AA Maramis, Tokoh Manado Penegas Kemajemukan saat Pancasila Dirancang

A.A. Maramis resah pada bunyi poin pertama Piagam Jakarta

Makassar, IDN Times - Sejak 2016, tanggal 1 Juni diperingati secara nasional sebagai Hari Lahir Pancasila. Lima sila dengan masing-masing simbolnya tersebut memiliki makna sakral, mengiringi perjalanan negara ini yang sudah berusia lebih dari tujuh dekade. Tetapi, upaya merumuskan lima prinsip fundamental tersebut memakan waktu cukup lama.

Jumat 1 Juni 1945, bertempat di Gedung Chuo Sangi In (kini Gedung Pancasila, Jakarta Pusat), sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan memasuki hari keempat. Saat itu, Sukarno mengemukakan lima prinsip yang kelak menjadi basis ideologi negara baru bernama Indonesia.

Usulan itu disambut secara hangat. Sebagai tindak lanjut, dibentuklah Panitia Sembilan, sebuah komite kecil berisi sembilan anggota BPUPK. Semuanya berasal dari latar belakang berbeda, salah satunya A.A. Maramis, tokoh Kristen nasionalis-sekuler asal Manado.

1. Saat menjadi mahasiswa hukum di Belanda, Alex Maramis (berdiri, tengah) ikut bergabung dalam organisasi Perhimpoenan Indonesia

AA Maramis, Tokoh Manado Penegas Kemajemukan saat Pancasila DirancangAlexander Andries Maramis (tengah, berdiri) berpose bersama beberapa anggota organisasi pelajar Perhimpoenan Indonesia. (Repro. "In het Land der overheerser" (Foris Publications, 1986))

Alexander Andries Maramis lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 20 Juni 1897, dari pasangan Andries Alexander Maramis dan Charlotte Ticoalu. Sang bibi adalah Maria Walanda Maramis, Pahlawan Nasional yang dikenal sebagai salah satu pejuang emansipasi perempuan sepanjang awal abad ke-20.

Ruben Nalenan dalam buku Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot (Gunung Agung, 1981), menyebut Maramis menempuh sekolah dasar ELS (Europeesche Lagere School) di Manado. Usai lulus, Alex Maramis pindah ke Batavia dan meneruskan pendidikan di sekolah lanjutan HBS (Hogereburgerschool).

Di kota pusat administratif Hindia-Belanda itu, ia berkenalan dengan Achmad Soebardjo dan Arnold Mononutu. Keduanya, bersama Alex Maramis, kelak turut serta dalam pergerakan nasional yang berujung pada kemerdekaan Indonesia.

Lulus HBS, Alex Maramis bertolak ke Belanda. Tahun 1919, ia menjadi mahasiswa hukum di Universitas Leiden. Pada masa kuliah ini, ia menjadi anggota organisasi pelajar bernama Perhimpoenan Indonesia (PI), dan menjadi sekretaris pada 1924. Di tahun 1924 pula, Maramis resmi menyandang gelar Meester in de Rechten (Mr.) alias ahli hukum.

2. Alex Maramis ditunjuk sebagai salah satu anggota BPUPK yang bertugas merancang dasar negara

AA Maramis, Tokoh Manado Penegas Kemajemukan saat Pancasila DirancangSukarno (berdiri) bersama dengan Mohammad Hatta (duduk di kiri) sedang berbicara di hadapan komandan perang Kekaisaran Jepang di Pulau Jawa, Letnan Jenderal Kumakichi Harada, antara tahun 1941 hingga 1945. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

Fendy E.W. Parengkuan dalam buku biografi A.A. Maramis, SH (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982), menjelaskan bahwa Alex Maramis kembali ke Indonesia dan menjadi pengacara di Pengadilan Negeri Semarang pada tahun 1925. Setahun berselang, ia dipindahtugaskan ke Palembang. Sempat ditawari menjadi pegawai negeri Hindia-Belanda, namun ia tolak mentah-mentah.

Sepanjang dekade 1930-an, Alex Maramis dikenal masyarakat sebagai pengacara ulung pembela rakyat kecil. Ia bahkan lebih sering bekerja tanpa bayaran. Saat bekerja di Palembang, ia bertemu perempuan bernama Elizabeth Marie Diena Velhoed yang kelak menjadi istrinya.

Di masa pendudukan Jepang, reputasinya kian melejit. Saat bertugas di Jakarta, ia menjadi pegiat di Majelis Pertimbangan Poesat Tenaga Ra'jat (Poetera). Usai Poetera bubar pada 1944, ia direkrut sebagai penasihat di Kaigun Bukanfu, kantor penghubung Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang di Indonesia.

Masuk 1945, pada pengujung Perang Dunia II, Dai Nippon yang kian terdesak oleh Sekutu di medan tempur Pasifik mulai menjanjikan kemerdekaan pada Indonesia. Sebagai bukti bahwa ini tak sekadar "mulut manis", mereka membentuk BPUPK pada 1 Maret 1945. Sekitar dua bulan berselang, ke-67 orang anggotanya diumumkan. Ada nama Alex Maramis tertera dalam daftar itu.

3. Di buku memoirnya, Bung Hatta ingat bahwa Alex Maramis menyikapi isi Piagam Jakarta dengan perasaan resah

AA Maramis, Tokoh Manado Penegas Kemajemukan saat Pancasila DirancangPotret Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta pada tahun 1950, yang saat itu juga menjabat Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Sementara. (Wikimedia Commons/KITLV)

Terpilihnya Alex Maramis didasarkan pada dua pertimbangan. Pertama, ia adalah praktisi hukum, yang dijamin sangat membantu perumusan konstitusi. Kedua, ia berasal dari golongan Kristen minoritas sekaligus wakil dari Sulawesi dan Indonesia bagian timur (bersama Johannes Latuharhary asal Ambon).

Sebagai tindak lanjut sidang pertama BPUPK pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945, Panitia Sembilan dibentuk untuk menyusun prinsip dasar sebuah negara. Hari Jumat 22 Juni 1945, setelah berembuk selama tiga pekan, terbitlah Piagam Jakarta yang kelak jadi cikal bakal Pancasila. Tetapi, masih ada yang mengganjal di benak Alex Maramis, satu-satunya pemeluk Kristen di Panitia Sembilan.

Poin pertama ("Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya") dianggap oleh Alex Maramis bisa berujung pada diskriminasi. Keresahannya dituturkan langsung kepada sang kolega di Panitia Sembilan, Mohammad Hatta. Sang Wapres Pertama menceritakannya kembali dalam buku Mohammad Hatta: Memoir (Tintamas Indonesia, 1979).

Penolakan datang dari orang-orang Kristen di Sulawesi Utara, tempat asal Alex Maramis. Rasa cemas juga terasa di Kepulauan Maluku. Tetapi, upaya mengusulkan perubahan terhalang oleh beberapa hal. Mulai dari situasi genting Jepang di medio Juli-Agustus 1945, hingga sengitnya debat antara Golongan Tua dan Muda perihal kapan mengumumkan kemerdekaan.

4. Keputusan mengubah isi Piagam Jakarta pada Sidang PPKI 18 Agustus 1945 disambut lega oleh Alex Maramis

AA Maramis, Tokoh Manado Penegas Kemajemukan saat Pancasila DirancangAlexandrer Andries Maramis (kiri) sedang bersantai bersama Gubernur Sulawesi, Dr. Sam Ratulangie (kanan), dalam foto yang tak diketahui kapan diambil. (Dok. Istimewa)

Rasa lega dirasakan pada Jumat 17 Agustus 1945, setelah Sukarno mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tetapi, keresahan tetap muncul. Negara baru sudah lahir, maka nasibnya ke depan bisa langsung dibahas.

Jumat sore, selepas acara bersejarah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Hatta melihat seorang anggota Kaigun sedang memasuki halaman rumahnya. Rupanya seorang anggota Kaigun Bukanfu (namanya tidak diketahui hingga sekarang) bertamu. Ia menyampaikan resahnya orang-orang Indonesia timur atas poin pertama Piagam Jakarta.

Bung Hatta sadar bahwa perkara ini memang krusial. Ia pun sadar bahwa negeri baru ini terdiri dari banyak suku, budaya dan agama. Kemajemukan sudah menjadi fakta, bahkan di saat masa VOC bercokol di Nusantara sekalipun. Apa yang dikemukakan Alex Maramis padanya selepas Piagam Jakarta diteken memang benar.

Tepat sebelum sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada Sabtu 18 Agustus 1945 pagi, Hatta mengumpulkan beberapa tokoh untuk membahas hal ini. Singkat cerita, disepakati bahwa beberapa kata di poin pertama Piagam Jakarta dihilangkan hingga menjadi "Ketuhanan yang maha esa."

Hasil kompromi ini dibawa ke majelis, dan diterima oleh peserta sidang. Alex Maramis sendiri tak menjadi anggota PPKI. Hadir sebagai wakil dari Sulawesi Utara adalah Dr. Sam Ratulangi. Tetapi, sebagai masyarakat, perubahan ini ia sambut baik. Keresahannya pun hilang.

Baca Juga: Mengenal Emmy Saelan, Perawat Paling Revolusioner di Palagan Gerilya

5. Sepanjang dekade 1950-an, ia bertugas sebagai Duta Besar Indonesia di beberapa negara

AA Maramis, Tokoh Manado Penegas Kemajemukan saat Pancasila DirancangPresiden Soekarno menyerahkan surat pengangkatan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Filipina kepada A.A. Maramis pada 20 Februari 1950. (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Usai sidang PPKI, Alex Maramis diangkat sebagai Menteri Keuangan pada kabinet pertama yang dipimpin Dwitunggal Soekarno-Hatta (26 September 1945 - 14 November 1945). Jabatan tersebut diembannya beberapa kali, mulai dari Kabinet Amir Sjafruddin (3 Juli 1947 - 29 Januari 1948) serta Kabinet Hatta (29 Januari 1948 - 19 Desember 1948, dan (13 Juli 1949 - 4 Agustus 1949).

Saat banyak tokoh sentral pemerintahan Indonesia tertangkap pada Agresi Militer II, Alex Maramis sedang berada di New Delhi, India. Kawat instruksi dari Yogyakarta memintanya bersiap membentuk Pemerintahan Darurat di sana andai Sjafruddin Prawiranegara, pemimpin PDRI di Sumatra, tertangkap. Beruntung hal tersebut tak terjadi. Di Kabinet Darurat PDRI sendiri, Alex Maramis menjabat sebagai Menteri Luar Negeri (19 Desember 19 Desember 1949 - 13 Juli 1949).

Pada Konferensi Meja Bundar, Alex Maramis dimasukkan dalam delegasi sebagai penasihat. Dari dekade 1950-an hingga 1960-an, ia diberi tugas sebagai perwakilan diplomatik RI. Mulai dari Duta Besar untuk Filipina (1950 - 1953), Dubes untuk Jerman Barat (1953 - 1956) lalu Dubes untuk Uni Soviet sebagai jabatan terakhir sebelum pensiun.

Menghabiskan masa tua di Lugano, Swiss, ia bersama istri memutuskan kembali ke Indonesia pada Juni 1976. Masuk Mei 1977, kesehatannya memburuk akibat pendarahan. Ia meninggal pada 13 Juli 1977, di usia 80 tahun. Dan di Hari Pahlawan 2019, ia diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo.

Baca Juga: Arnold Mononutu di Mata Para Nasionalis: Republikan Tulen yang Mandiri

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya