4 Fakta tentang Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis Makassar 

Adat tata cara berhubungan badan ala Bugis Makassar

Ada anggapan peradaban yang memiliki aksara kuno, biasanya memiliki manuskrip tentang seks. Seperti bangsa India yang memiliki kitab Kama Sutra, bangsa Arab memiliki kitab Qurratul ‘Uyun dan bangsa Romawi memiliki literatur Ars Amatoria atau The Art of Love. 

Sedangkan peradaban kuno di Indonesia, selain manuskrip Serat Nitimani dan Serat Centini yang dimiliki masyarakat Jawa, masyarakat Bugis-Makassar yang memiliki aksara Lontarak juga mempunyai manuskrip Assikalaibineng.

Kitab ini berupa tuntunan masyarakat Bugis Makassar membangun bahtera keluarganya, yang meliputi hubungan seksual antar suami-istri, teknik-teknik sebelum dan sesudah berhubungan, penentuan jenis kelamin anak, waktu baik atau buruk berhubungan. Tidak ketinggalan mantra dan doa-doa sebelum dan sesudah berhubungan. 

Menurut Filolog Unhas Muhlis Hadrawi lewat bukunya yang berjudul Kitab Persetubuhan Bugis Assikalaibineng, mantra dan doa-doa menjelaskan kitab Assikalaibineng tidak lepas dari pengaruh ajaran Islam di abad ke-17.

Data yang tercantum diketahui teks lontara Assikalabineang dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulsel, naskah Bugis berasal dari Luwu milik Nira Ambe’na Baso yang ditulis di abad 18. 

1. Assikalaibineng membahas seputar hubungan laki-laki dan perempuan

4 Fakta tentang Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis Makassar IDNTimes/MuhammadNurAbdurrahman

Kitab Assikalaibineng tidak sekadar teks berisi tuntunan praktek persetubuhan, melainkan juga mengandung makna hakikat hubungan suami-istri. Bukan sekadar hubungan biologis semata, tapi juga berdimensi psikologis, sosial dan spiritual.

Assikalaibineng secara harfiah gabungan dua kata dalam bahasa Bugis: lai berarti laki-laki dan bineng atau bene berarti perempuan. Sedangkan dalam bahasa Makassar disebut Passikalabiniang. 

Kitab Assikalaibineng adalah tuntunan hubungan suami-istri yang diatur dalam budaya Bugis-Makassar dan sejalan dengan nilai-nilai agama Islam.

Tuntunan dalam kitab Assikalaibineng ini biasanya diajarkan bagi kaum pria yang akan menikah, agar mengerti bagaimana menciptakan hubungan suami-istri yang lebih bermakna.

Salah satu contoh pengajaran bagi pasangan pengantin baru di malam pertama dianjurkan sebelum berhubungan harus mengawinkan dua batin mereka. 

Baca Juga: Kenapa Seks Usai Bertengkar Sama Pasangan Terasa Jauh Lebih Nikmat?

2. Manuskrip Assikalaibineng terpengaruh tarekat Islam

4 Fakta tentang Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis Makassar IDNTimes/MuhammadNurAbdurrahman

Dalam salah satu teks Assikalaibineng yang berbahasa Bugis dan ditulis dalam aksara Lontara disebutkan ritual malam pertama yang diajarkan agar sang pria dianjurkan memulai niat dengan melihat dirinya sebagai aksara Arab Alif dan perempuannya sebagai huruf Ba, lalu dianjurkan memberi salam.

Sang pria disebut Ali (sahabat dan menantu Nabi Muhammad) dan perempuan disebut Fatimah (putri Nabi Muhammad), dan saat pria memegang tangan perempuannya dianjurkan bersyahadat dan berniat Malaikat Jibril yang menikahkan, Nabi Muhammad menjadi wali atas kehendak Allah Ta’ala.

Ajaran assikalaibineng ini memiliki kemiripan dengan ajaran tarekat dalam Islam. 

3. Assikalaibineng hanya untuk kelompok bangsawan dan agamawan Bugis-Makassar

4 Fakta tentang Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis Makassar IDNTimes/Abdurrahman

Dalam pengantar buku Muhlis Hadrawi yang dikembangkan dari tesisnya saat menimba ilmu di Fakultas Pengetahuan Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun 2005 silam ini, disebutkan teks Assikalaibineng cenderung eksklusif dan lebih terkonsentrasi pada lapisan  masyarakat elite: bangsawan dan agamawan.

Kepemilikan teks ini menjadi simbol pengetahuan eksklusif dan hak istimewa yang terbatas pada kalangan tertentu saja. Seperti pengetahuan tarekat yang dianut Raja Bone ke-23, La Tenri Tappu Ahmad Salih Syamsuddin yang tidak diajarkan ke rakyatnya. Sedangkan kelompok agamawan memiliki pengetahuan Assikalaibineng untuk menjaga hubungan baik dengan lingkungan istana.

Mutualisme bangsawan dan agamawan melahirkan sistem hukum adat Bugis yang diberi nama Sara’ dari kata Syariat. Lembaga Syariat kerajaan dijalankan oleh Pangulu Sara’ dari kelompok agamawan. 

4. Kisah penyimpangan seksual Raja-raja Bugis sebelum pengetahuan Assikalaibineng lahir.

4 Fakta tentang Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis Makassar IDNTimes/Abdurrahman

Sebelum teks Assikalaibineng dikenal dalam lingkungan bangsawan Bugis, ada beberapa raja lalim yang gemar memperkosa gadis dan perempuan yang telah bersuami. Seperti yang diriwayatkan Raja Bone ke-8 La Inca Matinroe ri Addenenna (1584-1595) terpaksa dihukum mati oleh Bangsawan Lalebata dan Arung Majang dan rakyat Bone, dengan hukuman cambuk di tangga Istana Bone.

Selain Raja La Inca, ada juga Raja Belawa Timur La Malloroseng yang kerap melakukan kekerasan seksual pada gadis-gadis yang ditemuinya di pasar. Akibat perilakunya La Malloroseng dijuluki Arung Laja atau Raja Asusila oleh bangsawan Belawa lainnya. Kelompok bangsawan dan rakyat Belawa akhirnya sepakat menghukum La Malloroseng dengan merobohkan rumahnya dan diusir bersama anak-istrinya dari kampungnya. 

 

Baca Juga: Patut Diperhatikan, Ternyata 11 Posisi Seks Ini Berbahaya Banget Lho!

Topik:

  • M Gunawan Mashar

Berita Terkini Lainnya