatir, dan alur cerita yang kacau membuat film ini sangat membosankan dan membuat frustrasi. Durasi 81 menit pun terasa sangat lama.

Sutradara Ulli Lommel yang dikenal dengan film-film horor beranggaran rendahnya, menghasilkan karya terburuknya dalam film ini. Ceritanya sangat buruk, hanya mendaur ulang trope horor yang paling klise dan menyampaikannya dengan cara yang tidak menarik. Film ini mencoba untuk menutupi kekurangannya dengan adegan-adegan penyiksaan yang berlebihan. Mulai dari kualitas kamera yang buruk hingga soundtrack heavy metal yang menjengkelkan, tidak ada satu pun aspek yang baik dalam film ini.

9. Foodfight! (2012)

Foodfight! (dok. Viva Pictures/Foodfight!)

Foodfight! adalah sebuah film animasi yang gagal total. Film ini mengisahkan sekelompok maskot produk yang menjadi hidup setelah supermarket tempat mereka tinggal tutup pada malam hari. Sebenarnya, Foodfight! direncanakan sebagai film animasi bertabur bintang dengan Charlie Sheen, Hilary Duff, Eva Longoria, dan Wayne Brady sebagai pengisi suara. Namun karena penundaan produksi, masalah teknis, dan kurangnya alur cerita yang koheren, film ini justru menjadi salah satu kegagalan terbesar dalam sejarah animasi.

Dengan anggaran sebesar kurang lebih Rp1 triliun, film ini hanya meraup Rp1,8 miliar di seluruh dunia. Animasinya sendiri sangat buruk dengan desain karakter yang kasar dan gerakan yang tersentak-sentak sehingga sangat tidak nyaman untuk ditonton. Beberapa karakter bahkan terlihat mengerikan dan menyeramkan. Premis film ini juga sangat membingungkan dan plotnya terlalu kekanak-kanakan. Keberadaan film ini sendiri merupakan sebuah misteri. Foodfight! dengan cepat dinobatkan sebagai salah satu film terburuk yang pernah dibuat oleh berbagai media.

10. Kirk Cameron's Saving Christmas (2014)

Kirk Cameron’s Saving Christmas (dok. Samuel Goldwyn Films/Kirk Cameron’s Saving Christmas)

Saving Christmas adalah salah satu film terburuk di abad ke-21 sejauh ini. Film ini mengisahkan seorang aktor dan penginjil, Kirk Cameron yang memerankan dirinya sendiri dalam versi fiksi, yang berusaha meyakinkan saudara iparnya untuk tidak menjadi perusak suasana Natal dan merangkul makna religius dari hari raya tersebut. Yang terjadi kemudian adalah serangkaian monolog khotbah dan reka ulang cerita-cerita Alkitab yang canggung.

Seperti halnya United Passions, film ini juga bersifat propagandistis. Alih-alih menyajikan cerita yang baik, fokus film ini adalah untuk menyampaikan pesan tentang apa yang disebut "Perang Melawan Natal" dengan cara membela tradisi Kristen. Hal ini sendiri tidaklah buruk, tetapi eksekusinya sangat jelek sehingga film ini gagal total. Para kritikus mengecam Saving Christmas, memberinya peringkat 0% di Rotten Tomatoes dan sempat menempatkannya di posisi terbawah dalam daftar 100 terbawah IMDb.

Cameron tidak menerima kritik tersebut dengan baik. Ia menyalahkan para "pembenci" dan ateis atas ulasan buruk yang diterima filmnya dan memposting di Facebook, "Bantu aku menyerbu gerbang Rotten Tomatoes". Ini sungguh ironis, mengingat film ini seharusnya menceritakan tentang keceriaan Natal.

Dari efek khusus yang mengerikan hingga alur cerita yang tidak masuk akal dan akting yang buruk, film-film ini menunjukkan bahwa bahkan dengan sumber daya dan bakat yang melimpah, sebuah film masih bisa gagal total. Namun ironisnya, beberapa di antaranya justru mencapai status kultus klasik karena saking buruknya, menghibur penonton dengan cara yang tidak disengaja. Meskipun demikian, sebaiknya kamu mempertimbangkan kembali sebelum menonton film-film ini, kecuali jika kamu benar-benar penasaran atau ingin menguji batas kesabaran kamu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
jajang nurjaman
Editorjajang nurjaman
Follow Us