TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pendamping Hukum Korban KDRT di Makassar Dianiaya Pelaku

Pelaku mengaku berkeluarga dengan polisi

Ilustrasi penganiayaan perempuan (IDN Times/Sukma Shakti)

Makassar, IDN Times - Unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulawesi Selatan, tengah menangani dua kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Akan tetapi, penanganan kasus itu terhambat lantaran pendamping hukum mengaku diintimidasi oleh pelaku.

Nurul Amalia, pendamping hukum korban KDRT di Rumah Aman mengalami intimidasi saat menemani korban mengambil barang bukti di rumahnya. Hal itu terjadi pada, Jumat, 4 Februari 2022 lalu.

Kala itu, Nurul sedang menemani SZ (36), korban KDRT, ke rumahnya untuk mengambil mainan anak yang digunakan FA (48), suami SZ untuk memukulnya. Mainan itu rencananya akan diserahkan ke pihak kepolisian untuk melengkapi barang bukti.

Namun Nurul malah mengalami perlakuan tidak menyenangkan. Dia dan SZ dibuntuti oleh FA hingga ke Rumah Aman. Setibanya di Rumah Aman, FA justru marah kepada Nurul dan berkata kasar padanya.

"Kami heran kenapa suaminya tiba-tiba ada di Rumah Aman. Padahal semaksimal mungkin kita jaga kontak. Dia bilang 'kau kenapa mencoba merusak rumah tangga saya'," kata Nurul saat bercerita di Kantor Gubernur Sulsel, Rabu (23/2/2022).

1. Dikejar dan nyaris dilempari helm

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan (IDN Times/Mardya Shakti)

FA yang dalam kondisi marah, mengejar Nurul sembari memegangi helmnya. Helm tersebut dia ayunkan untuk melempari Nurul. Beruntung Nurul berhasil melarikan diri.

"Dia turun dari motor dan saya dikejar. Dia ambil helm. Saya spontan teriak Allahu Akbar. Dia nekat karena helm dia lepas, dia ayunkan. Saya putar, kejar-kejaran biar orang semua tahu," kata Nurul.

Hingga saat ini, Nurul tidak bisa melupakan perlakuan dan perkataan kasar FA. Ada suaranya masih bergetar manakala menuturkan kembali cerita itu kepada wartawan.

Menurutnya, petugas pendamping hukum korban KDRT seperti dirinya tak sepantasnya mendapat perlakuan seperti itu dari pelaku. Mereka hanya ingin membantu korban KDRT mendapatkan keadilan.

"Saya panik dikejar sampai pagar. Semua nomor kontak polisi yang ada di HP saya telepon. 'Pak, tolong'. Kita mau keluar juga tidak bisa. Jadi kita bikin laporan polisi di Polrestabes Makassar hari itu juga Jumat," katanya.

SZ sendiri melaporkan kejadian yang dialaminya ke polisi pada 21 Januari 2022 lalu. Dia juga telah menjalani visum di RS Bhayangkara. Pihak rumah sakit pun menghubungi pihak Rumah Aman.

2. Salah satu korban tengah mengandung

Ilustrasi stop KDRT (Dokumen/IDN Times)

Selain kasus SZ, korban KDRT lainnya yang diamankan di Rumah Aman adalah M (27). Suaminya yang merupakan salah satu dosen di Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, FH (28), diduga melakukan KDRT terhadap M.

Kepada UPT P2TP2A, M mengaku dipukul dan dijambak oleh suaminya. Meisy Papayungan selaku Kepala UPT mengatakan bahwa M kini merasa tertekan dan trauma, apalagi dia juga tengah mengandung 8 bulan.
 
M mengaku mengalami KDRT beberapa bulan terakhir. Padahal, usia pernikahan mereka belum lama. Dia berasal dari Jawa Barat dan tidak punya keluarga lain di Makassar sehingga mengamankan diri di Rumah Aman.

Kasus M ini nyaris serupa dengan kasus SC di mana suami yang merupakan pelaku KDRT mendatangi Rumah Aman.

"KDRT yang satu ini suaminya juga datang malam-malam datang ke kantor bawa orang. Katanya dia keluarganya seorang jenderal," kata Meisy.

Baca Juga: Disidak Propam, Tes Urine Seorang Polisi di Makassar Positif Narkoba

3. Pelaku mengaku punya keluarga polisi

ilustrasi KDRT. (Pexels.com/Karolina Grabowska)

Dari dua kasus tersebut, Meisy menjelaskan ada kesamaan yaitu pelaku sama-sama kerap menyebutkan bahwa mereka memiliki keluarga polisi. Hal itu lantas membuat kasus ini tidak bisa diproses, sebab kata Meisy, penyidik angkat tangan.

FA mengaku punya keluarga yang bertugas di Mabes Polri dan ada juga di RS Bhayangkara. Sementara FH mengaku keponakan dari Wakapolda Kalimantan Utara.

Penyidik bahkan mengaku tidak berani menangani kasus ini. Mereka meminta bantuan DPPPA agar mencari solusinya. 

"Penyidiknya ditekan. Mereka bilang, 'tolong cari jalan, Bu'. Mereka senior, kami juga tidak bisa bikin apa-apa," jelas Meisy.

Meisy menyebutkan perlakuan yang dialami Nurul jelas merupakan bentuk teror terhadap mereka. Oleh karena itu, mereka butuh perlindungan dari aparat penegak hukum.

"Satu staf kami juga sudah sempat dipukul. Jadi sudah penganiayaan dan mungkin bisa masuk dalam pasal menghalang-halangi pekerjaan pengungkapan kasus ini. Sudah kami laporkan juga ke Polrestabes Makassar," katanya. 

Baca Juga: Seorang Istri Polisi di Sulsel Mengaku Korban KDRT dan Ditelantarkan

Berita Terkini Lainnya